-->

Jika Hukum Sebesar Itu Saja Diterabas, Entah Berapa Ukuran Rakyat di Mata Mereka?

fikriamiruddin.com - Entahlah, di negara hukum saja ternyata hukum tidak benar-benar ditegakkan secara adil. Lantas dengan cara apalagi rakyat bisa memperoleh keadilan?
Jika Hukum Sebesar Itu Saja Diterabas, Entah Berapa Ukuran Rakyat di Mata Mereka

Mari kita sejenak memutar ingatan, tepatnya pada 25 Januari 2011 ketika pemerintah yang diwakili oleh BUMN PT. Angkasa Pura I melakukan kesepakatan dengan investor asal India GVK Power & Infrastructure, untuk pembangunan mega proyek NYIA (New Yogyakarta International Airport).

Pada saat itu ternyata terdapat kecacatan hukum yang ditampilkan para penggarap NYIA. Di antaranya terkait Ijin Penetapan Lokasi (IPL) proyek NYIA oleh Kementrian Perhubungan Nomor 1164/2013 juga dengan IPL Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 diterbitkan secara sepihak tanpa mendengarkan pendapat seluruh warga terdampak.

Selain itu, proyek ini juga ternyata tidak dilengkapi dokumen studi kelayakan lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. Padahal, menurut hukum dan peraturan yang berlaku, pembangunan tanpa dilengkapi AMDAL atau “ada” namun keadaannya sesudah diterbitkan IPL pertama, dapat diartikan pembangunan tersebut cacat secara hukum.

Hal itu lantaran adanya AMDAL adalah prasyarat diterbitkannya IPL itu sendiri. Berdasarkan fungsinya sebagai salah satu instrumen dalam perencanaan usaha dan/atau kegiatan, penyusunan AMDAL tidak dilakukan setelah usaha dan/atau kegiatan dilaksanakan.

Belum lagi soal tata ruang yang ada dan berlaku, proyek NYIA sebenarnya telah menyalahi peraturan tata ruang wilayah. Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yakni Perda DIY No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DIY tahun 2009-2029.

Dengan adanya fakta pelanggaran hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa proyek NYIA adalah pembangunan yang mengesampingkan bab-bab perizinan yang tentu saja sangat krusial. Karena itu, jika bab-bab yang menjadi dasar prasyarat saja diterabas, maka penolakan masyarakat bukanlah apa-apa di mata mereka.

Baca Juga: Berdamai dengan Corona, Perang Melawan Rakyat

Terlepas dari itu, akhir-akhir ini di masa pandemi, rakyat kembali dipertontonkan oleh hal-hal yang tentu saja menodai hukum itu sendiri. Dari mulai keputusan menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA).

Hingga penangkapan pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang ternyata hanya mendapatkan sanksi 1 tahun penjara. Selain itu, tersiar kabar bahwa Bintang Emon seorang komika yang mengkritisi terkait kasus penyiraman air keras tersebut justru mendapatkan teror dan diserang karakternya.

Padahal, hak kebebasan berpendapat itu dimiliki oleh setiap individu yang hidup dalam sebuah negara yang tercantum dalam konstitusinya. Di Indonesia sendiri hak kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Sedangkan dalam Pasal 28F UUD 1945 juga berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Ketentuan-ketentuan yang mendasari kita sebagai warga negara untuk bebas berpendapat juga dapat dilihat di Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:

“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.”

Berdasarkan beberapa peraturan di atas yang menjamin kebebasan berpendapat, seharusnya pendapat yang dilontarkan oleh Bintang Emon beberapa waktu yang lalu tidak melanggar hukum dan justru dilindungi oleh hukum itu sendiri.

Namun, dalam praksisnya kebebasan berpendapat yang yang sudah diatur sedemikian rupa oleh negara justru diterabas sendiri oleh warganya, bahkan oleh oknum-oknum yang memiliki afiliasi dengan negara itu sendiri.

Bisa dipastikan bahwa yang sebenarnya melanggar hukum adalah orang-orang yang justru menyerang karakter Bintang Emon. Hal itu lantaran penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sudah diatur dalam KUHP.

Jauh sebelum adanya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah disempurnakan oleh UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).

Baca Juga: Tren Minum Kopi dan Dampak yang Ditimbulkan

Jadi, larangan seseorang untuk melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksinya diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750 juta.”

Apabila dijabarkan ada 6 macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di KUHP, yakni penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (Pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP), pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP), dan perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP).

Berdasarkan beberapa keterangan di atas, terlihat jelas bahwa orang-orang atau netizen yang menyerang karakter Bintang Emon yang sedang menyuarakan pendapatnya merupakan tindakan melawan hukum dan bahkan termasuk penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Tapi ya sudahlah, siapa pun pemimpinannya rakyat akan tetap kalah. Entahlah, jika hukum yang sebesar itu saja diterabas, boleh jadi rakyat hanyalah butiran debu yang suaranya hanya didengar ketika pemilu.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Sosok Kekeyi dan Perjuangan Melawan Stereotip. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Jika Hukum Sebesar Itu Saja Diterabas, Entah Berapa Ukuran Rakyat di Mata Mereka?"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel