-->

Sikap Terhadap Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan

fikriamiruddin.com - Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa filsafat, agama dan ilmu pengetahuan merupakan pilar utama peradaban. Pada saat ini banyak terjadi pembagian komunitas manusia secara parsial, satu sisi ada yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya ilmu yang dibutuhkan oleh manusia dikarenakan dianggap telah teruji dan memiliki standar yang jelas (ilmiah) yakni: rasional, empiris dan terukur.
Sikap Terhadap Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan

Di sisi lain ada juga yang lebih berorientasi pada nilai-nilai rasional dan empiris saja yang merupakan persepsi berparadigma filosofi, namun juga ada sebagian orang yang lebih mempercayakan pada dogma atau doktrin yang diproduksi oleh agama. Tentu saja dalam hal ini pemilahan secara parsial di antara ketiganya kemudian dirasa tidak bijaksana, hal tersebut dikarenakan ketiga pilar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi satu dengan lainnya.

Ketiga pilar utama peradaban ini diperlukan oleh manusia dalam rangka untuk memahami realitas hidupnya yang cukup kompleks. Ketiganya harus disinergikan, apakah antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, filsafat dengan agama, ilmu pengetahuan atau bahkan disinergikan ketiga pilar tersebut agar diperoleh pemahaman yang holistik. Bagaimanakah sebenarnya sikap orang terhadap filsafat, agama dan ilmu pengetahuan?

Baca Juga: Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Filsafat

Sikap Orang pada Umumnya

Secara historis, filsafat telah berusaha untuk mengatasi ketegangan antara kecenderungan akal untuk membentuk kerangka teoritis formal mengenai realitas kehidupan ini di satu pihak. Dan di pihak lain realitas kehidupan dialami sebagai suatu yang senantiasa mengalir, berubah, tanpa bentuk yang pasti dan menyangkut demikian banyak aspek sekaligus. Sehingga dalam hal ini Plato meyakini bahwa refleksi akal budi manusia mampu menyaring peristiwa-peristiwa nyata yang partikular dan unik.

Dalam rangka mendapatkan idea yang inti, abadi dan universal. Fokus refleksi mesti diarahkan pada peersoalan “kebenaran” yang bersifat abstrak. Sedangkan Aristoteles berpandangan bahwa yang inti dan universal itu tidak didapatkan terutama melalui refleksi. Hakikat dari realitas itu terdapat dalam kenyataan duniawi ini, dalam gerakan dan perubahannya.

Maka yang diperlukan kemudian bukanlah merenungi kebenaran pada tingkat abstrak, melainkan memahami hakikat gerakan dan perubahan itu sendiri saja. Tidak ada dunia abstrak ide-ide inti tersendiri. Abstraksi hanyalah prosedur cara kita memahami realitas konkrit. Para filosof abad pertengahan berada di antara kedua tradisi itu namun dengan keyakinan baru bahwa Tuhan menjamin ditemukannya inti semesta kehidupan.

Realitas pengalaman sendiri tak memungkinkan manusia sampai pada yang inti. Wahyu Tuhan yang akan membantu memahami realitas melalui rahmat-Nya dan penyelenggaraan illahi-Nya sendiri. Pada tingkat formulasi manusiawi sendiri kita hanya akan sampai pada rumusan-rumusan negatif (teologia negativa), dikarenakan bahasa-bahasa kita selalu terbatas. Hal ini kemudian membuat filsafat lantas bercampur baur dengan teologi.

Pada abad tujuh belas tugas filsafat dipahami secara lain lagi. Menurut Descartes, tugas filsafat adalah membangun sebuah sistem pengetahuan yang akan mendasari segala bentuk pengetahuan lain (sains) dengan tingkat kepastian tinggi bagai kepastian matematis. Kepastian dasar ditemukan pada penalaran itu sendiri: saya bernalar maka saya ada (cogito ergo sum). Berdasarkan proposisi-proposisi macam itu dilakukanlah penalaran dan penarikan kesimpulan lanjutan secara logis ketat.

Sistem filsafat yang kokoh dan rasional akan muncul dari sana. Empirisme Inggris sempat mengoreksi kecenderungan filsafat Cartesian yang menekankan sentralitas penalaran subjek itu dan mengubah fokus filsafat ke arah pengalaman inderawi konkrit. Hasil material dari gelombang empirisme ini memang sangat meyakinkan. Sains berkembang pesat dengan cara pengukuran, kuantifikasi dan perhitungan data dari pengalaman inderawi itu.

Namun tendensi oversimplifikasi dan reduksionistik dalam empirisme ini tetap menggelisahkan dan merupakan persoalan yang tetap meradang di balik permukaan. Namun sementara itu pada abad delapan belas bagaimana pun juga sains beserta teknologi yang dihasilkannya memang menyilaukan pandangan. Perkembangan pengetahuan saat ini sangatlah mengundang antusiasme sedemikian hingga hakekat “pengetahuan” dan “penalaran” menjadi tema utama permenungan.

Para filosof abad pencerahan kemudian percaya bahwa aneka ragam pengetahuan sesungguhnya hanyalah manifestasi saja dari akal yang universal dan homogen. Penalaran akal adalah sesuatu yang sama bagi setiap orang, setiap bangsa atau tiap jaman. Berbagai paham yang akar kulturnya berbeda sekalipun apabila direnungi akan sampai pada prinsip-prinsip rasional yang sama, permanen dan universal.

Baca Juga: Aliran Filsafat yang Penting untuk Diketahui

Maka berdasarkan “logika fakta” yang positivistis-empiristis, dikombinasikan dengan ambisi Cartesian yang rasionalistis, filsafat abad pencerahan terobsesi hendak mencari pondasi paling kokoh dan tak tergoyahkan bagi pengetahuan. Tegangan yang mesti dihadapinya kemudian di satu pihak secara “internal” subjek harus mengandalkan kemampuan logika nalarnya, di pihak lain ia perlu mencerminkan kenyataan “eksternal” juga seakurat dan sepasti mungkin melalui daya tangkap inderawinya.

Tegangan antara ambisi foundationalism dan tendensi representationalism ini berlanjut terus sejak Descartes, Locke, Kant hingga Hegel dan bermuara pada Husserl. Persoalannya adalah bahwa proyek ontologis semacam itu secara fakta telah mendorong filsafat menjadi ego-logis, antroposentris dan monolitik; akan tetapi juga mengakibatkan sains menjadi instrumentalistik. Akibat dari ini semua adalah menguatnya sisi ideologis filsafat dan pengetahuan Barat.

Yang dampaknya adalah segala jenis pengetahuan lain dianggap non-ilmiah dan tidak valid (dalam politik ini menampakkan diri dalam berbagai tendensi fasisme yang totaliterian dan destruktif); eksploitasi alam besar-besaran hingga melahirkan persoalan ekologis yang parah; munculnya pola berpikir pragmatis instrumental yang menganggap sepele penalaran reflektif yang menyangkut nilai dan makna, dengan itu melahirkan pemiskinan moralitas dan lain sebagainya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: 3 Cabang Khusus Filsafat. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Sikap Terhadap Filsafat, Agama dan Ilmu Pengetahuan"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel