-->

Perspektif yang Digunakan untuk Memahami Teologi Islam

fikriamiruddin.com - Agama sebagai organisasi agama, yang di dalamnya mencakup ajaran-ajaran, praktik-praktik ritual, dan pemaknaan doktrin-doktrin yang lain, selalu dapat ditafsirkan oleh pemeluknya. Oleh karena itu, ajaran suci tidak akan memiliki satu kebenaran tafsir, sebab para pemeluknya akan selalu memberikan tafsir secara terus menerus. Sebagai sebuah tafsir, agama bisa menjadi sebuah kekuatan kekuasaan, yakni kekuasaan dalam arti represi, dominasi, dan hegemoni yang akhirnya bisa menjadi alat untuk mendominasi, mengagregasi kepentingan dan menindas.

Teologi Islam

Agama yang ditafsirkan untuk kepentingan mendukung gagasan-gagasan kelas borjuis dan kelas-kelas mapan, selalu dapat digunakan untuk menindas yang lemah, atau komunitas lain. Maka, agama akan menjadi semacam alienasi bagi mereka yang lemah, kalah dalam struktur sosial, dan justru membelenggu yang lemah. Agama yang seperti ini adalah agama yang ditafsirkan oleh kaum mapan, untuk mendukung mobilitasnya dan mempertahankan kekuasaan hegemoni-nya, hingga hari ini masih bisa disaksikan praktik tersebut.

Dan yang akan menanggung adalah kelompok-kelompok miskin dan kaum pinggiran. Agama akan dijadikan jastifikasi terhadap praktik-praktik penindasan terhadap yang lemah. Akan nampak lebih ampuh jika digunakan pada masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran agama. Tafsir-tafsir kelas mapan diwacanakan sebagai tafsir agama yang menjadi satu-satunya kebenaran, satu-satunya sumber inspirasi yang sah lantaran sudah mengutip ayat-ayat suci.

Alienasi jelas-jelas akan melepaskan nafas agama dari persoalan nyata kelas bawah. Agama akan menjadi candu, pil penenang, rokok, opium yang terus dihisap, namun sebenarnya merusak kesehatan sistem sosial. Agama yang sepadan dengan ini adalah agama yang terus dikutip, namun sejatinya adalah untuk membungkam kelas bawah, menindas, dan menghancurkan martabat kemanusiaan.

Agama berfungsi sebagai ideologi dan alat untuk tindakan sosial yang menindas dengan cara halus, karena dibungkus dengan teks-teks suci. Pandangan yang menempatkan agama sebagai alienasi adalah sumbangan terbesar dari tradisi Marxian dan Post-Marxis untuk melakukan kritik atas kekuasaan kaum agama yang bersimbiosis dengan kemapanan, sering menjadikan agama sebagai alat hegemoni.

Baca Juga: Isu Kontemporer tentang Teologi Islam

Sumbangan ini sangat patut direnungkan dan terus dikembangkan. Hanya saja, kritik dalam rekonstruksi pasca kritik terhadap agama, mereka menyepelekan kekuatan agama untuk membebaskan yang tertindas, sebagaimana kuatnya agama untuk menindas. Kritik yang demikian perlu dilakukan dengan dua alasan. Pertama, dalam sebuah masyarakat yang kental dengan ajaran-ajaran agama, keinginan untuk menyingkirkan kekuatan pembebas agama, dan menganggap semua pemeluk agama adalah menindas, sungguh kekeliruan semata.

Dengan menyingkirkan agama yang membebaskan, maka dengan cepat pembebasan akan dituduh sebagai anti agama dengan dasar melepaskan tafsir-tafsir pembebasan melalui konsep-konsep agama. Akhirnya pembebasan menjadi vis a vis agama. Padahal, pembebasan vis a vis penindasan yang ada, dalam bingkai apa pun, termasuk dalam bingkai agama atau politik.

Kedua, ketika gagasan-gagasan pembebasan dilawankan dengan agama, maka agitasi-agitasi para penindas yang menggunakan jastifikasi agama akan dapat mempropagandakan untuk melawannya, dan kekuatan pembebas agama akan dipaksa untuk dilawan, dengan dalih untuk menegakkan agama dan jargon-jargon agama. Kondisi yang semacam ini akan mempersulit pembebasan, ketika kekuatan penindas agama justru menyatu dengan publik agama. Alatnya adalah teks-teks suci agama.

Dari kedua konteks itulah, dengan sendirinya mengharuskan pembebasan itu lahir dari rahim agama ketika rekonstruksi itu berbasiskan dalam masyarakat yang beragama, terutama agama-agama formal. Sedangkan para penindas menerjemahkan ajaran dan doktrin agama sesuai dengan kepentingannya, maka agama juga bisa ditafsirkan oleh para pembebas dengan sumber dari doktrin dan ajaran-ajaran agama itu sendiri.

Dengan memaknai ulang, merekonstruksi ulang, menafsirkan ulang untuk dilawankan dengan makna dan tafsir para penindas. Kita harus berani membongkar definisi, konsep, dan doktrin yang maknanya dianggap sudah mapan, disesuaikan dengan konteks sosial dan pembebasan. Keuntungannya, pembebasan berdasar konsep agama setidaknya akan dapat menjelaskan kepada publik, bahwa di dalam agama dan kaum agama atau elit agama pun pasti ada yang menindas, mendustakan agamanya, dan mendukung gerakan-gerakan yang menghancurkan pembebasan agama.

Baca Juga: Pandangan tentang Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam

Kemudian publik agama tidak akan dengan mudah menyatu dengan para penindas yang menjastifikasi agama. Akhirnya para pembebas akan mencari solidaritas, membebaskan yang tertindas di manapun, dengan konteks, sudah bisa memisahkan secara jelas para pendukung penindasan dengan tafsir hegemonik kekuasaan yang dilandaskan agama.

Dengan perspektif agama sebagai tindakan pembebasan, maka pemikiran tersebut, dengan sendirinya merupakan perlawanan atas pemaknaan-pemaknaan agama yang sangat borjuistik dan komunalistik untuk menjadi agama yang otoritatif dan egaliter.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pandangan tentang Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Perspektif yang Digunakan untuk Memahami Teologi Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel