-->

Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i

fikriamiruddin.com - Menurut hasil kajiannya, Imam Syafi’i menemukan kelemahan fikih Iraq dan fikih Hijaz. Tanggapan terhadap fikih Hijaz, terutama pemikiran Imam Malik, dituangkan dalam karyanya berjudul “Khilaf Malik” (Sanggahan terhadap Imam Malik). Sanggahan terhadap fikih Iraq dikemukakan dalam karyanya berjudul “Khilaf al-Iraqiyyin” (Sanggahan terhadap para pakar fikih Iraq).
Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi'i

Di samping itu, Imam Syafi’i menulis kitab “al-Risalah” yang memuat rumusan kaidah-kaidah penggalian hukum dari sumber hukum. Inilah kitab Ushul Fikih yang pertama. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i menjelaskan mengenai posisi Sunnah Nabi Saw yang selama ini diabaikannya. Karena itu, Imam Syafi’i diberi gelar sebagai “Nashir al-Sunnah” (Penolong Sunnah Nabi Saw). Pemikiran hukum Islam Imam Syafi’i dituangkan dalam kitab al-Risalah. Secara ringkas, pemikiran Imam Syafi’i adalah sebagai berikut.

Pertama, al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama. Kedua, al-Sunnah merupakan sumber hukum yang menyempurnakan dan menjelaskan al-Qur’an, serta menetapkan hukum yang tidak dikemukakan al-Qur’an. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nilai dan kedudukan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena banyak dari ayat-ayat al-Qur’an yang tidak bisa dipraktikkan dengan benar tanpa disertai al-Sunnah.

Dalam pemakaian hadis Ahad, Imam Syafi’i berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Abu Hanifah secara mutlak meninggalkannya, Imam Malik lebih mengutamakan tradisi lokal masyarakat Madinah, sementara Imam Syafi’i memilih hadis Ahad yang shahih. Ketiga, al-Ijma’ merupakan kesepakatan seluruh ulama yang ada di negeri itu. Kalau ada satu orang saja dari mereka tidak terlibat dalam proses kesepakatannya, maka Ijma’ tersebut tidak sah.

Karena itu, Imam Syafi’i menentang kehujahan Ijma’ masyarakat Madinah yang dipegang Imam Malik, dan Ijma’ yang dipegang Imam Abu Hanifah. Keempat, perkataan sahabat harus didahulukan dari kajian akal mujtahid, karena para sahabat itu lebih pintar, lebih takwa, dan lebih saleh. Produk-produk ijtihad mereka yang dinyatakan lewat Ijma’ harus diterima secara mutlak. Sedang yang dikeluarkan melalui fatwa-fatwa individual boleh diterima dan boleh pula tidak, dengan menganalisis dasar-dasar fatwanya itu.

Kelima, Qiyas untuk kasus-kasus hukum yang belum diputuskan hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, serta belum pernah difatwakan oleh para sahabat. Orang yang pertama kali berbicara tentang Qiyas dilengkapi dengan kaidah-kaidah dan asas-asasnya adalah Imam Syafi’i. Qiyas, menurut Imam Syafi’i adalah menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketetapan nasnya dengan hukum suatu kasus yang sudah ada ketetapan nasnya karena adanya persamaan ‘illah hukum.

Keenam, Istishab, yakni memberlakukan hukum asal sebelum ada hukum baru yang mengubahnya. Dalam kitab “al-Umm”, Imam Syafi’i menyatakan bahwa kalau seseorang melakukan perjalanan dan ia membawa air, lalu ia menduga air itu telah tercampur najis, namun tidak yakin akan terjadinya percampuran tersebut, maka menurutnya air itu tetap suci, bisa dipakai untuk bersuci dan bisa juga untuk diminum.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi

Imam Syafi’i merasa berkewajiban untuk menyampaikan metode pemikiran hukumnya kepada seluruh dunia Islam. Menurutnya, tempat yang cocok untuk menyebarkan hasil pemikirannya adalah Baghdad yang merupakan ibukota kekhalifahan Islam. Ia kemudian pergi ke Baghdad yang kedua kalinya pada tahun 195 H ketika berumur 45 tahun. Di Baghdad, Imam Syafi’i menarik perhatian para ulama Iraq.

Tukar pikiran intensif terus dilakukan untuk mematangkan tawaran metode baru bagi penggalian hukum yang belum ada sebelumnya. Salah seorang yang aktif dalam kajian Imam Syafi’i adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih yang pernah bertemu dengan Imam Syafi’i sewaktu di Masjid al-haram. Saat itu, Imam Syafi’i mendiktekan kitabnya yang berjudul “al-Kutub al-Baghdadiyyah”.

Ia juga mendiktekan “al-Umm”, yang disebut juga “al-Mabsuth”. Kitab ini terdiri dari banyak jilid yang berisi masalah cabang masalah hukum Islam yang ditulis oleh muridnya, al-Za’farani. Demikian pula, ia mendiktekan karya ushul fikih-nya yang berjudul “ar-Risalah” yang diriwayatkan oleh az-Za’farani juga. Ia tinggal di Baghdad pada kali ini selama dua tahun. Kemudian, ia kembali ke Mekkah untuk mengunjungi Baitul Haram dan gurunya, Sufyan bin ‘Uyainah, namun ia hanya sebentar tinggal di Mekkah.

Selanjutnya, Imam Syafi’i kembali ke Baghdad pada kali yang ketiga pada tahun 198 H. Namun, ia tinggal di Baghdad hanya sebentar, karena terjadi perubahan iklim politik. Saat itu, kekhalifahan jatuh ke tangan al-Ma’mun yang didukung tentara muslim yang berasal dari Persia setelah mengalahkan saudaranya al-Amin yang didukung tentara muslim yang berasal dari kabilah-kabilah Arab.

Imam Syafi’i yang berasal dari keturunan Arab Quraisy tidak merasa nyaman berada di bawah penguasa yang bermusuhan dengan muslim Arab. Selain itu, al-Ma’mun merupakan salah satu filsuf dan ahli kalam yang sangat mendukung Mu’tazilah dan dekat dengan ulama mereka. Padahal Imam Syafi’i termasuk penentang Mu’tazilah. Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i pergi ke Mesir.

Imam Syafi’i merasa nyaman di Mesir, karena lima alasan. Pertama, ada banyak murid Imam Malik yang menjadi ulama besar dan tinggal di Mesir yang dahulu merupakan sahabatnya. Kedua, ada al-Laits bin Sa’ad yang sangat dekat dengannya. Ketiga, suasana ilmiah di Mesir cukup kondusif. Keempat, Gubernur Mesir adalah keturunan Arab Quraisy dan berasal dari keluarga Abbas, yakni al-Abbas bin Abdullah bin al-Abbas bin Musa bin Abdullah bin Abbas.

Kelima, di Mesir, Imam Syafi’i mendapatkan rezeki rutin dari bagian Dzawil Qurba, dari keluarga Nabi Saw yang ditetapkan oleh Gubernur Quraisy tersebut. Pikiran-pikiran Imam Syafi’i mendapatkan lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembang, meski harus bersaing dengan mazhab-mazhab lain yang sudah ada. Imam Syafi’i meninggal di Mesir pada akhir malam Bulan Rajab tahun 204 H ketika berumur 54 tahun di atas tempat tidurnya.

Ia tidak diberi umur panjang sebagaimana gurunya Imam Malik (82 tahun) atau Imam Abu Hanifah (70 tahun). Namun, umurnya yang pendek tidak menghalanginya untuk memberikan warisan ilmiah yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Masa Imam Syafi’i dikenal sebagai masa pembukuan ilmu (tadwin) dalam berbagai aspeknya. Para ulama bersemangat untuk membukukan ilmu dan merumuskan kaidah-kaidah-nya.

Baca Juga: Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki

Hal ini mendorong Imam Syafi’i ikut berperan dalam merumuskan kaidah-kaidah penggalian hukum Islam. Imam Syafi’i menyaksikan banyaknya hukum fikih yang dihasilkan berbagai aliran hukum, baik Mekkah, Madinah, maupun Irak. Namun, ia tidak menemukan kaidah penggalian hukum yang terbukukan. Lalu, Imam Syafi’i memperkenalkan apa yang dinamakan dengan ilmu ushul al-fikih. Imam Syafi’i pun dinobatkan sebagai penemunya.

Pada mulanya, ar-Risalah ditulis Imam Syafi’i untuk Abdurrahman al-Mahdi sebelum ia sampai di Mesir. Kemudian, ia menulis kembali buku ini ketika berada di Mesir. Sebagian besar kandungan buku ini adalah pembahasan ushul fikih. Ia juga menulis kajian ushul fikih di bukunya yang lain, seperti Ibtal al-Istihsan, Jamma’ al-Ilmu, Khilaf Malik, Khilaf al-Iraqiyyin, di bagian tengah kitab al-Umm, dan lain sebagainya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja’fari. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel