-->

Metode Hermeneutik dalam Memahami Islam di Era Kontemporer

fikriamiruddin.com - Hermeneutik berasal dari Bahasa Yunani, hermeneuo, yang memiliki beberapa pengertian; (1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, (2) menerjemahkan atau bertindak sebagai penafsir atau bisa berarti menafsirkan. Term ini memiliki asosiasi etimologis dengan nama dewa dalam mitologi Yunani, Hermes, yang mempunyai tugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia (Palm, 1969).

Islam

Teori ini bertujuan untuk memahami hakekat atau pesan yang terkandung dari teks, perantara atau penafsir, cara memahami teks dan pemahaman audiens. Abu Zayd, yang dijadikan contoh dalam kajian ini, dilahirkan di Tanta, Mesir pada tanggal 10 Juli 1943. Ia melihat bahwa tafsir seringkali digunakan untuk kepentingan politik atau yang ia sebut dengan persoalan al-nushush al-diniyyah.

Maka ia mengembangkan pemikiran yang kritis dalam menafsirkan al-Qur’an, untuk menyikap tabir patologis yang menyebabkan penyimpangan dalam interpretasi dan pemaknaan teks keagamaan. Apa yang ia lakukan telah memancing reaksi keras dari kalangan ulama besar di Mesir, termasuk al-Azhar. Menurut pendapatnya, dalam mengkaji al-Qur’an yang harus dilakukan adalah memahaminya sebagai literatur.

Literatur penafsiran al-Qur’an yang selama ini dilakukan hanya berdasarkan  teks al-Qur’an yang ada. Oleh karenanya, pendekatan literatur al-Qur’an tersebut perlu ada penekanan persoalan fakta yang ada dalam al-Qur’an. Pemikiran ini diawali oleh Andrew Rippin pada tahun 1982, yang menyarankan bahwa pendekatan literatur diawali dari asumsi bahwa al-Qur’an merupakan firman Tuhan tidak dengan metode khusus.

Ibaratnya al-Qur’an itu seperti Bible yang tidak memerlukan metode khusus dalam menganalisis lebih jauh. Di Mesir, orang yang pertama kali menggunakan teori literatur adalah Amin al-Khuli (1895-1966). Maka, dijumpai perbedaan penafsiran antara satu mufassir dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada kesimpulannya mengenai maksud teks al-Qur’an terhadap perkembangan dan bagaimana pemahaman terhadap sastranya.

Hal tersebut ditulis oleh Abu Zayd dalam artikelnya Tafsir From Thabari to Ibnu Katsir. Perbedaan kesimpulan merupakan keanekaragaman metode yang digunakan oleh penafsir. Sebagai contoh, Ash’ari menganggap al-Qur’an itu kekal, sedangkan Muktazilah percaya bahwa al-Qur’an itu buatan (makhluq). Para sarjana Barat (John Wansbrough) misalnya, memperkirakan bahwa al-Qur’an adalah usaha pengeditan beberapa ratus tahun setelah Nabi wafat.

Baca Juga: Model Tafsir Sastra di Era Kontemporer

Sedangkan pandangan tradisional mengira al-Qur’an menjadi teks peninggalan dari Nabi Muhammad dan diterbitkan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Dalam menafsirkan seringkali penafsir dikondisikan oleh kepribadian, prasangka, dan keterkaitannya dengan sesuatu. Hal ini menyebabkan makna yang ditafsirkan jauh dari maghza. Abu Zayd mengungkapkan bahwa al-Qur’an itu sebuah teks ilmu bahasa (nash lughawi) yang dihubungkan dengan konteks dan budaya khusus (yantami).

Dalam hal ini, Abu Zayd mengungkapkan bahwa al-Qur’an itu adalah sebuah teks yang sama seperti teks-teks lainnya, sehingga dia tidak melihat kekhususan atau kekeramatan dalam menemukan makna-makna al-Qur’an. Maka, al-Qur’an sebagai suatu naskah dapat ditafsirkan dengan pendekatan kritik modern. Alasan Abu Zayd adalah agar supaya orang-orang Islam, Kristen, dan Atheis bisa mempelajari al-Qur’an, sebab kebudayaan Arab menyatu dengannya.

Dalam artian, terdapat perkiraan bahwa al-Qur’an juga hasil kebudayaan (al-muntaj al-tsaqafi). Pengertiannya ini didasarkan pada uraian semenjak al-Qur’an diterima selama 20 tahun lebih dalam sebuah kebudayaan dan konteks khusus. Ketika Tuhan memberikan al-Qur’an melalui pesuruhnya (Malaikat), Dia memilih bahasa manusia sebagai kode atau simbol untuk wahyu dan memberikan suatu bahasa yang tidak bisa dipisah dari kebudayaannya.

Sebab diwujudkan dalam bahasa. Selanjutnya, tidak mungkin bisa memisahkan naskah itu dari konteks kebudayaannya. Ketergantungan al-Qur’an atas bahasa Arab memperkuat pendapat Abu Zayd bahwa al-Qur’an lebih dekat hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan Arab. Hubungan ini ditunjukkan dalam ayat yang menggambarkan sejarah pada masa Muhammad, seperti dalam asbab al-nuzul, ayat Makkiyyah, Madaniyyah, dan lain sebagainya.

Di sini ia menggambarkan bahwa teks itu sebagai subjek dan kehidupan sebagai objek. Meskipun demikian, Abu Zayd membantah pendapat yang mengungkapkan bahwa al-Qur’an adalah buatan manusia, hanya penulisannya saja yang menggunakan bahasa manusia. Istilah teks berasal dari bahasa Latin “textus”, yang berarti susunan, struktur, dan bentuk. Al-Qur’an sebagai teks memiliki hubungan antara wahyu dan risalah (pesan).

Maka, dengan dipengaruhi oleh para hermeneutis Barat, khususnya E.D. Hirsch Jr., yang membedakan antara ma’na (meaning) dan maghza (significance), Abu Zayd ingin melakukan upaya baru, yakni mengeliminasi jarak antara subjek dan objek. Menurut Abu Zayd, sebuah penafsiran tidak berhenti dengan penemuan makna historis teks, melainkan dengan melihat signifikansinya yang selalu berubah dalam konteks kontemporer.

Untuk mendukung pembedaan antara makna historis dengan signifikansi ini, Abu Zayd menggunakan makna ta’wil itu sendiri dan menganalisis ayat-ayat al-Qur’an yang bermuat terma tersebut. Abu Zayd menemukan bahwa proses tafsir, yang ia sebut penafsiran kontekstual (al-qira’ah al-siyaqiyyah), haruslah mengikuti dua tahap. Pertama, harus merujuk kepada makna dalam konteks sejarah dan budaya (tarikhiyyat al-dalalah).

Kedua, sampai kepada signifikansi (maghza) dalam konteks kehidupan sekarang. Abu Zayd mengungkapkan bahwa dengan penafsiran kontekstual ini seseorang dapat mencapai secara objektif makna historis teks. Signifikansinya di sisi lain adalah relatif dan merujuk kepada penafsiran dan konteks yang berbeda. Bagaimanapun, signifikansi ini haruslah secara erat berhubungan dengan makna historis.

Abu Zayd mengkritik teori penafsiran para ulama yang mengabaikan makna historis dan historisitas teks tersebut, atau juga mereduksinya karena teks itu menyangkut masa lalu dan tidak berguna bagi masa kini dikarenakan telah dihegemoni (qira’ah diniyyah) oleh kalangan ulama (al-Azhar) di Mesir, yang merasa paling benar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Maka, ia memunculkan teori hermeneutik, sebagai literary critisism, yang berorientasi untuk mengkaji ma’na (meaning) dan maghza (significance).

Hermeneutic menurut Abu Zayd adalah membahas mengenai hubungan antara pembaca teks (mufassir), teks (al-Qur’an), dan pemilik teks (Allah). Istilah hermeneutic adalah istilah yang digunakan untuk kajian ketuhanan yang membahas mengenai kaidah-kaidah dalam memahami teks keagamaan (Kitab Suci). Maka, hermeneutic berbeda dengan tafsir (exegenis), di mana hermeneutic lebih sebagai teori penafsiran.

Fokus hermeneutic lebih pada persoalan hubungan antara mufassir dengan teks. Bagaimana seorang mufassir dapat memahami teks sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemilik teks, bahkan lebih baik daripada pemilik teks itu sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah apakah bisa seorang mufassir (dengan segala keterbatasannya sebagai manusia) memahami teks (ayat-ayat al-Qur’an).

Sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah? Jika melihat apa yang dilakukan oleh para mufassir dengan mencoba menafsirkan al-Qur’an, baik dengan metode maudui, tafsir bi al-ma’thur maupun mereka yang tergolong kepada ahl al-ra’yi (al-ta’wil), maka jawabannya adalah dapat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah teks yang terbaca itu sudah dapat mewakili isi pemikiran penulisnya?

Jika jawabannya adalah iya, maka apakah dapat dikatakan bahwa seorang pembaca dapat memahami isi pemikiran penulis teks dengan hanya membaca teks yang ditulisnya? Jika tidak, maka bagaimana hubungan antara teks, pembaca teks, dan penulis teks? Apakah ada perbedaan paham antara penulis teks dengan pembaca teks apabila keduanya hidup pada masa yang berbeda?

Jika demikian, mungkinkah seorang pembaca teks dapat memahami sebuah teks sesuai dengan penulisnya? Telah banyak dilakukan kajian mengenai hubungan antara penulis teks dengan kondisi zaman di saat ia menulis teks. Kajian ini memunculkan teori dominasi, bahwa ada faktor eksternal yang dominan dalam mempengaruhi pikiran seorang penulis. Dengan demikian, seorang pembaca teks harus memahami latar belakang penulis teks pada saat teks itu ditulis.

Teori ini ditentang oleh Elliout, bahwa teks itu tidak dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, sehingga seseorang pembaca teks tidak perlu mencari faktor eksternal yang mempengaruhi ditulisnya teks itu, seorang pembaca cukup memahaminya melalui pendekatan bahasa. Namun, Shleirmacher, memiliki pandangan lain. Ia mengungkapkan bahwa teks suci juga harus dipahami seperti teks-teks lainnya, sehingga ia dapat dimasukkan dalam wilayah ilmu.

Dengan demikian, perlu adanya syarat yang harus dipenuhi dalam rangka memahami maksudnya, yang disebut dengan tafsir. Menurut pendapatnya, teks merupakan mediator antara pembaca dan penulis. Maka, ada hubungan dialektis antara bahasa dengan penulis teks. Dengan demikian, semakin lama usia teks, semakin sulit dipahami oleh pembaca, sebab bahasa terus berkembang.

Oleh karenanya, harus ada upaya penetapan aturan untuk menyelesaikan persoalan itu, baik dari sisi bahasa maupun kehidupan penulisnya. Bahasa merupakan standar bagi seorang penulis untuk mengungkapkan pemikirannya. Sementara itu, bahasa memiliki standar baku, sehingga standar inilah yang menjadikan penafsiran itu mungkin dilakukan, asalkan penulis tidak menggunakan bahasa yang aneh.

Apabila itu dilakukan oleh penulis, maka penafsiran terhadap teks yang ditulisnya menjadi tidak mungkin dilakukan. Selain Shleirmacher, adalah W. Dilthey yang juga berbicara mengenai hermeneutika, bahwa harus dibedakan antara ilmu alam, ilmu sejarah, dan humaniora. Dilthey ingin membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta, sebab objek kajian daripada ilmu-ilmu sosial adalah pemikiran manusia, sementara ilmu-ilmu eksakta adalah hal-hal yang bersifat pasti.

Ilmu-ilmu sosial membutuhkan analisa yang bersifat kemanusiaan dan itu membutuhkan analisa yang tajam terhadap fenomena kemanusiaan dan inilah yang dibutuhkan dalam melakukan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Pemahaman semacam itu dapat dicapai dengan cara hidup kembali untuk yang kedua kali dari pengalaman kehidupan yang telah dialaminya. Kegagalan yang dilakukan oleh ilmuan sosial disebabkan oleh mereka belum pernah merasakan peristiwa sosial yang ia kaji sebelumnya.

Maka, Dilthey mengungkapkan bahwa dasar dari pengetahuan adalah eksperimen atau pengalaman pribadi. Eksperimen atau pengalaman pribadi yang dimaksudkan oleh Dilthey dalam hal ini adalah eksperimen yang terus menerus atau dinamis. Jadi, pengalaman lebih berharga daripada analisa pemikiran. Semakin banyak ditemukan pengalaman yang sama di antara manusia, maka semakin kuat kesimpulan yang dimunculkan.

Baca Juga: Pendekatan Fenomenologi dalam Memahami Ajaran Agama Islam

Kemudian bagaimana memahami pengalaman pribadi orang lain untuk dibawa ke dalam diri seseorang? Jawabannya menurut Dilthey adalah melalui ungkapan, baik dalam bentuk perilaku maupun teks tertulis. Itulah yang disebut dengan istilah objektivasi (objectivication). Dalam istilah Dilthey disebut dengan Expressions of lived experience dengan menggunakan ungkapan bahasa sebagai sarananya.

Manusia adalah makhluk hidup yang berkembang, maka dalam memahami diri manusia, tidak cukup dengan analisa tetapi melalui pengalaman hidup yang dilaluinya. Keinginan manusia tidak terbatas dan manusia diciptakan bukan sebagai proyek mati, seperti robot atau benda lainnya, namun ia diciptakan melalui proses kehidupannya. Maka, dalam memahami kehidupan manusia tidak bisa secara langsung, namun melalui proses penafsiran hermeneutik dari kehidupan yang dilaluinya pada masa lampau.

Maka, pemahaman seseorang terhadap masa lampau semakin baik dan matang ketika apa yang dialami saat ini ada kesamaan dengan yang pernah dialaminya di masa lampau. Demikian pula ketika seseorang memahami sebuah teks, baik yang berbicara dengan sesuatu yang terjadi di masa lampau atau yang terjadi pada masa kini, dengan melalui pengalaman hidup manusia akan menjadi semakin baik.

Apa yang dikemukakan oleh teks keagamaan tentang masa lampau bisa dibawa pada peristiwa yang terjadi pada masa kini, sebab sesuatu yang pernah terjadi pada diri manusia pada masa lampau merupakan sesuatu yang akan terjadi juga pada masa kini. Maka, Dilthey menolak pendapat mengenai perubahan teks antara masa lampau dengan masa kini. Teks bisa tetap, namun pemahaman terhadap teks bisa berubah sesuai dengan pengalaman hidup yang dialami.

Maka, makna teks tidak tetap, namun selalu berubah (dinamis), sesuai dengan perubahan hubungan antara pembaca teks dengan teks tersebut. Karena itu, dalam memahami sebuah teks, tidak berangkat dari sebuah kekosongan, namun berangkat dari seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, penafsiran seseorang terhadap sebuah teks bisa tidak sama, sebab seperangkat pengetahuan yang sudah dimiliki oleh pembaca teks berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengalaman Batin dan Praktik Perilaku dalam Kajian Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Metode Hermeneutik dalam Memahami Islam di Era Kontemporer"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel