-->

Pendapat Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur

fikriamiruddin.com - Setelah sebelumnya membahas mengenai pandangan tentang iman dan kufur dalam teologi Islam. Pada pembahasan ini akan dijelaskan lebih detail mengenai beberapa hal yang menjadi sumber perbedaan dalam aliran teologi Islam. Salah satu hal yang biasa diperdebatkan oleh beberapa aliran teologi Islam adalah iman dan kufur. Karena itu, untuk lebih membahas secara mendalam dan terperinci simak penjelasan sebagai berikut.

Teologi Islam

1. Aliran Khawarij

Iman menurut aliran Khawarij tidak cukup dengan hanya percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah agama juga merupakan bagian dari iman (al-‘amal juz al-iman). Menurut kaum Khawarij, siapa pun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah rasul-Nya, namun tidak melakukan salat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, bahkan melakukan perbuatan dosa maka ia dianggap kafir.

Jadi, apabila seorang mukmin melakukan dosa besar maupun kecil, maka orang tersebut termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh dibunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghanimah. Azariqah, salah satu sub-sekte dalam Khawarij, memiliki pandangan yang cukup ekstrim yakni dengan menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari kafir, yakni musyrik. Mereka menganggap siapa saja yang berada di luar barisan mereka sebagai orang musyrik.

Hampir sama dengan Azariqah, sub-sekte Najdah menggunakan predikat musyrik. Mereka menganggap musyrik bagi siapa saja yang secara terus-menerus melakukan dosa kecil. Begitu juga dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara terus-menerus maka pelakunya hanya dianggap kafir, namun apabila dilakukan secara terus-menerus maka pelakunya dianggap musyrik.

Sub-sekte Ibadiyah memiliki pandangan yang lebih moderat, mereka memandang pelaku dosa besar bukan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang mengesakan Tuhan). Mereka juga tetap dianggap kafir namun hanya merupakan kafir nikmat, bukan kafir millah (agama). Adapun siksa bagi mereka di akhirat nanti sama dengan orang-orang kafir lainnya, kekal di dalam neraka.

2. Aliran Murji’ah

Aliran Murji’ah lahir sebagai reaksi terhadap pendapat kaum Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin al-As dan semua yang menyetujui tahkim setelah perang Siffin. Kaum Murji’ah memilih untuk menunda status hukum pihak-pihak yang bersengketa. Aliran Murji’ah sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yakni Murji’ah Ekstrim (Murji’ah Bid’ah) dan Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah).

Murji’ah ekstrim berpendapat bahwa iman terletak di dalam hati. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam hati. Karena itu, segala perbuatan dan ucapan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggugurkan imannya, bahkan ketika mereka menampakkan tingkah laku seperti orang Yahudi dan Nasrani sekalipun. Hal ini disebabkan lantaran kaum Murji’ah meyakini bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari iman.

Sedangkan yang dimaksud dengan Murji’ah Moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di dalam neraka, ia tidak kekal di dalamnya. Sebentar dan lamanya di dalam neraka tergantung pada dosa yang pernah diperbuatnya. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan akan membebaskannya dari siksa neraka.

Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman di samping ma’rifah (tasdiq). Oleh Harun Nasution dan Ahmad Amin, Abu Hanifah dan pengikutnya kelompok ini digolongkan ke dalam aliran Murji’ah Moderat. Pertimbangannya adalah pendapat Abu Hanifah mengenai pelaku dosa besar dan konsep iman yang tidak jauh berbeda dengan pendapat aliran Murji’ah Moderat.

Abu Hanifah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, namun bukan berarti bahwa dosanya tidak berimplikasi. Seandainya ia masuk neraka, itu lantaran Allah menghendakinya dan ia tidak akan kekal di dalamnya.

Baca Juga: Pandangan Mengenai Iman dan Kufur dalam Teologi Islam

3. Aliran Mu’tazilah

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka ia bukan termasuk mukmin dan bukan pula kafir, namun dihukumi sebagai orang yang berada di suatu tempat di antara dua tempat (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Setiap pelaku dosa besar menempati posisi tengah di antara posisi mukmin dan kafir.

Jika, meninggal dunia sebelum bertaubat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Namun, siksaan yang akan diterimanya lebih ringan dari siksaan orang-orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin Ata’ dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan bukan mukmin dan bukan kafir sebagai orang yang fasiq.

Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Hal ini bisa dipahami lantaran mereka memiliki paham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), salah satu prinsip dalam al-usul al-khamsah (lima ajaran dasar) mereka. Dalam artian, Allah telah berjanji akan memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muti’) dan mengancam dengan siksa neraka bagi orang-orang yang durhaka (al-asi).

Ma’rifat (pengetahuan dengan akal) juga menjadi aspek penting dalam konsep keimanan Mu’tazilah. Hal ini lantaran pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al-iman bi al-taqlid).

Mu’tazilah juga merumuskan perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. Menurut mereka, dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash. Sebaliknya, dosa kecil adalah segala pembangkangan yang ancamannya tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Mereka menjadikan ancaman sebagai kriteria dosa besar dan dosa kecil.

4. Aliran Ahlussunnah

Sebagai dikutip oleh al-Shahrastani, Abu Hasan al-Asy’ari seorang pendiri aliran Asy’ariyah mendefinisikan iman sebagai berikut “Al-Asy’ari berkata: Iman secara esensial adalah tasdiq bi al-jinan (membenarkan dengan hati). Sedangkan qawl bi al-lisan (mengatakan dengan lisan) dan amal bi al-arkan (melakukan dengan anggota badan) hanya merupakan furu’ (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan hatinya dan juga membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya.

Iman orang semacam ini merupakan iman yang sahih, sehingga apabila ia meninggal dalam keadaan seperti itu, dia meninggal dalam keadaan mukmin yang selamat. Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.” Adapun iman menurut al-Maturidi adalah tasdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Al-Maturidi juga menambahkan bahwa tasdiq tersebut harus diperoleh dari ma’rifah.

Tasdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli  dalam Surat al-Baqarah ayat 260. Menurut al-Maturidi, permintaan Nabi Ibrahim dalam ayat tersebut tidaklah berarti Nabi Ibrahim belum beriman. Namun, beliau mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.

Jadi, menurut al-Maturidi, iman adalah tasdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, menurutnya ma’rifah sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh al-Baznawi, adalah tasdiq bi al-qalb dan tasdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tasdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati mengenai keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya.

Baca Juga: Mengenal Ajaran Abu Hasan al-Asy’ari

Adapun yang dimaksud dengan tasdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yakni sama-sama menempatkan tasdiq sebagai unsur utama dari keimanan meskipun dengan pengungkapan yang berbeda.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Alasan Abu Hasan al-Asy’ari Keluar dari Aliran Mu’tazilah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to " Pendapat Aliran Teologi tentang Iman dan Kufur"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel