-->

Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki

fikriamiruddin.com - Diriwayatkan bahwa ketika Imam Malik hendak menulis kitabnya, ia berpikir tentang nama kitabnya. Imam Malik bercerita, “Aku tidur dan mimpi bertemu Nabi Saw. Nabi Saw bersabda kepadaku, “ilmu itu dipersiapkan untuk manusia”. Imam Malik kemudian memberi nama kitabnya dengan al-Muwatha’ yang berarti dipersiapkan. Jika Imam Malik hendak mengajar hadis, maka terlebih dahulu masuk kamar, mandi, memakai wewangian, mengenakan baju baru, dan memakai sorban yang diletakkan di kepalanya.
Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki

Setelah itu, Imam Malik keluar dan duduk di mimbar. Ia khusyu’ dan tidak pindah dari tempat duduknya sebelum menyelesaikan pengajian hadis (Ali, 2003). Imam Malik bin Anas (93-179 H./711-795 M.) adalah pendiri mazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Abi Amir. Ayahnya bernama Anas bin Malik berasal dari kabilah Ashbah daerah Yaman, sedangkan ibunya bernama al-‘Aliyah dari kabilah Azad.

Kakek Imam Malik datang ke Madinah ketika ia dizalimi penguasa Yaman. Keluarga ini banyak yang menekuni ilmu, periwayatan hadis, perkataan dan fatwa para sahabat Nabi. Kakeknya termasuk salah satu murid Nabi (tabi’in) yang terkemuka. Abu Amir telah meriwayatkan banyak hadis dari Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Thalhah, dan A’isyah ra. Anak-anaknya, termasuk Anas, meriwayatkan darinya.

Saudara Imam Malik yang bernama Nadhar lebih dahulu belajar dan mengambil hadis dari para ulama kalangan murid sahabat Nabi. Dengan demikian, Imam Malik hidup dalam suasana keluarga yang mencintai ilmu dan riwayat hadis. Imam Malik lahir dari keluarga pengrajin. Ayahnya seorang pengrajin panah. Namun, tidak ada seorang pun dari putranya yang meneruskan tradisi usaha ayahnya itu.

Salah seorang dari putranya itu (saudara Malik) bergerak dalam sektor perdagangan. Imam Malik turut bekerja sama dengan saudaranya itu, sehingga ia bisa mandiri sebagai pedagang kain sutra. Usaha inilah yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga Imam Malik. Pada usia remaja, Imam Malik telah menghafal al-Qur’an. Karena gelora belajarnya tumbuh dengan kuat, ia minta saran kepada ibunya tentang apa yang harus segera ia pelajari dan siapa guru yang harus ia datangi.

Ibunya menyarankan, agar Imam Malik mempelajari fikih aliran rasional dari Imam Rabi’ah al-Ra’yu (Rabi’ah Sang Rasionalis) yang berada di Madinah. Di majlis Rabi’ah ini, Imam Malik untuk pertama kalinya memperoleh pelajaran hukum Islam. Ia terus mendalaminya dengan mempelajari ragam metodologinya. Setelah itu, Imam Malik belajar di majelis Yahya bin Sa’id seorang pakar hukum Islam rasionalis di Madinah.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi

Perlu diketahui, bahwa rasionalis Madinah berbeda dengan rasionalis Iraq. Rasionalis Madinah mengkompromikan teks sumber hukum dan kebaikan umum (mashlahah). Sedangkan rasionalis Iraq mengedepankan Qiyas.

Di samping belajar pemikiran hukum Islam, Imam Malik juga belajar hadis Nabi Saw kepada sejumlah guru di kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in), antara lain: Abd al-Rahman bin Hurmuz, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab al-Zuhri, dan Sa’id Ibnu Musayyab. Hadis-hadis yang diterimanya dituangkan dalam suatu karya monumental, yakni al-Muwatha’. Kitab ini disusun dengan sistematika fikih.

Kitab ini juga memuat hadis-hadis Nabi Saw sekaligus tradisi masyarakat Madinah, pendapat para sahabat dan murid-muridnya, bahkan fatwa-fatwa Imam Malik sendiri. Imam Malik juga belajar kepada Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq. Ia sangat terkesan dengan Imam Ja’far yang tidak pernah meriwayatkan hadis Nabi Saw, kecuali dalam keadaan suci dari hadas dan puasa, serta setelah shalat dan membaca al-Qur’an.

Di antara guru-guru Imam Malik, yang mengesankan dirinya adalah Abdurrahman bin Hurmuz yang dikenal dengan julukan al-A’raj. Ibnu Hurmuz meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, Abi Sa’id al-Khudriy, dan Mu’awiyah. Imam Malik belajar bersama Ibn Hurmuz selama 13 tahun. Imam Malik sangat mencintai, kagum, dan mengagungkan gurunya ini. Ia banyak meniru perilaku dan akhlaknya.

Ia banyak mengambil mutiara hikmah yang diajarkannya. Salah satu perilaku Ibn Hurmuz yang selalu ditiru Imam Malik adalah kata "La Adri" (saya tidak tahu), ketika tidak mengetahui secara pasti jawaban atas persoalan yang ditanyakan kepadanya.

Suasana lingkungan Imam Malik adalah kota Nabi Saw, tempat hijrah-nya, dan pusat pemerintahan Islam masa awal pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Ada banyak sahabat Nabi tinggal di Madinah. Abdullah bin Umar pernah menulis kepada Abdullah bin Zubair dan Abdul Malik bin Marwan, “Jika kalian ingin bermusyawarah, silahkan datang di Dar al-Hijrah wa as-Sunnah (Madinah)”.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja’fari

Umar bin Abdul Aziz menulis surat ke kota-kota Islam untuk mengajarkan Sunnah Rasul kepada penduduknya. Namun, ia menulis kepada ulama Madinah menanyakan Sunnah Rasul yang ada pada mereka. Di kota Madinah yang merupakan gudang Sunnah Rasul inilah Imam Malik lahir, hidup, dan wafat dekat dengan makam Nabi Saw. Karena itu, ia hampir tidak pernah keluar dari  Madinah, kecuali saat ibadah haji ke Mekkah. Bila Imam Malik mengajar, ia memilih duduk di tempat duduk Umar bin Khattab sewaktu menjadi Khalifah.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Imam Malik: Tokoh Pendiri Mazhab Maliki"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel