-->

Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi

fikriamiruddin.com - Pendiri mazhab Hanafi ialah Imam Abu Hanifah (81-150 H/ 700-767 M). Mazhab Hanafi merupakan mazhab fikih Islam yang pertama muncul dari kalangan Sunni. Mazhab ini bercorak rasional yang berkedudukan di Kufah. Mazhab fikih ini dibentuk oleh Nu’man bin Tsabit bin Zutha yang kemudian populer dengan nama Abu Hanifah. Gelarnya ini diberikan oleh masyarakat Kufah lantaran ketekunannya dalam beribadah, kejujuran, serta kecenderungannya pada kebenaran.
Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 81 H dan meninggal pada tahun 150 H. Abu Hanifah merupakan gelar, sedangkan nama aslinya adalah Nu’man. Ayahnya bernama Tsabit bin Zuthi yang berasal dari Persia. Kakeknya, Zuthi, berasal dari Kabel yang ditawan pada saat penaklukan kerajaan Persia dan dijadikan budak oleh Bani Taim bin Tsa’labah. Kemudian, ia dimerdekakan dan berada di bawah perwalian kabilah ini.

Kakek Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan Imam Ali bin Abi Thalib ketika berada di Kufah. Imam Ali kemudian memberikan hadiah yang sangat berharga kepadanya. Keluarga Zuthi memiliki kecintaan yang kuat kepada keluarga dan keturunan (ahli bait) Nabi. Pada saat Zuthi mengajak anaknya, Tsabit, menghadap Imam Ali mendoakan agar keturunan anak tersebut diberkahi oleh Allah Swt.

Doa Imam Ali dikabulkan Allah Swt dengan lahirnya Nu’man bin Tsabit atau Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah mendapat julukan Faqih al-Iraq (pakar Fikih dari Iraq) dan Faqih al-Islam (cendekiawan Fikih Islam). Imam Syafi’i memujinya dengan mengatakan, “Semua orang dalam ilmu fiqh adalah keluarga (pengikut) Abu Hanifah” (an-nas fi al-fiqh ‘iyal ‘ala Abi Hanifah).

Kufah, sebelum dan sesudah masa Islam merupakan pusat peradaban dan kebudayaan kuno serta tempat berpadunya filsafat Yunani dan filsafat Persia. Pada masa Islam, berbagai suku dan aneka corak pemikiran saling berkompetisi, baik dalam masalah politik maupun keagamaan. Kelompok Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan aliran apa pun di Kufah. Di kota ini pula, Imam Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud pernah tinggal untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Kufah.

Pada masa Imam Abu Hanifah, masih banyak pakar hukum Islam dari kalangan murid sahabat Nabi (tabi’in) yang masih hidup. Kufah yang kosmopolitan ini cukup memengaruhi cara berfikir Imam Abu Hanifah. Keluarga Imam Abu Hanifah tergolong kaya, lantaran merupakan pedagang kain yang cukup sukses. Tsabit, ayah Imam Abu Hanifah, mengembangkan usaha perdagangan yang kemudian diwarisi oleh Imam Abu Hanifah dengan jasa utama sebagai pedagang kain sutra.

Lantaran pengaruh lingkungan Kufah yang kosmopolit, Imam Abu Hanifah memiliki dorongan yang kuat untuk berbisnis sekaligus mendalami ilmu pengetahuan yang rasional. Namun, sebagian besar waktunya tercurahkan untuk mengurus bisnis keluarganya. Ia hanya mendalami ilmu pengetahuan saat waktu luang.

Sejak lahir, Imam Abu Hanifah berdomisili di Kufah sebagai pelajar dan pengajar. Pada masa anak-anak, Imam Abu Hanifah telah menghafal al-Qur’an. Ia sangat mencintai al-Qur’an, sehingga selama bulan Ramadan, ia bisa menuntaskan bacaan al-Qur’an berkali-kali. Ia pernah belajar membaca al-Qur’an pada Imam Ashim, salah seorang pakar “tujuh bacaan yang autentik” (Qira’ah Sab’ah) (Rasyada, 1993).

Setelah tuntas belajar al-Qur’an, ia mulai mempelajari Sunnah Rasul kepada para pakar hadis murid sahabat Nabi di Kufah. Selain itu, ia juga belajar hadis kepada Sahal bin Sa’ad al Saidy di Madinah dan Amr bin Wailah di Mekkah. Menurut al-Maraghi, ia sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di Kufah (Musthafa, 1974). Informasi ini bisa diterima sejauh hanya perjumpaan belaka pada saat Imam Abu Hanifah berusia 12 tahun, karena Anas bin Malik meninggal pada tahun 92 H.

Perjalanan Imam Abu Hanifah dalam menekuni hadis membuahkan karya di bidang hadis: Musnad Abi Hanifah. Imam Abu Hanifah juga belajar hukum Islam kepada Hammad bin Abi Sulaiman, salah seorang pakar hukum Islam aliran rasionalis di Kufah. Ia belajar kepada Hammad dalam tempo 18 tahun, sampai gurunya itu meninggal tahun 120 H. Sepeninggal Hammad, Imam Abu Hanifah menggantikan posisinya dalam mengajar di majelisnya.

Ia juga belajar kepada para ulama lain melalui dialog-dialog dan tukar pandangan, baik pada saat menunaikan ibadah haji maupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya. Pada tahun 130 H Imam Abu Hanifah sempat mukim di Mekkah untuk beberapa tahun, mempelajari hadis-hadis Nabi, serta mendalami ilmu-ilmu keagamaan lainnya dari tokoh-tokoh yang sempat ia jumpai. Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab dalam keadaan shalat. Lebih dari 5000 orang yang menyalatkan jenazahnya.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Madzhab Ja’fari

Pemikiran Hukum Islam Imam Abu Hanifah

Secara singkat, pemikiran hukum Islam yang menjadi objek pencarian Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

a. Fikih Umar bin Khathab yang didasarkan pada maslahah (kebaikan umum).

b. Fikih Imam Ali bin Abi Thalib yang didasarkan pada penggalian hukum secara mendalam untuk menemukan hakekat-hakekat syari’ah.

c. Fikih Abdullah bin Mas’ud yang didasarkan pada takhrij (seleksi terhadap berbagai pendapat).

d. Fikih Abdullah bin Abbas yang didasarkan pada tafsir al-Qur’an.

Sedangkan pemikiran hukumnya dapat diringkas sebagai berikut:

a. Al-Qur’an adalah sumber segala ketentuan syari’ah yang dijadikan rujukan dalam proses analogis atau legislasi terhadap berbagai metode kajian hukum yang dirumuskan.

b. Al-Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang berperan sebagai penjelas terhadap berbagai ketentuan hukum dari al-Qur’an yang masih belum jelas maksudnya.

c. Pendapat sahabat memperoleh posisi yang kuat, karena mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Nabi Muhammad Saw kepada generasi setelahnya. Dengan demikian, pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat pada kebenaran, sebab mereka belajar dan kontak langsung dengan sumber kebenaran tersebut. Lebih dari itu, pernyataan sahabat itu bisa jadi pernyataan Nabi, hanya saja mereka kurang yakin dan tidak mau melakukan sesuatu dalam keraguan, sehingga khawatir terjebak pada kedustaan.

Ketetapan sahabat itu ada dua bentuk, yakni ketentuan hukum yang ditetapkan dalam bentuk ijma’ dan ketentuan yang ditetapkan dalam bentuk fatwa. Ketentuan hukum yang ditetapkan melalui ijma’ mengikat, sedangkan yang ditetapkan melalui fatwa tidak mengikat (Wahbah, 1978).

Baca Juga: Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern

d. Qiyas dilakukan bila al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menyatakan secara eksplisit tentang ketentuan hukum bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Qiyas adalah menghubungkan kasus hukum (furu’) kepada dalil (ashl) yang telah ditetapkan hukumnya (hukmashl) dengan melihat kesamaan-kesamaan alasan hukum (‘illat), sehingga hukum dalam dalil untuk hukum dalam kasus.

e. Istihsan diajukan kalau hasil Qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan sosial dilihat dari sisi kebaikan umumnya. Istihsan adalah mencari alasan hukum (‘illat) lain yang akan mengalihkan kasus hukum pada dalil yang lain, walaupun melahirkan keputusan hukum sebaliknya, namun sesuai dengan tuntutan kebaikan umum dalam kehidupan sosial.

f. Uruf atau tradisi masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan sumber hukum. Serta sejalan dengan semangat syari’ah.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Modern. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam Mazhab Hanafi"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel