-->

Pengadilan Agama pada Masa Kemerdekaan

fikriamiruddin.com - Setelah Indonesia merdeka, pemikiran mengenai Pengadilan Agama tetap dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemerintah RI, pemimpin Islam, serta ulama. Sebagai hasilnya, tahun 1957 keluar Peraturan Pemerintah Nomor 45/1957 yang mengatur mengenai Pengadilan Agama di luar pulau Jawa dan Madura.
Pengadilan Agama pada Masa Kemerdekaan

Peraturan ini memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada Pengadilan Agama di luar Jawa, yakni selain menangani persoalan perkawinan, Pengadilan Agama juga mempunyai yurisdiksi dalam masalah waris, hadhanah (kepengasuhan anak), waqaf (wakaf), shadaqah (sedekah), dan baitul mal (lembaga keuangan). Namun, aturan yang menggariskan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikonfirmasikan oleh Pengadilan Umum masih tetap berlaku.

Baru pada tahun 1970, aturan tentang Pengadilan Agama benar-benar diperkuat melalui UU Nomor 14/1970. Karena UU ini menjadi aturan dasar bagi Pengadilan Agama, maka perlu melihatnya lebih jauh lagi. UU ini menetapkan adanya empat jenis pengadilan: pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer, dan pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung adalah lembaga tertinggi dan merupakan pengadilan kasasi bagi seluruh jenis pengadilan.

Semua hakim adalah hakim negara yang ditunjuk serta diberhentikan oleh Kepala Negara. UU ini juga menetapkan persyaratan pengangkatan dan pemberhentian hakim untuk menjamin independensi pengadilan, sebagaimana yang diinginkan oleh UU itu sendiri. UU Nomor 14/1970 menegaskan bahwa setiap jenis pengadilan diatur oleh departemen yang terkait. Dalam artian, Pengadilan Agama diatur oleh Departemen Agama, baik dalam masalah kepegawaian, organisasi, maupun keuangan.

Sedangkan yang berkaitan dengan aspek hukum, seluruh jenis pengadilan berada di bawah Mahkamah Agung. Pengawasan Mahkamah Agung menyangkut dua hal, yakni pengawasan melalui kasasi dan pengawasan untuk menjamin bahwa semua jenis pengadilan melaksanakan tugasnya secara adil dan benar. Karena UU Acara Pengadilan Agama belum diundangkan pada saat itu, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Nomor 14/1977 yang menyangkut kasasi atas keputusan Pengadilan Agama.

Sebagai tambahan, Mahkamah Agung dan Departemen Agama mengeluarkan keputusan bersama tahun 1982 yang mengatur mengenai manajemen dan pengembangan pengadilan Islam dalam rangka penjabaran UU Nomor 14/1970. Karena itu, mulai bulan Februari 1982, Mahkamah Agung mengangkat wakil ketua yang bertugas mengarahkan Pengadilan Agama.

Baca Juga: Pro dan Kontra Wacana Legislasi Hukum Islam

UU Nomor 14/1970 dan seluruh aktivitas pemerintah serta Mahkamah Agung dapat dilihat sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk memasukkan Pengadilan Agama ke dalam sistem hukum nasional. Pengadilan Agama juga dijadikan sebagai bagian dari mekanisme administrasi nasional. Jika mungkin, kebijaksanaan dalam bidang hukum diarahkan untuk mengkodifikasikan serta menyatukan undang-undang.

Tahun 1974, sebuah ordonansi pemerintah mengenai wakaf telah dikeluarkan dan diterapkan di seluruh Indonesia. Ordonansi pemerintah ini mengatur cara menetapkan dan menangani wakaf. Semua kasus wakaf sering menghadapi kesulitan yang salah satunya disebabkan oleh kebijakan yang ditetapkan pada periode kolonial. Terdapat tiga sistem hukum yang saling bertentangan dalam menangani masalah wakaf, yakni sistem Barat, hukum adat, dan hukum Islam.

Sampai kira-kira tahun 1980-an, kedudukan syari’at dalam sistem hukum Indonesia tidak begitu besar. Meskipun demikian, pada tahun 1989 dan 1991, dua produk hukum penting diterbitkan: undang-undang baru mengenai Peradilan Agama dan Kitab Undang-Undang Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam). Undang-Undang tentang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989 terdiri dari pembukaan dan 7 Bab.

Terdapat tiga ciri utama dalam pembukaan. Pertama, peradilan agama digambarkan sebagai kelangsungan dari ketentuan undang-undang yang merupakan fungsi utama Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 mengenai Kekuasaan Pengadilan. Ini merujuk kepada struktur pengadilan umum Republik Indonesia yang dengan jelas menunjukkan integrasi penuh peradilan agama di dalam sistem peradilan nasional.

Kedua, aturan-aturan sebelumnya tentang Pengadilan Agama (yakni, aturan masa kolonial dan pascakolonial) digambarkan “tambal-sulam” dan karenanya tidak cocok dengan sistem administrasi peradilan nasional. Ketiga, pembukaan mengajukan sebuah “undang-undang terpadu...dalam sistem hukum nasional...” berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. (Ketentuan Umum [Pasal 1-5]).

Pada pasal 49-53, Undang-Undang tentang Peradilan Agama menegaskan tentang kekuasaan pengadilan. Dua poin yang sangat menarik muncul dari pasal singkat dari undang-undang ini. Pertama, pasal 9 menetapkan yurisdiksi pengadilan atas perkawinan, warisan, dan wakaf. Selain itu, ia menetapkan (Pasal 49 [2]) bahwa perkawinan harus “didasarkan atau diatur oleh undang-undang perkawinan yang berlaku”.

Hal ini merujuk kepada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Signifikansi pasal ini terletak pada rujukannya kepada Syariat sebagaimana ditegaskan dalam undang-undang negara ia tidak hanya merujuk kepada Syariat saja. Kedua, pasal 50 menetapkan bahwa ketika hak milik atau “perkara sipil lainnya” muncul dalam kasus perkawinan, warisan, atau wakaf, maka pengadilan umum, yakni Pengadilan Sipil, pertama-tama harus menentukan perkara itu.

Ketentuan ini mempertahankan praktik kolonial mengenai pemisahan hak milik dari hubungan personal. Seperti telah disinggung di atas, secara praktis tidak mungkin memilah-milah yurisdiksi dalam masalah hukum keluarga (dengan pengecualian masalah wakaf). Karena itu, ketentuan ini sering kali menghindari penggunaan berbagai perangkat hukum (khususnya fatwa). Pada tingkat yang paling buruk, ia tidak dapat dijalankan.

Baca Juga: Pengertian Taqnin dalam Hukum Islam

Undang-Undang mengenai Peradilan Agama pasal 54-91 menjelaskan mengenai prosedur (Pasal 54-91). Pasal ini dibagi ke dalam tiga bagian: pasal umum, penyelidikan terhadap perselisihan perkawinan, dan biaya. Ada dua ciri penting dalam ketentuan umum ini. Pertama, Pengadilan Agama harus mengikuti Undang-Undang Prosedur Sipil yang berlaku dalam Pengadilan sipil (Pasal 54).

Legislasi tertentu bukanlah spesifik. Kedua, pasal 62 menyatakan bahwa semua keputusan harus “mengandung ketentuan mengenai aturan yang relevan mengenai sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar keputusan”. Hal ini boleh jadi merujuk kepada adat atau praktik umat Islam lokal. Yurisprudensi Indonesia harus teruji dengan menjawab pertanyaan ini. Dengan melihat kepada perselisihan perkawinan, fungsi Pengadilan Agama adalah semata-mata mengatur perceraian.

Pasal yang relevan untuk perceraian dalam bab ini secara jelas bertujuan untuk mengontrol proses perceraian dengan memisahkannya dari inisiatif individu dan menundukkannya kepada prosedur administratif, karenanya seringkali prosesnya lama. Langkah yang sama dilakukan di Singapura pada akhir 1950-an dan tak lama kemudian, di Malaysia.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pengadilan Agama pada Masa Kemerdekaan"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel