-->

Pemikiran Hukum Islam dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI)

fikriamiruddin.com - MUI berdiri pada 1975 atas inisiatif pemerintah. Tujuannya adalah menegakkan dan mengontrol ekspresi publik mengenai Islam di bawah bentukan negara (dalam hal ini, Departemen Agama). MUI diharuskan menjadi otoritas nasional. Dalam situasi politik masa itu, awal 1970-an, berbagai kontroversi muncul mengenai persoalan-persoalan yang menyentuh agama, seperti rancangan undang-undang perkawinan 1974.
Pemikiran Hukum Islam dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Karena itu, konteks terbentuknya MUI adalah kontroversi keagamaan, dominasi luar biasa Orde Baru, dan kelemahan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Penelitian Atho Mudzhar menunjukkan bahwa di antara 22 fatwa, hanya tiga yang memperlihatkan semacam pengaruh kebijakan pemerintah. Sisanya tidak menunjukkan adanya garis pemerintah yang dapat dilihat. Dalam beberapa kasus, fatwa-fatwa MUI bertentangan dengan kebijakan yang berlaku ketika itu.

Mudzhar juga menunjukkan kemerosotan jumlah fatwa yang dikeluarkan sejak 1986. Di luar urusan pemberian fatwa, terdapat pula komite-komite lain dengan ragam fungsi, seperti dakwah, pendidikan, hubungan dengan lembaga-lembaga luar, kepemudaan dan keluarga, masalah ekonomi, serta sebuah komite untuk “persaudaraan Islam”.

Pada tahun 1995, MUI menerbitkan himpunan fatwa-fatwanya dan edisi revisi-nya telah terbit pada 1997. Terdapat dua ciri yang cukup menarik. Pertama, MUI ditunjuk dan dibiayai oleh negara. Persoalan yang jelas adalah ketidakberpihakan fatwa-fatwanya: suatu persoalan yang sama tuanya dengan fatwa itu sendiri. Kedua, MUI mempunyai persoalan metodologi. Para anggota MUI diambil dari keterwakilan kelompok Muslim dari para ahli dalam berbagai bidang, seperti keuangan, sains, dan ilmu-ilmu sosial.

Mereka ini dengan bebas dimintai pendapatnya. Fatwa-fatwanya memperlihatkan ketergantungan pada al-Qur’an dan hadis. Namun, penjelasannya diambil dari mazhab Syafi’i. Selain itu, terkadang pendapat rujukan pada fatwa-fatwa dari Timur Tengah, khususnya pada tahun-tahun belakangan ini. MUI adalah organisasi tingkat nasional. MUI memiliki kepengurusan dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan.

Secara teori, MUI di provinsi merupakan subordinat dari kebijakan yang dibuat pada tingkat nasional. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman skala nasional dalam ekspresi praktis ajaran Islam. kenyataannya, MUI provinsi tak jarang bertindak atas inisiatifnya sendiri. Pada periode 1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa MUI ditetapkan oleh Komisi Fatwa dan dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Nahdlatul Ulama (NU)

Atas dasar Sidang Pleno MUI pada 18 Januari 1986, terjadi perubahan dalam prosedur penetapan fatwa. Dalam hal ini, keputusan yang berkaitan dengan fatwa dari Komisi Fatwa diambil alih oleh pimpinan pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa”. Pengambilan keputusan ini dipimpin oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum bersama-sama dengan Ketua Komisi Fatwa MUI. Petunjuk prosedur dalam penetapan fatwa MUI adalah sebagai berikut:

1. Dasar-dasar fatwa adalah:
a. al-Qur’an;
b. Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi Muhammad Saw);
c. Ijma’ (kesepakatan pendapat para ulama);
d. Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi).

2. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas;
b. Pendapat para imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran al-Qur’an;
c. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam;
d. Ketika suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).

3. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai berikut:
a. MUI pusat berkaitan dengan masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara umum. Selain itu juga masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan di wilayah lain.
b. MUI tingkat provinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang sifatnya lokal dan kasus kedaerahan, namun setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat dan Komisi Fatwa.

4. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri para anggota Komisi Fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan MUI provinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.

5. Sidang Komisi Fatwa harus diselenggarakan ketika:
a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
b. Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.

6. Sesuai dengan aturan Sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada Ketua MUI nasional dan provinsi.

7. Pimpinan pusat MUI nasional/provinsi akan merumuskan kembali fatwa itu ke dalam bentuk Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Muhammadiyah

Dari penjelasan di atas, sumber-sumber fatwa diatur secara hierarkis, seperti dalam Komisi Fatwa nasional dan provinsi. Pada praktisnya, fatwa MUI bersandar terutama kepada al-Qur’an dan hadis yang disertakan dalam beberapa kasus, namun tidak semuanya dengan rujukan kepada kitab-kitab fikih klasik. Kitab-kitab tersebut seringkali berasal dari mazhab Syafi’i. Meskipun demikian, terkadang ditemukan rujukan kepada karya-karya Timur Tengah (Mesir) kontemporer, seperti karya Mahmud Syaltut dan beberapa karya lainnya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Persatuan Islam (Persis). Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI)"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel