-->

Pandangan tentang Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam

fikriamiruddin.com - Al-Qur’an mendorong penggunaan akal dan sangat menghargai pemikiran. Dalam al-Qur’an ditemukan kata-kata maupun kalimat yang memberi perhatian besar terhadap akal tersebut. Kata yang berakar dari ‘aqala menjadi ta’qilun terdapat 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qilun 1 ayat, ‘aqaluh 1 ayat, dan ya’qilun dalam 22 ayat. Kata lain yang mengandung penghargaan pada akal seperti nazara terdapat 30 ayat lebih, tadabbar sebanyak 8 ayat, tafakkar sebanyak 16 ayat, faqiha 16 ayat, tadhakkar lebih dari 40 ayat, serta kata lain seperti ulu al-albab, ulu al-ilm, ulu al-absar, dan uli al-nuha.

Teologi Islam

Dalam bentuk kalimat terdapat ayat-ayat yang memberi penghargaan dan motivasi al-Qur’an terhadap akal. Seperti al-Baqarah 164; Ali Imran 190-191; al-A’raf 21; al-Anbiya’ 22; al-Ra’d 16; al-Hajj 5-7; Yasin 78-79; al-Dhariyat 20-23; al-A’raf 179; Yunus 6; al-Mu’minun 91; Fatir 13-14; Fussilat 39; dan Qaf 6-8. Akal dan wahyu dalam perspektif ilmu kalam memiliki dua dimensi yang saling membutuhkan.

Hubungan antara keduanya menyebabkan munculnya beberapa aliran dalam ilmu Kalam, terutama pada beberapa masalah di antaranya mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepadanya, mengetahui baik dan buruk, serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.

1. Mengetahui Tuhan

Ulama kalam sepakat bahwa Tuhan dapat diketahui baik melalui wahyu maupun akal. Kaum Mu’tazilah menyatakan bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh melalui perantaraan akal, baik yang berkenan dengan fisik maupun metafisik, termasuk Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya. Demikian pula pendapat Ahl al-Sunnah baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah yang Samarkand dan Bukhara bahwa Tuhan dapat diketahui melalui jangkauan akal.

Meskipun ulama kalam sepakat akan kemampuan akal dalam hal mengetahui Tuhan, tidak berarti bahwa pengetahuan yang diperoleh dari akal dan wahyu adalah sama. Hal ini dikarenakan objek wahyu dan akal berbeda. Pengetahuan akal terhadap Tuhan diperoleh secara spekulatif, yakni melalui proses pemikiran dan perenungan yang mendalam. Oleh karena itu, bersifat relatif, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu bersifat absolut. Pengetahuan akal bisa salah dan bisa benar serta pengetahuan dari wahyu pasti benar.

2. Kewajiban Mengetahui Tuhan dan Berterima kasih Kepada-Nya

Pada masalah tersebut kaum Mu’tazilah sepakat bahwa mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya wajib bagi manusia sungguh wahyu belum turun, sehingga menurut Abu al-Hudzail al-Allaf kalau seseorang tidak mengetahui Tuhan, ia berhak mendapat siksa selamanya. Wajib atas mukallah sebelum datangnya nass mengetahui Allah SWT dan apabila tidak mengetahuinya, ia wajib mendapat siksaan selamanya.

Pendapat semacam itu tidak hanya diikuti oleh kaum Mu’tazilah, namun juga diikuti oleh sebagian kaum Jabariyah dan Shifatiyah. Di kalangan Ahl al-Sunnah terjadi perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Kaum Asy’ariyah menyatakan bahwa akal tidak wajib mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu dan karenanya manusia tidak wajib beribadah atau berterima kasih kepada-Nya.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah surat al-Isra’ ayat 15. Jadi, menurut Ahl al-Sunnah mengetahui Allah itu wajib melalui syara’ bukan melalui akal, demikian pula kewajiban berterima kasih kepada-Nya. Kaum Maturidiyah terbagi menjadi dua pendapat. Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan manusia wajib berterima kasih kepada-Nya, dengan melakukan ibadah meskipun wahyu tidak datang.

Sedangkan Maturidiyah Bukhara berpendapat, sungguh akal mampu dengan sendirinya mengetahui Allah, ia tidak sanggup dengan sendirinya mengetahui hukum-hukum taklifi, karenanya, sebelum turunnya wahyu manusia tidak wajib berterima kasih kepada Tuhan. Pendapat Maturidiyah Samarkand dalam hal ini sama dengan pendapat Mu’tazilah dan Maturidiyah Bukhara sesuai dengan Asy’ariyah.

Sungguh kaum Mu’tazilah dan yang sependapat dengan mereka berpendirian bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada-Nya. Ketika berbicara tentang ungkapan terima kasih itu, dalam artian cara-caranya, mereka sama dengan kaum Asy’ariyah, bahwa akal tidak dapat menentukan cara-cara berterima kasih sebagaimana dikehendaki Tuhan.

Misalnya cara shalat, jumlah raka’atnya, puasa tiap tahun selama sebulan dan sebagainya. Karena itu, wahyu tetap diperlukan sebab wahyulah yang menjelaskan aplikasi cara-cara (kayfiyah) ungkapan terima kasih tersebut.

Baca Juga: Pandangan tentang Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Teologi Islam

3. Mengetahui Baik dan Buruk

Menurut kaum Mu’tazilah, baik dan buruk dapat bahkan wajib diketahui oleh akal meskipun wahyu tidak turun. Menurut mereka, kebaikan dan keburukan sifatnya objektif (dhatiyah), dalam artian bahwa sesuatu mempunyai kebaikan dan keburukan karena ia mengandung nilai-nilai baik dan buruk sehingga dapat diketahui oleh akal meskipun tidak diberitahukan oleh wahyu. Misalnya, akal dapat mengetahui bahwa berdusta itu buruk, berbuat adil itu baik, dan sebagainya.

Kaum Maturidiyah baik yang Samarkand maupun Bukhara berpendapat seperti pendapat Mu’tazilah di atas. Menurut mereka, segala sesuatu mempunyai kebaikan dan keburukan yang dapat dijangkau oleh akal, baik secara jelas maupun tidak. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa segala sesuatu itu mempunyai kebaikan dan keburukan objektif (dhatiyah). Akal dapat mengetahui kebaikan atau keburukan sebagai perbuatan.

Baik mereka, perbuatan-perbuatan itu seolah-olah terjadi menjadi 3 macam, pertama, suatu perbuatan yang bisa diketahui kebaikannya dengan akal semata. Kedua, sesuatu yang kejelekannya bisa diketahui dengan akal semata, dan ketiga, sesuatu yang kebaikan serta kejelekannya tidak jelas bagi akal. Berbeda dengan kaum Maturidiyah dan Mu’tazilah, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui atau menentukan baik dan buruk.

Menurut mereka, tidak ada kebaikan dan keburukan yang bersifat objektif. Baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui syara’. Karena itu, sekiranya tidak ada wahyu, manusia tidak akan dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Suatu contoh, berdusta adalah perbuatan buruk karena wahyu menentukan demikian, seandainya wahyu menyatakan bahwa berdusta adalah perbuatan baik, maka ia mesti baik dan jika berdusta diwajibkan Tuhan, maka ia mesti bersifat wajib.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa kebanyakan ulama Mutakallimin baik dari kalangan Mu’tazilah maupun sebagian Ahl al-Sunnah (Maturidiyah) berpendapat bahwa baik dan buruk dapat diketahui akal. Ini berarti bahwa sesuatu dapat dikatakan baik apabila akal menyatakan bahwa ia baik dan buruk apabila menurutnya buruk. Sungguh demikian, tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui akal.

Kerena itu, menurut Ibn Abi Hasyim, seorang tokoh Mu’tazilah, ada perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui akal apakah membawa pada kebaikan maupun keburukan, yang oleh kaum Maturidiyah dimasukkan pada perbuatan yang kebaikan dan keburukannya tidak jelas bagi akal. Dalam hal demikian, wahyulah yang menentukan baik dan buruknya. Sejalan dengan hal ini, kaum Mu’tazilah mengadakan perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut pendapat akal dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut keterangan wahyu.

Dengan demikian, baik Mu’tazilah, Maturidiyah, maupun Asy’ariyah dalam hal mengetahui baik dan buruk sama-sama berhajat terhadap keterangan wahyu meskipun kadarnya berbeda. Dua aliran pertama memberi peluang pada akal sedang aliran terakhir tidak sama sekali.

4. Kewajiban Berbuat Baik dan Meninggalkan yang Buruk

Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk, menurut Mu’tazilah wajib diketahui oleh akal. Dalam hal ini, Abu Hudzail berpendapat, karena baik dan buruk dapat diketahui melalui perantaraan akal, maka manusia wajib mengerjakan yang baik misalnya bersikap lurus dan adil, serta wajib meninggalkan yang jahat seperti berdusta dan berbuat dzalim, meskipun wahyu tidak ada.

Kaum Maturidiyah Samarkand dan Bukhara, meskipun sepakat dengan Mu’tazilah mengenai kemampuan akal mengetahui perbuatan baik dan buruk, berbeda pendapat dengan mereka mengenai kemampuannya menentukan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan kejahatan. Menurut Maturidiyah, meskipun akal dapat mengetahui baik dan buruk, namun kewajiban untuk mengaplikasikannya datang dari syara’ bukan dari akal sebab yang menentukan kewajiban dalam hal ini hanya Allah semata.

Jadi menurut Maturidiyah suatu perbuatan yang baik menurut akal tidak mesti wajib dilakukan dan perbuatan buruk menurut akal tidak mesti harus ditinggalkan berdasarkan ketentuan akal itu sendiri. Kebaikan wajib dilakukan dan kewajiban wajib ditinggalkan semata-mata berdasar ketentuan wahyu Allah. Pendapat Maturidiyah sejalan dengan al-Asy’ariyah, baik al-Asy’ari al-Baghdadi maupun al-Ghazali berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban ditentukan oleh wahyu.

Baca Juga: Pendapat Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur

Dengan demikian, menurut mereka kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Akal tidak mempunyai otoritas untuk menentukan kewajiban ini. Sehingga dari tiga pendapat di atas tampaknya Mu’tazilah berbeda dengan Ahl al-Sunnah baik Asy’ariyah maupun Maturidiyah. Namun, tidak berarti tidak ada titik singgung persamaannya sama sekali, sebab Mu’tazilah di samping mengatakan bahwa akal wajib mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Mereka juga berpendapat bahwa ada kewajiban-kewajiban yang tidak dapat diketahui akal. Karena itu, mereka membagi kewajiban ini menjadi dua, yakni kewajiban yang ditentukan akal dan kewajiban yang ditentukan wahyu. Jadi, pada dasarnya baik Mu’tazilah maupun Ahl al-Sunnah membutuhkan wahyu untuk menentukan kewajiban tersebut, meskipun kadarnya tidak sama

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pandangan Mengenai Iman dan Kufur dalam Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to " Pandangan tentang Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel