-->

Model Tafsir Sastra di Era Kontemporer

fikriamiruddin.com - Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’an merupakan sumber utama bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan ini sesuai dengan aturan Allah. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw sepanjang masa. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dijadikan pedoman dalam hidupnya.

Tafsir

Salah satu keunikan al-Qur’an adalah adanya pengulangan kata di beberapa ayatnya. Para ulama banyak yang membicarakan keunikan ini serta menghubungkannya dengan kajian tematik modern. Muhammad Quthub misalnya, menegaskan sisi tantangan tersebut dengan berbagai gaya bahasa. Yang lebih unik adalah bahwa terdapat pengulangan dalam satu surat yang mencapai 13 kali, seperti yang terdapat pada surat al-Rahman.

Dalam melakukan kajian mengenai pengulangan yang ada dalam al-Qur’an, Muhammad Quthub mencontohkan, ibarat mengenal seseorang yang tidak mungkin dengan cara mengetahuinya sepotong-sepotong dari beberapa ciri fisiknya, namun harus secara menyeluruh yang meliputi mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya. Hal itulah, menurut Muhammad Quthub yang disebut sebagai suatu keutuhan.

Selain Muhammad Quthub ada Muhammad al-Hijazi yang juga membahas pengulangan dalam al-Qur’an. Dalam bukunya al-Wahdah al-Maudu’iyyah fi al-Qur’an al-Karim, ia mengungkapkan bahwa pengulangan itu terjadi dalam bentuk dan corak yang berbeda sesuai dengan kondisi, lingkungan, dan waktu diturunkannya. Surat-surat Makkiyah misalnya berbeda dengan surat-surat Madaniyyah.

Kesatuan tema inilah yang kemudian memunculkan sebuah aliran penafsiran yang disebut dengan corak tafsir tematik. Dalam perkembangan berikutnya, muncul metode penafsiran bercorak sastra yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh. Metode ini merupakan metode modern yang menggunakan model pembacaan terhadap berbagai persoalan sosial yang berkembang di masyarakat dan diintegrasikan dengan sentuhan-sentuhan sastra.

Kelemahan yang ditemukan pada metode ini pada awal kemunculannya adalah dari sisi balaghah dalam beberapa kajiannya. Beberapa kajian yang telah dilakukan lebih banyak merujuk pada karya-karya klasik yang ditulis oleh ulama pada abad ke-4 sampai abad ke-8. Kelemahan ini kemudian menjadi motivator bagi Bintu al-Syati’ untuk mengembangkan kajian tematik bahasa dan sastra dalam tafsir.

Baca Juga: Pendekatan Fenomenologi dalam Memahami Ajaran Agama Islam

Salah satu karyanya adalah al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim. Bintu Syati’ berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra di al-Azhar, kemudian dikembangkan pada saat di Maroko (Universitas Qarawiyyin). Buku yang dia tulis tersebut pada awalnya merupakan kumpulan dari beberapa tema yang disampaikan pada perkuliahan di Fakultas Syari’ah di Fas. Demikian pula dengan bukunya yang lain, yakni al-I’jaz al-Bayani, juga merupakan kumpulan dari materi Ulum al-Qur’an di Universitas Dar al-Hadits al-Hasaniyah di Rabath.

Yang kemudian disempurnakan sebagai bidang spesialisasinya dalam kajian bahasa al-Qur’an di Universitas Qarawiyyin sejak tahun 1970. ‘Aisyah Abd al-Rahman atau yang lebih dikenal dengan Bintu al-Syati’, menekankan pembahasannya pada aspek kemukjizatan al-Qur’an di bidang sastra dan sebagai kesatuan rasa (wahdah dhawaqiyyah dan wijdaniyyah). Metode tafsir sastra tematik Bintu al-Shati’ ini dipengaruhi oleh gaya gurunya yang juga merupakan pendamping hidupnya, yakni Amin al-Khuli.

Secara garis besar metode kajian sastra tematiknya dapat disimpulkan dalam empat pokok pikiran. Pertama, mengumpulkan unsur-unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat untuk dipelajari secara tematik. Dalam buku ini ia tidak memakai metode kajian tematik murni, namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Semula ia menggambarkan ruh sastra tematik secara umum, kemudian merincinya per-ayat.

Namun, perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlili (analitik) yang cenderung menggunakan maqta’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini ia membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Terkadang menyebut jumlah kata. Adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggunaannya.

Terakhir ia simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut. Kedua, memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai dengan kondisi diturunkannya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an pada waktu itu dikorelasikan dengan kajian asbab al-nuzul, meskipun ia tetap menegaskan kaidah al-ibrah bi ‘umum al-lafz la bi khusus al-sabab.

(Kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafaz bukan dengan kekhususan sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat). Ketiga, memahami dalalah al-lafz. Maksudnya indikasi makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana zahirnya ataukah mengandung arti majaz (kiasan) dengan berbagai macam klasifikasinya, kemudian dipahami melalui siyaq khas (hubungan-hubungan kalimat khusus).

Dalam satu surat dan dikorelasikan dengan siyaq ‘am (hubungan kalimat secara umum) dalam al-Qur’an. Keempat, memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks dari kajian sastra yang dilakukan dengan cara mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa penakwilan yang ada di berbagai kitab tafsir yang mu’tamad, tanpa mengesampingkan posisi gramatikal Arab (I’rab) dan kajian balaghah.

Sastra tematik yang dimaksudkan di sini adalah corak tafsir modern yang menganut mazhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Ia tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an, namun beberapa surat pendek saja, yakni tujuh surat pendek juz ‘Amma pada buku pertama; al-Dhuha, al-Syarh, al-Zalzalah, al-‘Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, dan al-Takatsur.

Tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua; al-‘Alaq, al-Qalam, al-‘Ashr, al-Lail, al-Fajr, al-Humazah dan al-Ma’un. Sebagai perbandingan, Muhammad Qutub juga mengkaji secara tematik umum persurat dengan klasifikasi Makki dan Madani serta klasifikasi masing-masing keduanya. Dengan satu titik sentral; kajian tematik akidah, sebab menurut Muhammad Qutub, tema besar al-Qur’an adalah pemurnian akidah.

Setelah mengupas beberapa aspek penting dalam tema besar yang ingin disampaikan, ia menafsirkannya secara tematik dalam beberapa sampel surat. Tiga surat Makkiyah; al-Rad, Luqman dan Fathir, serta tiga surat Madaniyyah; al-Baqarah, Ali ‘Imran dan al-Nisa. Rujukan utama dalam hal ini, Bintu al-Shati’ merujuk kepada pendapat al-Zamakhshari dalam bukunya al-Kassyaf dan Abu Hayyan dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhit.

Dalam mukaddimahnya, secara metodologis ia mengikuti sang guru dan suaminya, yakni Amin Khuli serta mengadopsi beberapa gaya Mustafa Sadiq al-Rafi’i. Lebih rincinya, ia tulis penjelasan ini dalam mukaddimah bukunya al-I’jaz al-Bayani. Salah satu contoh tafsir sastra tematik Bintu al-Shati’ adalah surat al-Zalzalah, yang dibuka dengan tema umum; al-yawm al-akhir, kemudian ia mengklasifikasikannya sebagai awal surat Madaniyyah, yakni berada pada urutan ke enam.

Surat Madaniyyah seperti ini justru menekankan aspek akidah dan iman pada hari akhir. Memberikan gambaran sebaliknya, surat-surat Makkiyah bukan berarti tidak memuat tasyri’ dan penjelasan hukum. Mukaddimah singkat ini segera ia lanjutkan dengan malamih (outward) sastra tematik dalam surat ini. Pertama, ayatnya pendek-pendek. Ini mengindikasikan adanya keseriusan dan pesan urgen dan tidak bertele-tele.

Kedua, dalam ungkapan yang singkat seperti ini pun masih ada pengulangan-pengulangan untuk penekanan-penekanan tertentu. Ketiga, kata-kata yang dipilih pun berpengaruh kuat seperti zalzalah (bergoncang) untuk menunjukkan kedashsyatan. Ungkapan serupa juga ada di surat-surat lain seperti al-Ghashiyah, al-Tammah, al-Waqi’ah dan lainnya. Keempat, disebut dalam bentuk pasif tanpa menyebutkan subjek (pelaku)-nya.

Ini memberi tekanan pada perhatian kepada kejadiannya, bukan berarti menafikan keberadaan pelakunya. Ia juga menyebutkan hal serupa di beberapa ayat yang tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Dalam hal ini, penakwilan fa’il (subjek) tidak dibenarkan, sebab sudah jelas, yakni Allah. Pesan yang disampaikan kepada manusia bahwa bumi yang sedang dihuni saat ini memiliki potensi bergoncang kapan saja.

Goncangan yang berbeda-beda bahkan bisa berakibat pada kehancuran yang berakhir dengan kefanaan. Setelah itu, Bint al-Syathi’ merincinya tiap ayat dari sejak penyebutan arti bahasa, pemilihan kata zalzalah (baik kata zulzilat maupun kata zilzalaha), kemudian pengungkapan dalam bentuk madi (past tense) yang berarti kepastian dan penggunaan kata syarat idha (apabila).

Pada ayat selanjutnya ia menguraikan penggunaan kata aktif akhrajat (mengeluarkan) dan bumi sebagai pelakunya. Ini merupakan jenis kiasan. Setelah itu merinci penafsiran ‘atsqal (beban-beban berat yang dikandung bumi). Pada ayat selanjutnya, titik tekannya adalah keheranan manusia, baik yang beriman maupun yang kafir meskipun sebagian mufassirin ada yang berpendapat orang kafir saja.

Di sini ia memilih pendapat pertama sebab tidak ada dalil yang mengkhususkan keumuman ayat ini. Pertanyaan ini pun langsung dijawab pada ayat selanjutnya. Ia juga sedikit menyitir pendapat para ahli tafsir mengenai penceritaan bumi. Sebagian tetap menjadikannya ungkapan kiasan, sebagian lagi berpendapat sebaliknya, bahwa memang benar-benar pada dari itu bumi dapat berbicara.

Dalam kesempatan ini ia menyebutkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya al-Thabari, al-Zamakhsyari, Abu Hayyan, dan al-Thabarsyi. Pertanyaan-pertanyaan yang memungkinkan akan timbul pun ditimpali dengan ayat selanjutnya, bahwa ini semata adalah titah pencipta manusia, Tuhan yang mengutus Muhammad pada kaumnya dan seluruh manusia setelahnya. Dalam ayat ini agak panjang lebar berbicara persoalan wahyu.

Baca Juga: Pengalaman Batin dan Praktik Perilaku dalam Kajian Islam

Pesan penting berikutnya adalah penggunaan kata yawma idzin (pada hari itu). Untuk menunjukkan posisi dan keberadaan manusia setelah terpendam di alam kubur dan dibangkitkan kemudian. Ini adalah bagian penggambaran penokohan atau seting, seolah-olah pembaca dan pendengarnya berada di depan sebuah film dan pertunjukkan yang benar-benar nyata. Ia juga mengungkap rahasia pengungkapan kata yashdur (keluar) bukan dengan sinonim lainnya yakhruj atau yansharif.

Lebih jelas lagi setelah ada penjelasan bagaimana cara keluarnya manusia dari kuburnya yang bermacam-macam, berbeda-beda, berpisah-pisah, dan berpencar-pencar. Keduanya ia pakai bermacam-macam dan berbeda sesuai dengan amal perbuatannya selama di dunia. Sedang berpencar dan berpisah-pisah, sebab kondisi yang demikian mencekam, menanti sebuah pengadilan agung yang cukup menentukan nasib mereka.

Bagaimana balasan mereka setelah itu? Jawabannya adalah pada dua ayat penutup, di mana kedua ayat ini memiliki muqabalah (perbandingan) yang jelas sekaligus menunjukkan keindahan gaya bahasa. Ia juga menyebutkan rahasia penggunaan kata mitsqala dzarrah. Di samping menyebutkan perbedaan mazhab dalam memahami ayat ini, baik dari para mutakallimin maupun kelompok yang ada, juga mengemukakan pendapat al-Zamakhshari sebagai contoh untuk mewakili pemikiran Mu’tazilah.

Abu Hayyan mewakili Zahiriyyah, al-Thabarshi mewakili Syi’ah. Polemik ini muncul pada saat ada pertanyaan, kebaikan yang dilakukan oleh orang kafir yang dibalas dengan tuduhan kufur, sebanyak apa pun kebaikan itu. Ia juga mengemukakan pendapat Muhammad Abduh, salah seorang tokoh yang dikaguminya.

Pada akhirnya, penafsirannya ditutup dengan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan balasan ini. Dia memberi ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi azab kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 48: 14).

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Perlunya Ilmu Sosial dalam Memahami Ajaran Agama Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Model Tafsir Sastra di Era Kontemporer"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel