-->

Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

fikriamiruddin.com - Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926. NU memiliki sejarah yang panjang mengenai fatwa. Fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan bagi para warga NU dan bersifat mengikat secara teori. Isinya diatur secara kronologis, bukan berdasar pokok permasalahan, meskipun dalam beberapa tahun sejumlah topik tertentu cukup dominan dalam berbagai diskusi. Misalnya, dalam tahun-tahun belakangan, topik mengenai Keluarga Berencana (KB) dan bank Islam tampil dominan.
Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

NU memberi perhatian terhadap metode yang benar dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa kedua NU (No. 2/1926) membahas secara khusus masalah ini dengan membahas susunan hierarki sumber. Pada awalnya metode itu diambil dari kesepakatan Imam Nawawi dengan karyanya Minhaj al-Thalibin dan Imam Rafi’i dengan karyanya Muharrar. Jika hal ini gagal menjawab persoalan, Minhaj menjadi rujukan.

Jika masih gagal, maka merujuk pada Muharrar. Jika masih gagal juga, maka yang dilihat adalah para ulama mazhab Syafi’i. Rujukan yang digunakan di sini adalah karya al-Mahalli (Kanz al-Raghibin), Ibn Hajar (Tuhfah al-Muhtaj). Selepas tahun 1926, Fatwa No. 2 memberi pengaruh dalam sejumlah fatwa. Karena itu, pada tahun 1930, Fatwa No. 104 menyatakan, meskipun melupakan perubahan terhadap teks-teks al-Qur’an dan hadis tidak diperbolehkan, namun perubahan dalam penafsiran dapat dilakukan oleh ulama yang benar-benar memenuhi syarat.

Kitab-kitab fikih merupakan hal utama dan harus dihormati sedemikian rupa. Pada dasarnya, kitab-kitab yang dianggap benar (al-mu’tabarah) adalah kitab-kitab fikih yang diakui dari empat mazhab Sunni. Terdapat sebuah fatwa singkat pada tahun 1983 mengenai masalah ini. Kitab-kitab fikih yang tampak dalam seluruh atau kebanyakan fatwa NU di antaranya adalah Minhaj al-Thalibin karya al-Nawawi; al-Muharrar karya Dimasyqi; Fath al-Mu’in karya al-Maribari; I’annah al-Thalibin karya Sayyid Bakri al-Dimyati; Kanz al-Raghibin karya al-Mahalli; Syarh Kanz al-Raghibin karya al-Qalyubi; Tuhfah al-Muhtaj karya Ibnu Hajar; Mughni al-Muhtaj karya Syarbini; dan Nihayah al-Muhtaj karya al-Ramli.

Dalam Kongres Nasional pada Januari 1992, NU mempertimbangkan seluruh persoalan fatwa sebagai metode secara terperinci. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pembuatan fatwa. Sistem pengambilan keputusan hukum dalam menguji masalah-masalah di lingkungan NU memiliki ketentuan umum sebagai berikut. Pertama, teks-teks yang diperbolehkan adalah yang berkaitan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kepercayaan para peninjau hukum dan masyarakat (lihat Kongres ke-27).

Kedua, mengikuti suatu mazhab menurut fatwanya adalah mengikuti pendapat-pendapat yang ia sampaikan. Ketiga, mengikuti suatu mazhab menurut metodenya adalah mengikuti cara berpikir dan prinsip-prinsipnya untuk membuat hukum yang telah dibangun dasarnya oleh para imam mazhab tersebut. Keempat, yang dimaksud dengan “pengembangan” adalah mengambil hukum Islam dari dalilnya dengan metode ushul/furu’ dan pemahaman.

Kelima, yang dimaksud dengan “pernyataan” adalah pendapat imam mazhab. Keenam, yang dimaksud dengan “ketetapan bersama” adalah usaha bersama untuk membuat suatu pilihan di antara beberapa pendapat imam atau ulama. Ketujuh, yang dimaksud dengan “penggabungan” adalah mengikutsertakan hukum bagi kasus tertentu yang belum dijawab dengan kasus lain yang telah dijawab oleh teks hukum.

Kedelapan, yang dimaksud dengan problem yang dipertanyakan adalah suatu permintaan untuk diadakan pembahasan atas satu kasus apakah tema kasus saja, atau pemikiran-pemikiran dasar, bahkan keinginan untuk merevisi kembali topik yang telah dibahas. Kesembilan, apa yang dimaksud dengan “ratifikasi” adalah pengesahan hasil pembahasan oleh Pengurus Besar NU, Konferensi Nasional Alim Ulama atau Kongres NU.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Muhammadiyah

Sistem Pembuatan Keputusan Hukum

A. Prosedur Menjawab Problem
Proses terjadi dalam kerangka mazhab dengan fokus pada pendapat-pendapat hukum yang telah mapan.

1. Jika satu pendapat terdapat dalam teks hukum, maka bisa digunakan.
2. Jika lebih dari satu pendapat terdapat dalam teks hukum, “ketetapan bersama” digunakan untuk menyeleksi jawaban.
3. Jika sama sekali tidak terdapat pendapat, proses penggabungan/penambahan” dilakukan secara bersama-sama oleh para ahli.
4. Jika “penggabungan” tidak dapat digunakan, maka “pengembangan” dilakukan secara bersama-sama menggunakan metode berikut oleh para ahli.

B. Hierarki dan Karakteristik Pengujian Masalah

1. Semua keputusan atas pengujian masalah di dalam domain NU diambil menurut prosedur yang telah disepakati adalah satu status dan tidak menghapus yang lainnya.
2. Sebuah keputusan yang telah memperoleh persetujuan dari Pengurus Besar NU dianggap telah mempunyai kekuatan tanpa harus menunggu keputusan Konferensi Nasional Alim Ulama atau Kongres NU.
3. Karakteristik sebuah keputusan pada tingkat Konferensi Nasional Alim Ulama atau Kongres NU adalah ratifikasi terhadap rancangan keputusan yang dipersiapkan sebelumnya dan/atau persetujuan keputusan yang dianggap memiliki akibat yang berdaya jangkau jauh di semua lapangan.

C. Kerangka Analisis Masalah
Dalam memecahkan masalah sosial, pengujian atas masalah harus menggunakan kerangka pembahasan (yang tercermin dalam hasil keputusan) sebagai berikut.

1. Analisis masalah (sebab masalah dianggap dari beberapa faktor) di antaranya ekonomi, kebudayaan, politik, dan faktor-faktor sosial lainnya.
2. Analisis pengaruh (positif dan negatif) yang telah ditimbulkan kasus ini dan hukum harus dipertimbangkan/ditinjau dari berbagai aspek yang berbeda sosial-ekonomi, sosial-kultural, sosial-politik, dan seterusnya.
3. Analisis hukum (pendapat hukum berkaitan dengan kasus tertentu setelah latar belakang dan pengaruhnya di semua bidang diseimbangkan. Di samping keputusan hukum formal, keputusan juga harus mempertimbangkan pendapat positif mengenai Islam dan hukum) kedudukan hukum (lima tingkatan), dasar dari ajaran para peninjau hukum, yakni hukum positif.
4. Analisis aksi, peranan dan peringatan (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari pendapat hukum. Siapa yang harus melakukannya, kapan, di mana, dan seterusnya, serta mekanisme apa yang harus ditetapkan untuk menjamin semuanya berjalan sesuai rencana): jalan politik (memengaruhi kebijakan pemerintah), jalan kultural (meningkatkan kesadaran di kalangan rakyat melalui media massa), jalan ekonomi (meningkatkan kesejahteraan sosial), jalan sosial lainnya (meningkatkan kesepakatan penduduk, lingkungan, dan sebagainya).

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Persatuan Islam (Persis)

D. Petunjuk Pelaksanaan

1. Prosedur memilih opsi. Pilihlah pendapat yang lebih bermanfaat dan/atau lebih kuat. Gunakan sejauh mungkin hierarki pendapat yang diatur Kongres NU ke-1 yang disepakati baik oleh Nawawi maupun Rafi’i, yang didukung hanya oleh Nawawi, yang didukung hanya oleh Rafi’i, yang didukung jumhur ulama, yang didukung kebanyakan alim ulama, yang didukung kebanyakan ulama saleh.
2. Prosedur penggabungan. Ini dilakukan dengan menguji apa yang harus dikaitkan dengan apa, dan petunjuk prinsip-prinsip penggabungan oleh para ahlinya.
3. Prosedur keputusan dilakukan secara bersama-sama dengan menggunakan metode ushul/furu’ dan pemahaman oleh para ahli.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Orde Baru dan Era Reformasi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel