-->

Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Muhammadiyah

fikriamiruddin.com - Organisasi Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 dengan bagian yang mewadahi masalah perempuan, yakni Aisyiyah yang berdiri pada tahun 1918. Organisasi ini mulai mengeluarkan fatwa pada 1927. Seperti Persis, Muhammadiyah mendasarkan Islam pada Ijtihad, namun mereka memahami konsep ini secara agak berbeda. “Metode Ijtihad”, dengan demikian merupakan hal yang sangat penting.
Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Muhammadiyah

Lembaga yang melakukan ijtihad dalam Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih. Dasar-dasar ideologi Muhammadiyah terletak pada gagasan tentang tujuan Syari’ah (maqashid al-syari’ah), yakni hukum yang memiliki tujuan, objek yang harus diidentifikasi, dan diimplementasikan. Tujuannya adalah mashlahah atau kepentingan umum dalam pengertian yang luas. Muhammadiyah dibatasi oleh al-Qur’an dan Sunnah serta akal manusia yang terbatas.

Dalam hal ini, logika yang menyertai wahyu, sehingga seseorang harus bekerja dalam batasan-batasan wahyu. Karena itu, Muhammadiyah tidak terkooptasi oleh mazhab tertentu. Sejak awal berdirinya hingga pada tahun 1968, Majelis Tarjih membahas masalah akidah dan ibadah dengan ijtihad tarjihi. Ijtihad ini dilakukan secara kolektif untuk memilih pendapat ahli fikih terdahulu mengenai masalah tertentu, lalu menyeleksi pendapat yang paling kuat dalilnya dan paling relevan untuk kondisi saat ini.

Dalam pasal 2 Qaidah Lajnah Tarjih, termuat tugas Majelis Tarjih. Pertama, menyelidiki dan memahami agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. Kedua, menyusun tuntunan akidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah dunyawiyat (sosial). Ketiga, memberikan fatwa dan nasehat, baik atas permintaan atau Tarjih sendiri memandang perlu. Keempat, menyalurkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.

Kelima, mempertinggi mutu ulama. Keenam, hal-hal lain dalam keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan. Teks dasar yang digunakan sekarang adalah Buku Panduan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII tahun 1989 di Yogyakarta. Buku ini mengulang kembali tujuan didirikannya Muhammadiyah, yakni pembaruan (tajdid) terhadap Islam, masyarakat Muslim, dan Syariat.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam dalam Persatuan Islam (Persis)

Pembaruan ini diarahkan pada dua sasaran. Pertama, pemurnian, yakni pemeliharaan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Qur’an yang shahih. Kedua, peningkatan dan pengembangan modernisasi dan yang semakna dengannya, yakni Sunnah yang shahih. Jadi, metode utama dalam setiap pembaruan tersebut adalah mendayagunakan akal yang sesuai dengan ajaran Islam.

Secara konsisten, Muhammadiyah mengembangkan suatu metode untuk memahami wahyu. Dalam muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh pada tahun 1995, Majelis Tarjih berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam. Ini berarti terjadi perluasan wilayah Majelis Tarjih: tidak semata membahas persoalan hukum. Karena itu, wilayah Majelis Tarjih mencakup beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, bagian fatwa dan pengembangan keputusan tarjih. Kedua, bagian hisab dan pengembangan tafsir. Ketiga, bagian wanita dan keluarga. Keempat, bagian pengembangan pemikiran Islam serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelima, bagian pengembangan pemikiran Islam dan sosial-budaya. Keenam, bagian kaderisasi. Ketujuh, bagian jurnal dan publikasi.

Untuk mencapai fatwa, Muhammadiyah berusaha menggabungkan beberapa unsur. Pertama, sumber utama adalah al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, ketika masalah tidak dapat diidentifikasi dengan jelas, sejumlah metode dapat digunakan untuk menemukan kemaslahatan, namun tidak boleh menurunkan derajat sumber utama. Ketiga, Qiyas hanya dapat diterapkan di lingkungan baru dan tidak dapat digunakan untuk menjatuhkan peraturan yang ada.

Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Orde Baru dan Era Reformasi

Keempat, Istihsan, yakni prinsip kebenaran yang dapat ditemukan dengan akal. Kelima, Istishlah, kepentingan umum. Pada masa lalu pembicaraan mengenai istishlah sangat terbatas dalam fatwa, namun penggunaannya dalam fatwa-fatwa Muhammadiyah cukup luas. Keenam, mencegah sarana-sarana untuk melakukan tindakan yang salah (sadd al-dzara’i). Penggunaan prinsip ini sekarang telah umum dalam fatwa-fatwa Majelis Tarjih dalam lapangan etika kedokteran, misalnya pembolehan transplantasi.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hukum Islam pada Masa Orde Lama. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran Hukum Islam dalam Organisasi Muhammadiyah"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel