-->

Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja’fari

fikriamiruddin.com - Suatu ketika Abu Ja’far al-Manshur, Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah memanggil Imam Abu Hanifah lantaran kurang senang kepada Imam Ja’far dan kaum Syi’ah. Khalifah al-Manshur kemudian menghasut Imam Abu Hanifah bahwa “Ja’far al-Shadiq telah membawa malapetaka bagi manusia. Karena itu, persiapkanlah untuknya pertanyaan yang berat-berat”, kata al-Manshur kepada Imam Abu Hanifah.
Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja'fari

Kemudian, al-Manshur mengundang Imam Ja’far dan mempertemukannya dengan Imam Abu Hanifah yang dihadiri orang banyak. Dalam pertemuan ini, Imam Abu Hanifah mengajukan 40 pertanyaan untuk menyudutkan Imam Ja’far. Semua pertanyaan tersebut dijawab dengan pandangan yang luas dan mendalam. Akhirnya, Imam Abu Hanifah berkata, “Sesungguhnya, Ja’far al-Shadiq adalah orang yang paling pandai. Ia adalah orang yang paling tahu tentang perbedaan pendapat para ahli hukum Islam”.

Sejak itu, Imam Abu Hanifah bersahabat dengan Imam Ja’far dan menjadi muridnya. Imam Ja’far Ash-Shodiq (80-148 H./699-765 M.) merupakan pendiri madzhab Ja’fari. Madzhab Ja’fari dikembangkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir (57-113 H./677-732 M.). Imam Ja’far mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari kakeknya, yakni Ali Zainal Abidin selama 15 tahun.

Namun, setelah kakeknya wafat pada tahun 94 H., ia terus dibina oleh ayahnya sendiri, Muhammad al-Baqir. Peluang untuk mempelajari ilmu-ilmu keagamaan lebih terbuka lebar, sebab Madinah merupakan pusat kajian ilmu-ilmu keagamaan. Di Madinah banyak pakar hadis dan hukum Islam sekaligus. Kakeknya sendiri ayah dari ibunya Qasim bin Muhammad, adalah seorang dari tujuh serangkaian ulama Madinah.

Imam Ja’far banyak mempelajari hadis-hadis Nabi Muhammad Saw serta hukum Islam dari kakeknya. Setelah Qasim meninggal pada tahun 108 H., Imam Ja’far terus belajar kepada ayahnya sendiri sampai ia memahami dengan mendalam mengenai hadis dan hukum Islam. ayah Imam Ja’far, al-Baqir, biasa menggunakan pendekatan yang sering digunakan oleh Sufyan al-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, dan Imam Abu Hanifah.

Al-Baqir memberikan perhatian kepada Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan. “Barangsiapa yang tidak menganggap tentu saja Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, dan Umar berarti ia mengabaikan Sunnah”, kata al-Baqir. Dari pertanyaan ini, ayah Imam Ja’far bukan Syi’ah yang mengabaikan sahabat Nabi Muhammad Saw lainnya.

Baca Juga: Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern

Selain ilmu-ilmu agama, Imam Ja’far juga pakar dalam ilmu-ilmu sains alam, seperti fisika, kimia, botani, astronomi, farmasi, dan kedokteran. Wawasannya juga sangat luas, meliputi kitab-kitab terdahulu, semacam Taurat, Injil, dan pengetahuan nabi-nabi terdahulu. Imam Ja’far mengalami pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kedua dinasti ini tidak menyukai kelompok Syi’ah.

Sebagai orang yang dianggap salah satu Imam Syi’ah (Imam keenam), Imam Ja’far kurang perhatian dengan kehidupan politik. Ia tenggelam dalam dunia ilmu. Imam Ja’far memiliki pengaruh yang luas di masyarakat. Karena pengaruhnya, Imam Ja’far berulangkali hendak dibunuh oleh para penguasa. Akhirnya, Imam Ja’far wafat lantaran racun yang dimasukkan ke dalam makanannya atas perintah Khalifah al-Manshur (Armando, 2005).

Ciri tradisionalisme dari aliran Syi’ah terlihat dalam pemikiran hukum Islam Imam Ja’far. Dalam hal ini, sumber hukumnya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah, serta pemikiran Imam Ja’far sendiri yang berpijak pada kebaikan umum (mashlahah). Imam Ja’far menganggap Qiyas sebagai tradisi iblis. Ia berargumentasi bahwa Iblis membandingkan dirinya dengan Nabi Adam, seperti yang tertuang dalam ayat 76 surat Shad yang artinya “Iblis berkata: aku lebih baik daripadanya, Karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Di antara karakteristik khas dari madzhab Ja’fari, selain menolak Qiyas, adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, dan akal. Termasuk ke dalam Sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt, yakni para Imam yang terjaga dari dosa. Mereka tidak mau menjadikan dalil para hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat yang memusuhi ahl-al-Bayt.

2. Dalam memahami al-Qur’an, madzhab Ja’fari tidak selalu berpegang pada makna lahirnya, namun juga makna batin al-Qur’an. Makna batin ini hanya bisa diungkapkan oleh para Imam kaum Syi’ah.

3. Ijma’ adalah konsensus ulama dari suatu madzhab di kalangan umat. Ijma’ hanya dipandang sebagai penjelas suatu hadis, bukan argumen yang mandiri.

4. Istihsan tidak boleh dipergunakan. Qiyas hanya dipergunakan bila ‘illat-nya terdapat dalam teks sumber hukum. Pada hal-hal yang tidak terdapat ketentuan teks sumber hukumnya, digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu.

5. Al-Qur’an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus dari al-Qur’an. Karena Nabi Muhammad Saw dan para Imam adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia al-Qur’an, maka penafsiran al-Qur’an yang paling absah adalah yang berasal dari mereka.

Berkenaan dengan akal, madzhab Ja’fari memandangnya tidak dapat dipisahkan dengan wahyu. Artinya, hukum apa pun yang ditetapkan oleh akal juga ditetapkan oleh syari’at. Dengan pandangan ini, apabila manusia telah mengetahui hal yang baik, maka ia wajib melaksanakannya. Meski mengakui peranan akal, madzhab Ja’fari menolak Qiyas dan Istihsan.

Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Modern

Pengaruh Madzhab Ja’fari

Imam Ja’far memiliki banyak murid, antara lain Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Ibnu Jarih, Syu’bah, bahkan fisikawan muslim terkenal, Jabir bin Hayyan. Murid-murid Imam Ja’far ini menjadi ulama besar, bahkan pendiri madzhab. Namun, penyebar dan pengembang madzhab Ja’fari hanya golongan Syi’ah. Ja’far bin Hayyan, salah seorang murid Imam Ja’far, pernah mengumpulkan karya-karya Imam Ja’far.

Akhirnya, terkumpul tidak kurang dari 500 karya (Djazuli, 2006). Di antara kitab pokok yang menjadi pegangan madzhab Ja’fari adalah al-Kafi karya Abu Ja’far al-Kulaini, Man la Yahdluruhu al-Faqih karya Abu Ja’far al-Qummi, al-Tahdzib dan al-Ibtishar keduanya karya Muhammad bin Hasan al-Thusi. Madzhab Ja’fari berkembang di Iran, Irak, India, Pakistan, Nigeria, Somalia, dan beberapa negara Islam yang lain.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Penyebab Kebekuan Pemikiran Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja’fari"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel