-->

Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah

fikriamiruddin.com - Perkembangan kekuasaan Dinasti Abbasiyah mengalami dua bentuk perubahan, yakni pra al-Mutawakkil (749-847 M. = 98 tahun) dan pasca al-Mutawakkil (847-974 M. =127 tahun). Pada masa Khalifah al-Mutawakkil, Dinasti Abbasiyah mengalami kemerosotan akibat karakternya yang buruk. Sebelum Khalifah al-Mutawakkil, tidak sedikit para Khalifah Abbasiyah yang memiliki kecakapan dalam kepemimpinan.
Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah

Para Khalifah ini menghargai kebebasan berpikir melalui teologi yang rasional. Khalifah al-Mutawakkil justru berpikir anti rasional, Imam Ahmad pun mendapatkan kebebasan darinya dan berwawasan sempit, sehingga ia bertindak ceroboh  dengan memusuhi golongan Syi’ah, kelompok yang membantu berdirinya Dinasti Abbasiyah. Akibatnya, gejolak teologis yang selama para khalifah sebelumnya teredam menjadi bergejolak kembali, seperti gejolak teologis yang mewarnai Dinasti Umayyah.

Khalifah al-Mutawakkil pun tewas tertikam pengawalnya sendiri. Setelah itu, para khalifah Abbasiyah hanya merupakan ‘boneka’ dari para pejabatnya, terutama Perdana Menteri. Oleh karena itu, otoritas kekuasaan kehakiman pun juga berbeda. Sebelum masa al-Mutawakkil, pejabat Hakim Agung diangkat oleh Khalifah melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), sebagaimana pengalaman Imam Abu Yusuf yang berdialog dengan Harun al-Rasyid sebelum menduduki jabatan Hakim Agung.

Setelah Khalifah al-Mutawakkil, Hakim Agung diangkat oleh Perdana Menteri, terkadang melalui kompromi politik sebagaimana pengalaman para Perdana Menteri dari kelompok Buyid (al-Buwaihy). Dalam perkembangan awal Dinasti Abbasiyah (pra al-Mutawakkil), model integrasi hukum dan politik terwujud dalam hubungan harmonis antara pakar hukum Islam baik ulama kultural maupun struktural dengan Khalifah.

Imam Malik bin Anas pernah diminta oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur untuk membuat kodifikasi hukum Islam. Imam Malik pun memenuhinya hingga ia menulis Kitab al-Muwaththa’ (Buku yang Dijadikan Pijakan), karya monumentalnya. Khalifah al-Manshur pun berhasrat menjadikan Kitab al-Muwaththa’ sebagai undang-undang negara, namun Imam Malik menolaknya. Bagi Imam Malik, ide Khalifah al-Manshur tersebut bisa memasung kebebasan berpikir.

Baca Juga: Ketegangan Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah

Pengalaman Imam Malik di atas juga terjadi pada diri Imam Abu Yusuf. Atas kekagumannya, Khalifah Harun al-Rasyid memintanya untuk membuat ketentuan fisikal secara tertulis yang dipakai untuk pedoman negara. Imam Abu Yusuf pun menyetujuinya dan menulis karya agungnya, Kitab al-Kharraj (Buku Perpajakan). Para hakim pun merujuk kitab ini saat memutuskan masalah hukum perdata.

Karena Imam Abu Yusuf bermadzhab Hanafi, maka hampir seluruh hakim yang diangkatnya juga mengikuti madzhab yang sama dengannya. Bagi masyarakat Baghdad dan sekitarnya, madzhab Hanafi dan teologi rasional mudah diterima (ahl al-ra’yi), mengingat tidak banyak perbendaharaan hadis di kawasan metropolis dan multikultural semacam Baghdad. Namun, kedatangan Imam al-Syafi’i yang membela kelompok fundamentalis (ahl al-hadith) yang minoritas menjadi penyeimbang pemikiran.

Masyarakat Baghdad pun semakin meninggalkan pemikiran rasional dan menuju pemikiran radikal setelah melihat kezaliman yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal. Realitas politik ini dimanfaatkan oleh Khalifah al-Mutawakkil untuk merubah haluan teologi pemerintahan Abbasiyah. Karena itu, jabatan Hakim Agung diduduki oleh ulama madzhab Syafi’i atau Hanbali.

Imam al-Mawardi (364-450 H./ 975-1058 M.) adalah sosok Hakim Agung madzhab Syafi’i pada masa pemerintahan Khalifah al-Qahir (berkuasa 381-423 H./ 991-1031 M). Ia menulis dan membukukan konsepsi hukum tata negara dalam karyanya al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Hukum Tata Negara). Isi kitab ini tidak hanya berkenaan dengan hukum ekonomi, namun juga terkait dengan hukum pidana, hukum tata usaha negara, serta kewenangan negara.

Kitab ini lebih tipis dibanding dengan kitabnya Abu Ya’la al-Farra’ (380-458 H.) dengan judul dan isi yang sama. Abu Ya’la juga pernah menjabat Hakim Agung pada masa Khalifah al-Qaim, ia mengikuti madzhab Hanbali. Tidak banyak ahli sejarah yang memperbincangkan hubungan kedua ulama ini. Padahal, keduanya menulis kitab dengan judul dan yang sama serta isinya pun hampir sama.

Baca Juga: Hukum Islam pada Masa Dinasti Abbasiyyah

Keduanya juga menjabat sebagai Hakim Agung serta hidup dalam satu generasi, meskipun Abu Ya’la lebih akhir daripada al-Mawardi. Namun demikian, keduanya diakui sebagai pakar hukum tata negara Islam. Ulama lain yang dekat dengan pemerintah Dinasti Abbasiyah pasca al-Mutawakkil adalah Imam al-Ghazali (450-505 H./ 1058-1111 M.). Ini merupakan contoh kedekatan ulama kultural dengan pemerintah.

Hanya saja, Imam al-Ghazali tidak berkedudukan sebagai hakim, melainkan Guru Besar di Madrasah Nizhamiyyah. Ia akrab dengan Perdana Menteri Nizham al-Muluk. Ketika Imam al-Ghazali mengalami skeptisisme, ia meninggalkan seluruh aktivitasnya di Baghdad dan memulai hidup baru yang lebih sufistik. Selain Imam al-Ghazali, tidak banyak ulama besar ahli hukum yang dekat dengan pemerintah. Mereka memilih hidup independen dan cenderung menghindar dari kekerasan politik Dinasti Abbasiyah.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pergulatan Hukum dan Politik di Masa Dinasti Umayyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Integrasi Hukum dan Politik pada Masa Dinasti Abbasiyah"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel