-->

Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam

fikriamiruddin.com - Arkoun mengungkapkan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, oleh kalangan muslim, yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis, terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman. Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak terlalu mendalam.

Memahami Islam

Di mana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. Mereka terkadang hanya berangkat dari pendekatan linguistik (filologis), sehingga miskin akan discourse of analysis. Dengan melihat kasus di Perancis, Arkoun membicarakan mengenai perbedaan tradisi yang terjadi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara umum.

Yakni, perbedaan antara peneliti dari kelompok ilmu-ilmu humanities di Barat, yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkoun menyayangkan, sebab para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang epistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities.

Arkoun mengkritik para orientalis dengan mengungkapkan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkoun mengajak untuk mengadakan revolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab. Arkoun mengungkapkan bahwa para pengkaji Islam harus keluar dari sikap spesialisasi keilmuan yang sempit, sebab sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan lainnya.

Sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Faktor yang mendorong Arkoun untuk tidak menyukai sikap spesialisasi yang sempit, sebab hal itu dapat menyebabkan penyudutan objek kajian dan memberikannya suatu gambaran yang sepotong, tidak menyeluruh. Menurut Arkoun, apabila semua ilmu sosial saling mendukung satu sama lainnya, maka akan dapat menghadirkan sebuah pandangan yang universal mengenai suatu masyarakat.

Menurut Arkoun, selama ini seorang sosiolog hanya disibukkan oleh dunianya sendiri, ilmuan bahasa juga demikian, seorang antropolog juga demikian dan seterusnya. Tidak ada satu pun yang saling berkomunikasi untuk menyampaikan hasil pemikirannya yang kemudian digabungkan dalam satu kesimpulan. Padahal, berbagai macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya.

Dalam pandangan Arkoun, akan sulit memahami apa yang terjadi di masyarakat Arab dan Islam apabila tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan seterusnya. Untuk bisa memahami semua itu, dibutuhkan yang namanya ilmu-ilmu sosial. Namun, masyarakat Islam masih belum melakukannya dan belum mencoba untuk mempelajarinya, sehingga terdapat beberapa kendala ideologis, teologis dan politis yang membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya.

Baca Juga: Konstruksi Teori dan Pendekatan dalam Kajian Keislaman

Secara sederhana, dari paparan Arkoun bisa disimpulkan bahwa kekurangan dari beberapa kajian yang dilakukan oleh Barat, terutama mengenai fundamentalisme Islam, adalah miskinnya analisis atau epistemologi. Kajian yang mereka lakukan cukup membosankan dan berputar-putar sekitar Islam sebagai oknum yang bertanggungjawab atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat berbasis muslim.

Maksudnya, Barat sering berkeyakinan bahwa Islam bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi di masyarakat Islam atau Arab. Mereka membebani Islam sebagai lembaga yang bertanggung jawab dari semua peristiwa, padahal di sana terdapat beberapa faktor lain seperti sosiologis, politis, dan ekonomi.

Dulu para penganut paham Marxis memahami sesuatu dari sudut pandang ekonomi, dan kini para orientalis memahami sesuatu dari sudut pandang Islam. Padahal dalam realitasnya, yang membangkitkan gejolak di masyarakat adalah banyak faktor, bukan hanya satu faktor. Mereka berbicara mengenai Islam dengan “I” huruf besar, bukan dengan “i” huruf kecil, dan menjadikannya sebagai faktor tunggal yang menyebabkan semua peristiwa itu terjadi.

Yang tidak dapat diintervensi oleh sesuatu yang lain. Mereka berbicara mengenai Islam, seakan-akan Islam sebagai sumber utama dan terakhir dari semua pemikiran dan sikap yang muncul di semua lapisan masyarakat Islam. Sementara itu, kaum fundamentalis Islam juga menolak kajian-kajian ilmu sosial untuk digunakan dalam mengkaji Islam dan memiliki sikap yang mudah tersinggung daripada melakukan penelitian mengenai Islam secara ilmiah.

Maka, Arkoun mengungkapkan bahwa untuk memahami masyarakat Arab atau Islam pada masa kini, dibutuhkan metodologi nalar baru yang pluralis sesuai dengan segala masyarakat, progresif, komparatif, revolusioner, memiliki sifat terbuka, sistematis, memiliki analisa yang luas, universal. Nalar ini oleh Arkoun disebut dengan nalar falsafi. Nalar ini adalah lawan dari nalar teologis. Nalar ini bersifat defensif, ofensif, dan dogmatif.

Sebuah nalar yang menutup gerak pemikiran Islam semenjak abad ke XI dan XII masehi. Nalar teologis ini berakibat pada sakralisasi pemikiran keagamaan dan pemikiran semacam inilah yang memunculkan gerakan fundamentalisme dalam setiap agama-agama. Islam semacam inilah yang dikaji oleh para sarjana Barat, sebab mereka mengkaji Islam dari masyarakat muslim yang sedang mencari kerja di Eropa.

Padahal, para pekerja muslim yang mencari sesuap roti di Eropa itu membawa potret Islam yang cukup sederhana, sehingga tidak mungkin memahami pemikiran Islam atau filsafat Islam hanya dengan membaca potret tersebut, namun inilah yang dilakukan oleh masyarakat Barat dalam melihat Islam. Struktur fundamental dari al-‘aql al-falsafi adalah logis, human properties, kritis, dan essense.

Sementara struktur fundamental dari al-‘aql al-dini adalah teks/wahyu dan untinkable. Maka wajib bagi ilmuan sosial untuk membongkar paradigma itu, sebab banyak sekali para peneliti yang tidak peduli dengan hal ini dalam melakukan kajian mengenai Islam. Mereka hanya memperhatikan peristiwa-peristiwa yang sering muncul ke permukaan dengan mengkaji para tokohnya atau pemimpinnya.

Namun, mereka tidak mau mengkaji lebih jauh dari itu. Maka langkah untuk membebaskan diri dari belenggu ungkapan-ungkapan dan teks-teks keimanan adalah dengan melakukan pembebasan sejarah, bukan hanya dari metode sejarah filologi abad ke-19, namun juga dari para sejarawan yang menggabungkan antara filologi, sosiologi, ontologi dan antropologi. Setiap ilmu itu harus digunakan untuk memahami dua sumber baku yang diyakini oleh umat Islam dan membongkarnya dari dalam.

Dengan menguasai beberapa ilmu tersebut akan dapat dicapai suatu pemahaman yang utuh terhadap istilah-istilah, pemikiran-pemikiran, gambaran-gambaran klasik yang bermacam-macam, yang penuh dengan keyakinan dan ketakwaan. Sesungguhnya, bekunya pemikiran Islam selama beberapa abad telah menyebabkan lemahnya nalar kritik. Peran pemikiran Islam telah dikalahkan oleh sebuah pembenaran atas sebuah keimanan dan posisinya telah diselewengkan.

Dari posisi yang sebenarnya oleh pihak penguasa dan tokoh-tokoh agama, bahkan terkadang menjadi alat mekanis yang tidak mungkin dapat dikendalikan lagi, sebab tekanan dari lingkungan. Pemikiran dogmatis tersebut telah menyebabkan tertinggalnya nalar kritis atau menyebabkan berhentinya tugas nalar itu dari kerjanya hingga sekarang. Pemaksaan teologis dan politis itu pun masih terus berlanjut hingga sekarang.

Baca Juga: Perkembangan Model Pendekatan dalam Kajian Islam

Ironisnya, semua itu dilakukan oleh tokoh-tokoh agama yang memiliki kedekatan dengan penguasa. Mereka kemudian diberi jabatan sosial dan politik untuk membungkam dan mempertahankan pendapat penguasa. Sebagai contoh, ketika terjadi pemaksaan atas paham al-Qur’an sebagai makhluk, muncul seorang penguasa yang memaksakan pemahaman bahwa al-Qur’an bukan merupakan makhluk untuk melawan paham Muktazilah.

Yang mengakui al-Qur’an sebagai makhluk. Ia pun memaksakan masyarakat Islam untuk membaca teks akidah Qadiriyyah di setiap masjid di Baghdad. Maka, kemudian muncullah pernyataan yang menetapkan bahwa siapa saja yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, maka ia boleh dibunuh. Semenjak itu, tidak ada yang berani memunculkan pemikiran Muktazilah ataupun membicarakannya.

Demikianlah bagaimana dogma Islam Sunni yang sering disebut sebagai paham ortodoksi menjadi merasuk ke dalam jiwa umat Islam. Kondisi semacam ini pun terus berlanjut hingga masa pemerintahan Uthmani pada periode awal (penganut Hanafi), yang mewajibkan paham Sunni sebagai paham tunggal dan dianggap paham yang paling benar dalam memahami Islam. Sementara itu, di wilayah lain, tepatnya di Iran, kaum Safawid juga mewajibkan paham Syi’ah Imamiyyah sebagai paham tunggal yang paling benar dalam memahami Islam.

Demikian pula yang terjadi di beberapa wilayah Islam lainnya. Maka pada abad ke-19, warisan yang diperoleh oleh aliran skolastik merupakan warisan yang miskin, di mana kekuasaan Utsmani menyatakan sebagai kekuasaan Tuhan. Begitu juga dalam tarekat-tarekat sufi, yang berada di bawah kekuatan politik-agama, mereka menciptakan tradisi pengangkatan-pengangkatan santrinya ke derajat wali yang cukup suci.

Mereka menganggap para kaum santri yang telah mencapai derajat wali itu sebagai orang yang mampu mendekati Tuhan dan mampu memberikan manfaat bagi rakyat miskin dan bodoh yang melindungi mereka dari segala macam bentuk musibah. Islam yang semacam inilah yang dilihat pertama kali oleh masyarakat Eropa ketika mereka datang untuk menjajah negara-negara Muslim.

Islam semacam ini pulalah yang dikaji oleh ilmuan antropologi dan sosiologi untuk beberapa abad silam. Mereka melihat Islam sebagai bentuk khurafat, mistis, agama yang terbagi-bagi ke dalam beberapa kelompok tertentu. Oleh karenanya, Arkoun menawarkan teori baru dalam mengkaji Islam dengan menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, dan kritik literal. Teori ini yang kemudian disebut dengan istilah al-‘aql al-jadid al-istithla’i.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Urgensi Pendekatan dan Metode dalam Kajian Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel