-->

Pengertian Taqnin dalam Hukum Islam

fikriamiruddin.com - Secara bahasa, taqnin berasal dari tiga huruf, yakni qaf, nun, dan nun. Dalam kamus, ketiga huruf ini memberikan arti mencari kabar/berita, melihat-lihat, berada di puncak gunung, dan memukul dengan tongkat. Jika ketiga huruf ini dibuat menjadi kata taqnin, maka makna yang dihasilkan adalah membuat atau menetapkan undang-undang, membatasi, dan menjadi tengik. Berdasarkan beberapa arti ini, taqnin merupakan pembuatan undang-undang yang berfungsi membatasi kebebasan masyarakat.
Pengertian Taqnin dalam Hukum Islam

Dalam pembuatannya, perlu memperhatikan berita mengenai kehendak dan kondisi masyarakat. Akhirnya, undang-undang memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan pembatasan ini, anggota masyarakat yang melanggar undang-undang dinilai telah menjadi tengik yang harus dipukul dengan tongkat. Dari kata taqnin juga terbentuk istilah “Qanun” yang berarti asal, pokok, pangkal (al-ashl), dan ukuran segala sesuatu (al-miqyas).

Baik taqnin maupun Qanun merupakan bahasa Arab yang diserap dari bahasa Romawi. Ada yang mengatakan dari Persia. Apa pun serapannya, Qanun didapatkan oleh bangsa Arab Islam dari bangsa asing saat mereka telah menguasai wilayah-wilayah di luar jazirah Arab. Taqnin atau Qanun, sesungguhnya telah dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw, yakni berupa Piagam Madinah.

Setelah Nabi Muhammad Saw hijrah, seluruh wakil rakyat dikumpulkan untuk membuat kesepakatan bersama. Kesepakatan ini menjadi pijakan hubungan berbangsa dan bernegara. Namun, pelaksanaan kesepakatan ini tidak berlangsung lama, mengingat terjadi banyak pelanggaran oleh orang-orang non-muslim. Pada masa Dinasti Abbasiyah, gagasan taqnin pernah dilontarkan oleh Abdullah bin al-Muqaffa kepada Khalifah Abu Ja’far al-Mashur.

Namun, gagasan Ibn al-Muqaffa yang ditulis dalam karyanya, Risalah al-Shahabah, ini ditolak oleh al-Manshur. Jadi, setelah Piagam Madinah, taqnin tidak dijumpai penerapannya hingga muncul negara-negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, terdapat tiga wilayah kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif berwenang dalam menyetujui dan mengawasi jalannya peraturan perundang-undangan.

Kekuasaan eksekutif berwenang dalam menjalankan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan yudikatif berwenang dalam menegakkan dan memberi keputusan keadilan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Karena proses pembentukan peraturan perundang-undangan ditentukan oleh persetujuan pihak legislatif, maka taqnin diterjemahkan dengan legislasi.

Baca Juga: Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia

Terjemahan di atas relevan dengan definisi mengenai taqnin. Secara terminologis, taqnin atau taqnin al-Ahkam berarti mengumpulkan hukum-hukum dan kaidah-kaidah penetapan hukum (tasyri’) yang berkaitan dengan masalah hubungan sosial, menyusunnya secara sistematis, serta mengungkapkannya dengan kalimat-kalimat yang tegas, ringkas, dan jelas dalam bentuk bab, pasal, dan atau ayat yang memiliki nomor secara berurutan, kemudian menetapkannya sebagai undang-undang atau peraturan, lantas disahkan oleh pemerintah, sehingga para penegak hukum wajib menerapkannya di tengah masyarakat.

Pengadilan Agama pada Masa Kolonialisme Belanda

Pengadilan Agama sudah lama mendapatkan legitimasi. Hal ini terbukti dengan dekrit yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Lembaran Negara Nomor 152 tahun 1882. Dekrit ini menjelaskan bahwa hukum Islam harus diterapkan dan diatur oleh Pengadilan Agama. Meskipun demikian, jauh sebelum itu, hukum Islam telah diterapkan di Indonesia melalui tahkim, yakni mempercayakan urusan kepada kiai dan kadi (qadhi) yang ditunjuk oleh Kerajaan Islam.

Hukum Islam memang diatur demikian. Menurut sarjana Belanda yang terkenal, Prof. Snouck Hurgronye, Islam adalah agama hukum dalam artian yang sebenarnya. Sikap pemerintah Belanda saat itu dipengaruhi oleh teori receptio in complex, yakni bahwa hukum yang diterapkan pada individu adalah hukum yang sesuai dengan agama yang dipeluk seseorang. Snouck Hurgronye menyatakan lebih jauh, bahwa bukan berarti hukum Islam dapat diterapkan pada umat Islam.

Hukum yang dapat diterapkan untuk mereka adalah Hukum Adat (Hukum yang didasarkan pada adat-istiadat). Hukum Islam tidak dapat diterapkan, kecuali yang sudah dapat diterima oleh Hukum Adat (teori resepsi). Sebelum tahun 1882, doktrin receptio in complex diterima secara resmi. Semua pertentangan yang terjadi kepada kalangan orang Islam berada di bawah yurisdiksi Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

Doktrin receptio in complex diperkenalkan oleh seorang ahli hukum Belanda, L.W.C. van den Berg. Ia menyatakan bahwa hukum Islam harus diterapkan pada umat Islam, karena bagi mereka yang menganut suatu agama berarti pula menerima agama tersebut sepenuhnya. Ketika rezim kolonial menginginkan untuk mengintensifkan administrasi Indonesia, mereka perlu mengganti doktrin receptio in complex.

Belanda kemudian memperkenalkan teori unifikasi, yakni bahwa mereka ingin menerapkan sistem hukum Belanda (sistem kontinental) terhadap orang Indonesia. Sistem ini mendapat tantangan keras dari seorang sarjana Balanda, Van Vollenhoven, yang memperkenalkan sistem hukum adat. Ahli hukum adat ini menentang sistem unifikasi, karena hal ini hanya akan memunculkan penerapan hukum yang artifisial dan tidak sesuai dengan kesadaran sosial masyarakat Indonesia.

Setiap masyarakat mempunyai sistemnya sendiri dalam mengatur hubungan individu selaku anggota masyarakat. Sebuah sistem hukum mempunyai akar sejarahnya sendiri dan hanya hukum seperti itulah yang sah dan benar bagi masyarakat. Hukum yang berbeda harus ditolak, hal itu lantaran hanya akan merugikan keselarasan masyarakat. Melalui cara berpikir seperti itu, para ahli hukum adat tidak hanya menentang program unifikasi rezim kolonial, namun juga menentang hukum Islam.

Baca Juga: Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam

Dalam hal ini, mereka menggunakan teori resepsi yang berpendapat bahwa hanya sebagian dari hukum Islam yang benar, yakni yang sudah terserap ke dalam hukum adat. Tahun 1937, melalui Lembaran Negara Nomor 116/1937, pemerintah Belanda memberikan wewenang Pengadilan Agama untuk menangani masalah warisan. Wewenang ini diperluas sampai ke Pengadilan Umum di seluruh Jawa dan Madura sampai sekarang.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: 11 Macam Dalil dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pengertian Taqnin dalam Hukum Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel