-->

Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern

fikriamiruddin.com - Modernisasi yang dimulai dari proyek industrialisasi telah membawa dampak yang luar biasa bagi peradaban umat manusia. Kompleksitas masalah modern sulit dijawab oleh seorang pakar hukum Islam, namun perlu bantuan pakar yang lain. Dengan kolektifitas ulama, kultus individu dapat dihindari, karena masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi.
Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern

Kesepakatan beberapa pakar hukum Islam ini dinamakan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i). Ijtihad yang diputuskan lembaga ulama ini bisa mempersempit dan memperkecil perbedaan pendapat. Konsep ijtihad jama’i dalam literatur studi hukum Islam klasik tidak ditemukan. Ia muncul pada periode perundang-undangan hukum Islam (taqnin), karena rumusannya merupakan hasil dari proses kesepakatan para ulama yang berijtihad atas masalah hukum tertentu.

Dalam literatur klasik, proses seperti ini dapat dinamakan sebagai ijma’ (konsensus). Namun, teori ijma’ bervariasi. Teori yang paling umum dan memberikan perdebatan kemungkinannya adalah bahwa ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw pada satu masa atas suatu masalah. Teori yang dianggap sudah baku ini berkembang hingga pada pengertian kesepakatan para ulama suatu daerah, seperti kesepakatan para ulama Madinah.

Pengertian yang terakhir ini sama dengan pemahaman mengenai ijtihad jama’i. Ijtihad jama’i dibandingkan dengan ijtihad fardi. Ijtihad jama’i dilakukan oleh sekelompok ulama dan menghasilkan keputusan kolektif, sedangkan ijtihad fardi dilakukan oleh seorang ulama dan membuahkan fatwa individu. Keduanya bekerja dengan ijtihad yang didefinisikan sebagai mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah.

Tidak semua dalil menjadi obyek ijtihad, namun hanya dalil yang belum mendapatkan kepastian secara yakin tentang keberadaan dan pemahamannya (zhanny al-wurud wa al-dalalah). Dalam beberapa kasus, Umar bin Khathab menggunakan ijtihad atas dalil yang nilainya pasti keberadaan dan pemahamannya (qath’iy al-wurud wa al-dalalah). Selain itu, peristiwa yang belum ada dalilnya juga menjadi objek ijtihad.

Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Modern

Dasar pelaksanaan ijtihad telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Baik ijtihad jama’i maupun ijtihad fardi telah lama dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. Salah satu contoh ijtihad jama’i yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah berkenaan dengan kebijakan atas tawanan perang Badar. Nabi Muhammad Saw mengajak para sahabat untuk melakukan musyawarah.

Di antara pendapat mereka, ada yang menyatakan perlu dibunuh, dan ada pendapat agar dibebaskan. Nabi Muhammad Saw memilih pendapat untuk membebaskan mereka dengan tebusan apa yang mereka miliki. Kebijakan Nabi Muhammad Saw ini diluruskan oleh Allah melalui surat al-Anfal ayat 67, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah Swt menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Terdapat dua bentuk kerja ijtihad. Pertama, ijtihad dalam mengeluarkan hukum (al-ijtihad fi takhrij al-ahkam). Pola ini menuntut mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) untuk hanya menentukan hukumnya saja tanpa mempertimbangkan kondisi subjek hukum di mana hukum akan diterapkan. Kedua, ijtihad dalam menerapkan hukum (al-ijtihad fi tathbiq al-ahkam). Dalam hal ini, mujtahid melihat perkembangan kondisi masyarakat ketika merumuskan dan menjawab masalah hukum.

Model ini menghasilkan corak hukum Islam yang lentur (fleksibel), karena mujtahid memperhatikan sebab, syarat, penghalang (mani’), dispensasi (rukhsah), dan kebutuhan mendesak (darurat). Model ijtihad bentuk kedua ini sering dipraktikkan dalam ijtihad jama’i yang berhadapan dengan derasnya masalah yang diajukan. Pesertanya disebut pemikir persoalan umat (al-mujtahid fi al-masail).

Untuk melihat persoalan masyarakat sebenarnya, ijtihad jama’i menghadirkan para pakar yang dibutuhkan di luar pakar fikih. Penjelasan para pakar tersebut membantu para pakar hukum Islam.

Untuk menjadi peserta ijtihad jama’i, seseorang harus memiliki kemampuan tentang studi hukum Islam. Orang dapat dianggap sebagai pakar hukum Islam apabila telah menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Secara sederhana, al-Ghazali berkata, “Jika seorang pakar fikih tidak berkomentar atas masalah yang belum pernah didengarnya seperti komentarnya atas masalah yang telah didengarnya, maka ia bukan pakar fikih”.

Baca Juga: Penyebab Kebekuan Pemikiran Hukum Islam

Karena tidak semua umat Islam yang memiliki kompetensi tersebut serta tuntutan zaman memerlukan kehadiran mujtahid, maka hukum ijtihad adalah fardlu kifayah. Masyarakat modern yang menjunjung tinggi demokratisasi lebih percaya pada keputusan kolektif. Fatwa hukum Islam dari lembaga keagamaan juga lebih dipercaya dibanding fatwa individu. Tak hanya itu, keputusan hukum yang melibatkan dan mendengarkan pendapat banyak masyarakat dinilai lebih objektif.

Dengan demikian, pengambilan keputusan hukum Islam secara kolektif dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat relevan dengan pemikiran masyarakat modern.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Ijtihad Kolektif Sebagai Tren Hukum Islam Modern"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel