-->

Memahami Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam

fikriamiruddin.com - Hadis adalah sumber kedua dalam ajaran agama Islam setelah al-Qur’an. Ia terdiri atas bentuk ucapan, perbuatan atau persetujuan secara diam dari Nabi. Kata Sunnah menurut bahasa berarti jalan, adat istiadat, kebiasaan, atau cara yang diadakan. Sunnah kemudian didefinisikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad Saw selain al-Qur’an, baik berupa ucapan, perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Saw.

Sumber Ajaran Islam

Sunnah juga sering disebut dengan Hadis, yang secara etimologis berarti baru (al-jadid), lawan dari lama (al-qadim). Ia juga berarti juga ucapan, perkataan, cerita atau berita. Secara terminologis, Hadis dipahami sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan seterusnya (Khallaf, 1972). Jadi, dalam Islam, Hadis merupakan istilah yang dinisbahkan pada riwayat spesifik mengenai ucapan dan perbuatan Nabi.

Pada masa Nabi, narasi Hadis berbentuk informal, di mana orang-orang di sekitarnya membicarakan apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi persis seperti mereka membicarakan mengenai perbuatan mereka sehari-hari. Berbeda dengan al-Qur’an, Hadis tidak pernah dilihat pada masa Nabi. Alasan yang selalu dikemukakan adalah bahwa pencatatan dan penghafalan Hadis dilarang oleh Nabi, sebab dikhawatirkan akan terjadi pencampuran antara al-Qur’an dan Hadis.

Setelah Nabi wafat, para sahabat mengumpulkan berbagai riwayat itu kemudian menceritakannya kembali pada kalangan mereka agar memori hidup keteladanan Nabi bisa mempengaruhi kehidupan mereka. Sebab dilestarikan untuk generasi berikutnya, Hadis itu biasanya berbentuk potongan-potongan pendek yang tidak saling berhubungan, yang masing-masing didahului oleh daftar periwayat otoritatif.

Meskipun Hadis pada mulanya disampaikan secara lisan, sebagian periwayat kemudian mulai menuliskannya. Penghimpun Hadis berhati-hati agar tidak merusak teks yang diterimanya dari para ahli yang diakui dalam penyampaian Hadis dan himpunannya mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif, repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur Hadis merupakan salah satu contoh terbaik prosa Arab pada periode itu.

Maka dengan wafatnya Nabi, narasi Hadis berubah menjadi suatu fenomena yang sengaja diciptakan untuk menjawab pertanyaan dari generasi baru yang sedang tumbuh mengenai perilaku Nabi. Periwayatan Hadis pada masa awal Islam disalin secara hati-hati. Meskipun demikian, di antara mereka bisa melakukan kekeliruan, sehingga suatu Hadis yang dianggap tidak resmi bisa jadi sungguh-sungguh dari Nabi.

Baca Juga: Al-Qur’an Sebagai Teks Suci yang Terucap

Pembukuan Hadis kemudian dilakukan pada abad kedua Hijriyah, yakni pada masa Umar bin Abd al-Aziz sebagai khalifah, yang kemudian terjadi pembukuan secara besar-besaran pada abad ke-3 Hijriyah. Sebab Hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula, tidaklah bisa diketahui dengan pasti mana Hadis yang betul-betul dari Nabi, dan mana Hadis yang dibuat-buat.

Setelah dua abad dikumpulkan, masa itu menjadi masa yang paling mulia bagi para pencari Hadis, para ulama secara intensif mengodifikasi sejumlah besar riwayat. Abad ke-9 melahirkan enam kumpulan Hadis yang hampir secara umum dipandang oleh komunitas Sunni sebagai yang paling otoritatif. Kumpulan Hadis itu lazim dikenal dengan nama para penghimpunnya; al-Bukhari (870), Muslim (875), Abu Dawud (888), Ibn Majah (887), al-Tirmidzi (892), al-Nasa’i (915).

Terdapat dua lainnya, yakni Malik bin Anas (795) dan Ahmad bin Hanbal (855). Kumpulan dari Syi’ah adalah al-Kulani (940), Ibn Babuyah al-Qummi (991), dan Muhammad al-Tusi (1068). Dengan berkembangnya kajian Hadis, maka dirumuskanlah beberapa hal terkait dengan Hadis, di antaranya adalah bahwa Hadis atau Sunnah itu memiliki beberapa kategori; ada Sunnah qawliyah, yakni Sunnah Nabi yang hanya berupa ucapan, baik berupa pernyataan, anjuran, perintah, atau larangan.

Bentuknya bisa sabda Nabi yang merespon keadaan yang terjadi atau bentuk dialog Nabi dengan para sahabatnya atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para Sahabat untuk suatu masalah atau pidato-pidato Nabi. Selain Sunnah qawliyah, terdapat pula Sunnah fi’liyah, yakni Sunnah Nabi yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan oleh para sahabat mengenai persoalan ibadah (al-Siba’i, 1960).

Para ulama mengklasifikasi Sunnah fi’liyah ini ke dalam beberapa kategori; perbuatan Nabi yang tidak ada kaitannya dengan hukum, seperti model pakaian Nabi; perbuatan Nabi yang memiliki kaitan dengan ubudiyah; perbuatan Nabi yang menjadi motivasi bagi umatnya; perbuatan Nabi yang hanya dikhususkan untuknya; perbuatan Nabi yang menerangkan mengenai hukum yang mujmal; perbuatan Nabi yang dilakukan untuk menerangkan kebolehannya saja.

Di samping Sunnah qawliyah dan fi’liyah, juga terdapat Sunnah taqririyah, yakni Sunnah Nabi yang berupa penetapan Nabi terhadap perbuatan para sahabat yang diketahui Nabi, namun beliau tidak menegurnya atau melarangnya, bahkan Nabi cenderung membiarkannya. Sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, maka Sunnah mempunyai fungsi yang cukup penting.

Di antaranya adalah sebagai pemberi uraian dan keterangan serta penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih global (mujmal), sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki pengertian umum, seperti pengertian puasa, sebagai pemberi uraian dan keterangan serta penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam menentukan berbagai maksud yang terkandung di dalamnya.

Selain itu juga sebagai dalil untuk ayat-ayat nasikh dan mansukh, serta sebagai penguat untuk uraian dan keterangan serta penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebab keduanya mempunyai kesesuaian maksud bahkan bisa saling menguatkan.

Pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, semua persoalan yang berhubungan dengan umat Islam pada umumnya dan yang berhubungan dengan Islam pada khususnya bisa diselesaikan dengan baik. Karena itu, penulisan Hadis pada masa itu tidak dilakukan, bahkan Nabi Muhammad Saw melarangnya sebab dikhawatirkan akan tercampur dengan penulisan al-Qur’an. Pada masa itu, Hadis cukup dihafal oleh para sahabat, sebab mereka terkenal dengan kekuatan hafalannya.

Baca Juga: Memahami Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam

Hadis itu pun kemudian disampaikan dari satu sahabat ke sahabat lainnya tanpa ada penambahan maupun pengurangan. Tapi, setelah Islam meluas ke berbagai wilayah, penyampaian Hadis juga semakin jauh jangkauannya. Para sahabat kemudian menjadi sumber Hadis yang dilanjutkan oleh tabi’in (as-Siddiqie, 1988).

Ketika terjadi perselisihan politik di antara umat Islam, beberapa Hadis palsu mulai bermunculan yang digunakan untuk melegitimasi kelompok politiknya. Untuk menjaga keutuhan Hadis Nabi dari pemalsuan yang lebih banyak lagi, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz memperakarsai penulisan Hadis dengan mengirim surat kepada penduduk Madinah untuk segera menulis Hadis yang mereka hafal, sebab Kota Madinah adalah sebagai sumber munculnya Hadis.

Selain itu juga penduduk Madinah merupakan penduduk yang banyak menghafal Hadis. Mengirim surat ke Gubernur Madinah (pada saat itu adalah Abu Bakar Muhammad bin Amar bin Hazm) yang isinya berupa anjuran untuk menulis Hadis. Mendorong umat Islam untuk berpartisipasi dalam mendiskusikan Hadis. Sejak saat itu, penulisan Hadis menjadi perhatian para ulama dan umat Islam.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Memahami Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel