-->

Pengalaman Batin dan Praktik Perilaku dalam Kajian Islam

fikriamiruddin.com - Dalam kerangka berpikir Charles J. Adams, pemahaman mengenai konsep Islam tidak bisa dipisahkan begitu aja dari pandangan dunia para pemeluknya. Pemaknaan terhadap Islam, pada umumnya masih sangat terbatas, termasuk model pendefinisian modern yang cenderung reduksionis. Dalam artian, belum memberi penjelasan yang memadai mengenai Islam. Islam tidak bisa diartikan dalam satu bentuk, namun banyak bentuk, tidak hanya satu bentuk sistem kepercayaan dan praktik, namun banyak sistem dan praktik.

Kajian Islam

Dari itulah, definisi mengenai Islam selama 100 tahun lebih belum ada yang memuaskan. Terdapat aspek-aspek penting dalam Islam yang menjadi pandangan dunia masyarakat muslim tidak tercover dalam pemaknaan Islam selama ini. Terdapat beberapa perbedaan di kalangan umat Islam dalam memahami Islam. Sebagai contoh, komunitas Sunni dan Syi’ah. Keduanya sama-sama memiliki bentuk inovasi tersendiri dalam memahami Islam.

Jadi, ada kesulitan dalam memahami apa itu Islam. Kesulitan ini juga ditemukan ketika ingin memahami apa itu Kristen, apa itu Budha dan seterusnya. Kesulitan-kesulitan itu, menurut Adams disebabkan oleh keluasan konsep Islam itu sendiri dan keanekaragaman komunitas muslim secara historis. Mengkaji Islam sebagai agama, sebagaimana dirasakan oleh Adams sendiri, memang mengisyaratkan adanya kesulitan-kesulitan yang cukup berat.

Kesulitan ini muncul disebabkan rumitnya pemahaman mengenai konsep Islam dan agama itu sendiri. Atas dasar itu, Adams berpendapat bahwa tidak ada harapan untuk merealisasikan sebuah definisi paling esensial mengenai Islam yang bisa berlaku secara universal. Kendati demikian, Islam harus dilihat dari perspektif sejarah sebagai sesuatu yang mengalami perubahan secara terus menerus, berkembang dan membentuk jawaban generasi muslim secara berturut-turut terhadap pandangan mereka yang paling dalam mengenai realitas dan makna kehidupan manusia.

Dengan demikian, Islam tidak dapat dipahami hanya secara sepihak, namun agak lebih lengkap, bukan sebuah sistem kepercayaan atau peribadatan, namun beberapa sistem. Akhirnya, Adams mengungkapkan bahwa untuk memahami Islam harus merujuk pada suatu pengalaman sejarah yang terus berproses, berubah dan berkembang untuk merespon segala bentuk realitas dalam kehidupan manusia.

Dalam memberikan pemaknaan terhadap Islam sebagai agama, Adams mendekatinya dari dua perspektif; pertama, inward experience, bahwa terdapat dimensi batin dalam agama, suatu wilayah kesadaran, perasaan dan tanggung jawab yang bersifat personal atau tidak dapat dikomunikasikan. Area ini hanya bisa diakses keseluruhannya. Kedua, outward behavior, bahwa terdapat dimensi eksternal yang dapat diamati dan dikomunikasikan.

Baca Juga: Perlunya Ilmu Sosial dalam Memahami Ajaran Agama Islam

Dalam tulisannya, Wilfred Cantwell Smith mengungkapkan bahwa menjelaskan persoalan pemaknaan agama dapat melalui dua pendekatan; tradition dan faith. Yang pertama mengandung arti eksternal (outward behavior/outerlife), yakni aspek-aspek sosial dan kesejarahan keagamaan yang bisa diamati dari kehidupan masyarakat. Sedangkan yang kedua, internal (inward behaviour/innerlife), dalam artian tidak terlukiskan sebab merupakan orientasi transendental dan dimensi kehidupan beragama yang bersifat pribadi.

Maka, ketika Islam sebagai agama, merupakan pengalaman mengenai realitas kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya kepada manusia, jawaban atas pengalaman-pengalaman itu, ekspresi keagamaan, perkembangan pengalaman melalui bentuk-bentuk intelektual, struktur ibadah dan tipe-tipe pengelompokan sosial yang jelas. Karena itu, Adams menawarkan lima perspektif untuk mendekati Islam, yakni normative or religious approach, philological approach, historical approach, social scientific approach, dan phenomenological approach.

Kelima pendekatan tersebut dapat dirampingkan menjadi dua bentuk pendekatan, yakni normative (al-‘aql al-dini al-lahuti) dan descriptive (al-‘aql al-falsafi). Yang pertama digunakan oleh mereka yang memiliki komitmen keagamaan, di mana konteks kajiannya bertujuan untuk menarik orang lain masuk ke dalam agamanya. Yang kedua digunakan oleh peneliti yang semata-mata dimotivasi oleh intellectual curiosity terhadap Islam.

Menurut Sidi Gazalba, filsafat merupakan berpikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Pendekatan filosofis (philosophical approach) dapat digunakan dalam memahami ajaran agama Islam dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran Islam dapat dimengerti dan dipahami secara seksama.

Sebagai contoh, upaya untuk mengungkapkan hikmah di balik ajaran-ajaran Islam, seperti salat berjama’ah, yang hikmahnya adalah hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan berpuasa dapat merasakan lapar yang biasa dirasakan oleh fakir miskin, sehingga dapat memunculkan rasa iba kepada mereka dan seterusnya. Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistik.

Yakni, mengamalkan agama dengan susah payah namun tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Orang sudah menunaikan haji namun hanya berhenti di situ aja, tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Di antara pendekatan yang berdekatan dengan perspektif normatif adalah the traditional missionary approach, the muslim apologetic approach, dan irenic approach.

The traditional missionary approach merupakan pendekatan yang muncul bermula dari terjadinya booming misionaris sebagai serpihan dari umat, sekte, dan gereja Kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer Eropa di Asia dan Afrika pada abad ke-19. The apologetic approach merupakan pendekatan yang memiliki kecenderungan untuk membanggakan masa lalu, sebagai pijakan dalam menghadapi modernitas.

Melalui pendekatan apologetic, sebagian pemikir muslim mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam tidak hanya untuk menjawab hegemoni politik Eropa, namun sekaligus tantangan intelektual Eropa yang mempersoalkan aspek-aspek tertentu ajaran Islam, seperti jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan, dan lain-lain. Pendekatan apologetik cenderung normatif dan idealistik dengan mengabaikan realitas sosial; selain itu juga mencerminkan sikap reaksioner.

Oleh karenanya, pendekatan apologetik ini cenderung memiliki konotasi negatif. Namun, pada segi lain, apologeisme pada dasarnya merupakan mekanisme pembelaan diri terhadap ancaman, tantangan dan kritik dari luar yang sering sangat agresif. Sementara, apabila dilihat dari perspektif umat Islam sendiri, apologisme menunjukkan keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan situasi yang represif.

Sikap apologetik pada batas tertentu dapat dipahami dan dibenarkan, bahkan dari segi tertentu diperlukan sebagai upaya untuk membangkitkan kembali rasa kebanggaan kepada ajaran Islam dan sejarahnya yang pernah berjaya itu. Apologi pun dapat mendatangkan semacam kenyamanan psikologis, sebab ia bisa memberi kepuasan dan kebanggaan sebagai pemeluk Islam.

Apologisme juga dapat bersifat positif, sebab ia dapat menjadi inspirasi, yang pada gilirannya dapat mendorong dinamisme sosial. Bahkan apologi yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumbangan kultural dan spiritual untuk menyusun suatu sistem sosio-kultural yang viable. Namun, harus segera diakui bahwa apologisme sering tidak menyelesaikan persoalan, sebab ia memang tidak memberikan jawaban konkrit terhadap tantangan yang ada.

Bahkan, apabila tingkat apologisme cukup tinggi, ia dapat memunculkan pemikiran dan tindakan yang tidak realistis. Jadi, output apologisme bersifat tidak kreatif atau proaktif. Di sini kalangan apologis terjerambab dan terperangkap dalam kegiatan-kegiatan reaktif; sibuk menjelaskan bahwa kemodernan yang ada di Barat juga telah ada di dalam Islam sejak waktu yang lebih lama.

Mengagung-agungkan masa lalu seraya mengulang-ulang kesempurnaan Islam, sebenarnya sekaligus berarti menutup-nutupi masalah riil dan aktual yang dihadapi. Dengan demikian, apologisme akan melumpuhkan pemikiran kreatif untuk pencarian jawaban yang tepat terhadap berbagai tantangan yang ada. Sifat restropektif dan reaksioner yang terkandung dalam apologisme mendorong pemecahan persoalan secara intelektual ke belakang, tidak ke depan dan menimbulkan persoalan abstrak yang tidak ada hubungannya dengan realitas yang dihadapi.

Maka, perlu adanya pembaruan pemikiran dalam masyarakat Islam. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, di antaranya adalah wataknya yang cenderung defensif dan seringkali mengorbankan nilai-nilai ilmiah, sebab caranya yang selalu menampilkan masa keemasan Islam. Irenic approach pada dasarnya merupakan upaya orang-orang Barat untuk membangun saling simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa.

Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal Perang Dunia ke-II. Pendekatan ini bertujuan untuk mengenalkan Islam dan membentuk dalam mengembangkan sikap baru terhadap Islam, agar orang Kristen bersikap terbuka terhadap Islam.

Baca Juga: Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam

Sementara itu, pendekatan deskriptif merupakan pendekatan yang terdiri dari pendekatan filologis (philological approach), pendekatan yang cukup membantu dalam membuka daftar kekayaan materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, seperti sejarah, teologi, hukum dan mistisisme. Pendekatan filologis adalah pendekatan yang menitik beratkan pada bahasa. Oleh karenanya, Adam menyatakan bahwa kajian secara serius terhadap Islam tanpa menguasai Bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan (an absurdity).

Social scientific approach, menurut Adams, cukup sulit dijelaskan. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan mengenai adanya kemungkinan dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua, kecenderungan untuk mendekati kajian mengenai manusia dengan membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan.

Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang dilahirkan oleh sekelompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. Pada dasarnya ia merupakan suatu usaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagai fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Namun, sebagaimana dirasakan oleh Adams, terdapat kesulitan dalam melakukan kajian agama secara ilmiah dan independen.

Hal tersebut terbukti bahwa para peneliti agama, termasuk Islam masih dipengaruhi oleh kecenderungan teologis. Hal ini disebabkan oleh sifat agama itu sendiri, yang memiliki referensi transendental. Karena itu, Adams menganjurkan agar para peneliti agama, termasuk Islam, ketika sedang mengkaji Islam, harus beranggapan bahwa agama itu bukan lagi miliknya. Islam as a history, selalu berkembang dan berubah.

Islam di Baghdad tidak sama dengan di Cordoba. Jadi, kritik Adams adalah terjadinya pertentangan antara historian dan essensialist, yang menyamakan sesuatu dengan penglihatan yang umum.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Konstruksi Teori dan Pendekatan dalam Kajian Keislaman. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pengalaman Batin dan Praktik Perilaku dalam Kajian Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel