-->

Hukum Islam pada Masa Dinasti Abbasiyyah

fikriamiruddin.com - Sistem hukum pada masa Dinasti Abbasiyyah mengalami kemajuan. Otoritas tertinggi di bidang kehakiman adalah Hakim Agung (qadli al-qudlah). Hakim Agung berkedudukan di Baghdad, Ibukota Dinasti Abbasiyyah. Dalam struktur Mahkamah Agung, terdiri dari diwan al-qadli al-qudlah yang meliputi panitera, hakim pendamping, jaksa penuntut, penjaga, dewan hakim, dan segala perangkatnya.
Hukum Islam pada Masa Dinasti Abbasiyyah

Ia memutuskan perkara setelah diproses dalam tingkatan hakim biasa (al-qadli). Ia juga memiliki otoritas untuk memilih kepada hakim daerah (naib). Terkait hal ini terdapat dua bentuk pengadilan pada saat itu, yakni pengadilan umum dan pengadilan khusus. Hakim pengadilan khusus bertugas memutuskan perkara, bertanggung jawab atas santunan anak yatim, orang gila, anak terlantar, dan mengelola lembaga amal.

Pengadilan ini lazim dinamakan wilayah al-hisbah. Sedangkan hakim di pengadilan khusus hanya melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh Perdana Menteri atau Khalifah. Di pengadilan khusus hanya terjadi gugatan atas kezaliman pejabat, sehingga ia disebut dengan wilayah al-mazhalim. Majelis wilayah al-mazhalim bisa sempurna dengan kehadiran kelompok sebagai berikut:

a. Pengacara dan pembantu, mereka memberikan bantuan apabila terjadi tindakan sewenang-wenang dalam memberikan putusan peradilan.

b. Hakim (qadli) dan pemimpin, mereka memberikan isyarat kepada pelaku kezaliman pada jalan yang lurus, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan memberikan keterangan permusuhan yang terjadi.

c. Ahli Fikih, mereka memberikan pertimbangan pendapat yang terkait dengan persoalan syari’at.

d. Penulis (panitera), mereka mencatat jalannya sidang dan keputusan yang dihasilkan terkait dengan hak dan kewajiban.

e. Saksi, mereka memberikan persaksian bahwa apa yang diputuskan hakim tidak bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.

Baca Juga: Pergulatan Hukum dan Politik di Masa Dinasti Umayyah

Sebelum memasuki persidangan, terlebih dahulu dilakukan proses penegakan hukum. Penegak hukum Dinasti Abbasiyyah dibedakan antara polisi khusus yang menerima pengaduan penindasan oleh pejabat (nadhir al-mazhalim) dan polisi umum yang mengatasi masalah pidana, perdata, bahkan masalah sosial dan ibadah (al-muhtasib). Jika ada permainan harga pasar yang dilakukan oleh pengusaha, maka pengaduan bisa diarahkan pada polisi al-muhtasib.

Namun, jika ada keterlibatan oknum pejabat dalam permainan harga tersebut, maka pengaduannya ditujukan kepada polisi nadhir al-mazhalim. Karena itu, tugas polisi al-muhtasib lebih luas daripada polisi nadhir al-mazhalim. Singkat kata, cakupan kehakiman pada masa Dinasti Abbasiyyah sangat luas. Tidak hanya bidang mu’amalah (hubungan sosial), namun juga di bidang ibadah (ritual).

Dengan tugas ini, para hakim menduduki strata atas sejajar dengan keluarga Khalifah, para pejabat, direktur, ulama, budayawan, sekretaris negara, dan panglima perang. Di luar kelompok ini termasuk menduduki strata bawah, seperti petani, pedagang, tentara, dan sebagainya. Tak hanya itu, masyarakat lebih tunduk dan patuh secara ikhlas kepada para hakim daripada Khalifah atau pejabat pemerintah.

Untuk menjaga kewibawaan hukum, para Khalifah Abbasiyyah melakukan seleksi Hukum Agung secara ketat. Semua instrumen kehakiman terfokus pada diri Hakim Agung. Hakim Agung yang adil dan berwibawa akan memengaruhi semua elemen kehakiman di bawahnya. Sebaliknya, Hakim Agung yang lemah, kurang adil, bahkan mudah dipengaruhi oleh Khalifah, akan menepis kepercayaan rakyat kepada Khalifah.

Atas dasar itu, Khalifah hanya memanggil ulama yang berkemampuan tinggi dan berkepribadian terpuji. Bagi ulama yang agung, jabatan Hakim Agung tersebut sangat berat, apalagi dominasi Khalifah bisa memengaruhi keputusannya. Kekuasaan kehakiman bisa menjadi jembatan antara Khalifah dengan para ulama, terutama ulama yang berkompeten dalam hukum Islam. Tak hanya itu, para hakim juga sering terlibat diskusi dengan para ulama.

Baca Juga: Perkembangan Hukum Islam pada Masa Sahabat

Imam al-Syafi’i sebagai ulama independen pernah berdiskusi dengan Hakim Agung sekaligus murid Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf (113-182 H./731-789 M.). Pada masa Dinasti Abbasiyyah, wacana hukum sangat maju, karena tidak sedikit Khalifahnya yang memiliki perhatian kepada ilmu pengetahuan. Namun, tak jarang pemikiran para ulama bergesekan dengan kepentingan Khalifah, sehingga terjadi ketegangan antara keduanya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Skripturalis Versus Rasionalis. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Hukum Islam pada Masa Dinasti Abbasiyyah"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel