-->

Pro dan Kontra Wacana Legislasi Hukum Islam

fikriamiruddin.com - Legislasi hukum Islam jarang dibahas oleh ulama klasik. Mereka melihat legislasi sebagai penyempitan kebenaran hukum, lantaran ia mendorong penguasa untuk memilih satu mazhab dan mengabaikan mazhab yang lain. Padahal, mazhab yang diabaikan ini juga dalam kebenaran hukum, bukan mazhab yang sesat. Bagi ulama klasik, seorang hakim harus memiliki wawasan yang luas mengenai mazhab-mazhab hukum, tanpa mengunggulkan mazhab yang satu dan merendahkan mazhab yang lain.
Pro dan Kontra Wacana Legislasi Hukum Islam

Tentu saja, kapasitas keilmuan hakim menentukan keputusan hukum. Pengambilan keputusan hukum oleh hakim ini telah dilaksanakan umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad Saw, masa sahabat, dan masa-masa Dinasti Umayyah maupun Abbasiyyah. Dalam hal ini, penguasa atau Khalifah tidak bisa melakukan intervensi hukum. Larangan bagi seorang hakim untuk merujuk pada satu mazhab saja dibenarkan oleh semua imam mazhab, kecuali Imam Abu Hanifah.

Larangan ini bisa dijadikan dasar untuk tidak memberlakukan legislasi hukum Islam. menurut Imam Abu Hanifah, wewenang seorang hakim dibatasi oleh waktu, tempat, dan kondisi masyarakat tertentu. Karena itu, hakim tidak bisa memaksakan hukum Islam yang relevan kepada suatu masyarakat untuk masyarakat yang lain. setidaknya, keputusan hakim untuk kasus tertentu kepada suatu masyarakat tertentu bisa menjadi rujukan hukum untuk kasus yang sama dalam masyarakat yang sama pula.

Selain itu, menurut Abu Hanifah, hakim adalah wakil dari penguasa, sehingga ia harus mengikuti mazhab yang ditentukan oleh penguasa. Pendapat Abu Hanifah tersebut bisa dijadikan dasar untuk memberlakukan legislasi hukum Islam. Hingga saat ini tidak semua ulama kontemporer yang sepakat dengan legislasi hukum Islam. Syaikh Shalih bin Ghashun, Abdul Majid bin Hasan, Abdullah bin Mani’, Abdullah Khayyath, Rasyid bin Khunain, Mushthafa al-Zarqa, Muhammad Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Yusuf al-Qardhawi, dan Wahbah al-Zuhaili adalah di antara ulama yang mendukung legislasi hukum Islam.

Sementara itu, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jabirin, Abdurrahman bin Abdullah al-Ajlan, Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah al-Rajihi adalah di antara ulama-ulama yang menolak legislasi hukum Islam.

Penolak legislasi hukum Islam memberikan beberapa argumentasi. Pertama, surat al-Maidah ayat 42: “Dan jika kau memutuskan perkara di antara mereka, maka putuskanlah dengan adil (al-qisth). Seseungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil” memerintahkan hakim untuk memberi keputusan yang adil. Keadilan ini ditentukan oleh kebebasan hakim, bukan dibatasi oleh undang-undang.

Baca Juga: Pengertian Taqnin dalam Hukum Islam

Kedua, hakim harus taat kepada hukum Allah Swt dibanding undang-undang buatan manusia. Ketiga, tidak ada sejarah Islam awal yang menerapkan legislasi. Keempat, legislasi merubah perbedaan pendapat yang telah menjadi tradisi ulama dulu. Kelima, legislasi memungkinkan adanya pasal yang saling bertentangan.

Pihak yang menerima legislasi hukum juga memberikan beberapa argumentasinya. Pertama, surat al-Nisa’ ayat 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.....” memerintahkan untuk patuh kepada pemerintah selama tidak untuk kemaksiatan. Kedua, kebijakan Khalifah Utsman bin Affan untuk menetapkan Mushhaf Utsmani saja dan membakar mushhaf yang lain adalah bukti penyatuan keputusan yang menjadi ciri dari legislasi.

Ketiga, pembuatan undang-undang dilaksanakan oleh pakar studi hukum Islam dengan memperhatikan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw serta mempertimbangkan kemashlahatan umat. Keempat, legislasi membuahkan kepastian hukum, sedangkan perbedaan pendapat menunjukkan ketidakpastian hukum. Kelima, kemampuan hakim sangat terbatas serta berbeda satu sama lain.

Karena itu, legislasi dapat mempermudah hakim dalam memutuskan perkara serta mampu menyamakan hasil keputusan untuk kasus yang sama meski hakimnya berbeda. Dengan membandingkan kedua argumentasi di atas, ternyata argumentasi dari pendukung legislasi sesuai dengan perkembangan zaman modern saat ini. Di antara ciri negara modern adalah demokratisasi.

Keterlibatan rakyat penting diperhatikan dalam merumuskan peraturan perundang-undangan. Hanya saja, karena hukum Islam tidak lepas dari wahyu dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, maka perumusannya harus melibatkan para pakar studi hukum Islam. Para pakar ini menghimpun aneka pendapat dari banyak mazhab dan memilih pendapat yang terbaik, di samping melakukan ijtihad mandiri secara kolektif (ijtihad jama’i).

Hasil keputusan para pakar ini diajukan kepada pemerintah, lalu dibahas bersama perwakilan rakyat yang duduk di parlemen. Hasil pembahasan ini ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan yang menjadi pegangan hakim dalam memutuskan perkara. Dari proses ini, legislasi sulit tercapai tanpa didukung oleh politik hukum. Di negara demokrasi, politik hukum ditentukan oleh kekuatan partai politik.

Baca Juga: Kandungan Pokok dan Corak Kompilasi Hukum Islam Indonesia

Dengan demikian, kekuatan politik menjadi syarat bagi legislagi hukum Islam. Legislasi hukum Islam di Indonesia juga bersentuhan dengan politik hukum. Legislasi mempunyai tujuan utama dalam konteks pengembangan hukum Islam di Indonesia, yakni untuk mencapai kepastian hukum (legal security) dalam wilayah kewenangan absolut Pengadilan Agama. Hal itu berupa yurisdiksi Pengadilan Agama, kepastian hukum bagi pencari keadilan, dan kepastian hukum bagi umat Islam Indonesia. Karena itu, penting untuk melihat perkembangan Pengadilan Agama serta Hukum Islam di Indonesia.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Kompilasi dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pro dan Kontra Wacana Legislasi Hukum Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel