-->

Memahami Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam

fikriamiruddin.com - Al-Qur’an sebagai firman Allah Swt merupakan bahasa Tuhan yang kualitasnya lebih sempurna dari bahasa manusia. Karena itu, tidak mudah memahami al-Qur’an secara sempurna, bahkan tidak ada seorang pun yang mampu memahami isi al-Qur’an secara utuh dan sempurna, kecuali Nabi Muhammad Saw, Sang penerima wahyu yang bisa berkomunikasi secara langsung dengan Malaikat Jibril, penyampai wahyu.

Al-Qur'an

Maka ketika Rasulullah menyampaikan al-Qur’an kepada para sahabatnya, beberapa di antara mereka mengalami kesulitan itu, Nabi Muhammad pun segera menjelaskannya kepada mereka, sehingga kesulitan itu kemudian bisa diselesaikan dengan baik. Dengan demikian, maka tidak ditemukan perselisihan tajam yang terjadi di kalangan para sahabat pada masa Nabi masih hidup.

Maka pertanyaan mengenai bagaimana cara memahami al-Qur’an tidak muncul pada masa Nabi, sebab semuanya sudah jelas. Meskipun demikian, para sahabat tidak selalu bertanya kepada Nabi mengenai ayat-ayat yang disampaikannya. Mereka hanya melakukan apa yang diperintahkan tanpa banyak bertanya. Mereka salat sebagaimana mereka melihat Nabi salat, begitu juga dalam hal ibadah yang lainnya.

Terkadang juga, Nabi menjelaskan secara langsung ayat yang disampaikan tanpa harus menunggu pertanyaan dari Nabi, namun tidak semua ayat dijelaskan oleh Nabi. Demikian pula sahabat tidak selalu bertanya kepada Nabi, sehingga tidak semua ayat ditemukan penjelasannya dari Nabi. Maka, setelah Nabi wafat, beberapa ayat yang tidak ditemukan penjelasannya dari Nabi tersebut, dilakukan upaya penafsiran-penafsiran yang tentu hasilnya bisa berbeda antara satu penafsir dengan penafsir lainnya.

Hal itu lantaran banyak faktor yang melatarbelakangi bentuk penafsiran mereka. Perbedaan-perbedaan itu kemudian tidak bisa disatukan, sebab sumber utama yang bisa memahami isi al-Qur’an secara utuh, yakni Nabi Muhammad Saw, telah tiada. Teks suci tidak bisa dipahami secara sempurna lantaran manusia tidak bisa berdialog secara langsung dengan pemilik teks. Ketika Nabi masih hidup, ada perantara yang membantu, yakni Nabi Muhammad Saw.

Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, perantara itu telah tiada, sehingga muncul kemudian pemisah antara wahyu dan manusia. Maka dengan tidak adanya perantara itu, muncullah persoalan. Ibarat jembatan, dengan wafatnya Nabi Muhammad, maka jembatan itu ambruk, sehingga penghubung antara wahyu (Allah) dengan manusia menjadi putus.

Baca Juga: Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam

Seiring berjalannya waktu, penafsiran mengenai ayat-ayat al-Qur’an terus berkembang dan perbedaan paham di antara umat Islam dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an semakin tidak bisa dihindarkan. Sehingga apa pun yang dilakukan oleh para mufassir itu merupakan bagian kecil dari usaha mereka untuk memahami al-Qur’an yang hasilnya tentu masih cukup jauh dari kesempurnaan, jika dibandingkan dengan maksud yang sesungguhnya dari firman Allah tersebut.

Menurut Quraish Shihab, terdapat banyak corak penafsiran yang dikenal, di antaranya adalah corak sastra bahasa, yang timbul akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka mengenai keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini (Shihab, 1992).

Ada pula corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu. Terdapat pula corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak, masih memercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.

Muncul juga corak fikih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fikih, terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang setiap golongan berusaha untuk membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan pada penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. Terdapat pula corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.

Belakangan lahir corak sastra budaya kemasyarakatan, akibat peran Muhammad Abduh. Berdasarkan uraian tersebut, tampak sekali bagaimana latar belakang keilmuan yang berbeda menghasilkan corak penafsiran yang berbeda pula. Sementara itu, di sisi lain ditemukan pula metode penafsiran al-Qur’an yang beragam, di mana secara garis besar bisa dibagi menjadi dua bagian, yakni corak ma’tsur (riwayat) dan corak penalaran.

Corak penalaran ini dibagi menjadi empat, di antaranya tahlily, ijmaly, muqarin, mawdu’i. Metode tahlily adalah suatu metode tafsir yang mufassir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana tercantum dalam mushaf. Dalam hubungan ini, mufassir memulai tafsirnya dari ayat ke ayat berikutnya atau dari surat ke surat berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau surat sesuai dengan yang termaktub dalam mushaf.

Di antara karya yang sering dijadikan contoh untuk model tafsir ini adalah Tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari dan Tafsir al-Kabir, karya al-Razi. Metode Ijmaly adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global. Dengan metode ini, seorang mufassir cukup dengan menjelaskan kandungan yang terkandung dalam ayat tersebut secara garis besarnya saja.

Baca Juga: Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penyampai Isyarah Langit dalam Pendirian Nahdlatul Ulama

Metode Muqarin adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya, yakni ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dalam dua kasus yang berbeda atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadis Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an.

Metode Mawdlu’i adalah metode tafsir yang dilakukan dengan cara tematik, di mana mufassir berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Makna Hidayah dan Aplikasinya dalam Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Memahami Tafsir Al-Qur’an Sebagai Sumber Ajaran Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel