-->

Skripturalis Versus Rasionalis

fikriamiruddin.com - Pada masa murid sahabat (tabi’in), terdapat tiga pembagian geografis yang besar dalam dunia Islam, yakni Irak, Hijaz dan Mesir. Irak sendiri memiliki dua madzhab, yakni Bashrah dan Kufah. Perkembangan pemikiran hukum di Kufah lebih dikenal daripada di Bashrah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan hukum, yakni Makkah dan Madinah. Namun, Madinah lebih menonjol daripada Makkah.
Skripturalis Versus Rasionalis

Madzhab Syiria kurang tercatat dalam teks-teks buku awal. Mesir tidak dimasukkan dalam peta madzhab-madzhab hukum awal, dikarenakan ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri. Dengan demikian, madzhab yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah madzhab Kufah dan madzhab Madinah.

Para pakar hukum Islam yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan penalaran rasional dalam skala yang cukup luas. Mereka memandang hukum Islam dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami teks al-Qur’an dan Sunnah untuk menemukan alasan, hikmah, dan tujuan-tujuan moral yang berada di balik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapat tanggapan kritis dari para pakar hukum Islam yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum sebagai ketentuan Allah Swt yang wajib diikuti.

Mereka lebih memilih memahami teks sumber hukum Islam secara tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dan as-Sunnah. Perkembangan lebih lanjut dari dua kecenderungan ini melahirkan dua aliran dalam hukum Islam masa awal, yakni ahl al-ra’y (kaum rasionalis) di Kufah dan ahl al-hadis (kaum skripturalis) di Madinah.

Berdasarkan kecenderungan ini, pemikiran hukum Islam pada masa murid sahabat (tabi’in) mengarah pada dua bentuk. Pertama, lebih banyak menggunakan riwayat dibanding dengan penalaran akal. Metode pemikiran demikian ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam Madinah dengan tokohnya Sa’id bin al-Musayyab. Cara ini juga lebih dikenal dengan sebutan “Aliran Madinah”.

Kedua, lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan penggunaan riwayat. Metode pemikiran ini berkembang di kalangan pakar hukum Islam Kufah dengan tokohnya Ibrahim an-Nakha’i. Cara ini lebih dikenal dengan sebutan “Aliran Kufah”.

Baca Juga: Pergulatan Hukum dan Politik di Masa Dinasti Umayyah

Ada dua kecenderungan penting pada kedua madzhab di atas. Pertama, lahir metode deduksi-logis dalam bentuk Qiyas (analogi). Namun, karena cara berfikir analogis ini terkesan kaku, maka ditemukan metode berfikir yang lebih longgar, sebagai pengembangan dari Qiyas, yaitu Istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan berpendapat dalam bentuk baru. Kedua, makin diperkokohnya konsep Sunnah yang cenderung mengklaim generasi terdahulu sebagai sumber dalam rangka mengokohkan suatu tradisi.

Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam al-Qur’an. Namun, sistem hukum mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan ruang. Kebebasan pendapat yang dinikmati pakar hukum Islam Kufah membuahkan perbedaan pendapat yang tidak sedikit.

Secara geografis dan psikologis, madzhab Kufah lebih terbuka terhadap sistem hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah yang lebih homogen. Kemudian, muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah mapan diterima oleh madzhab-madzhab pertama. Cirinya dogmatis, ketat, dan kaku. Mereka menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma al-Qur’an.

Namun, mereka sepakat dengan madzhab-madzhab pertama dalam memproyeksikan Sunnah ke belakang yang menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai sumber utama hukum al-Qur’an. Oposisi ini lama-kelamaan mendorong madzhab-madzhab pertama untuk memodifikasi sistem hukumnya. Banyak aturan ketat yang dianjurkan oposan akhirnya diterima secara umum. Yang penting adalah meningkatnya penerimaan Nabi Muhammad Saw sebagai sumber ajaran, dengan menyatakan ajaran tersebut dalam bentuk hadis.

Sejalan dengan perkembangan tulis-menulis di bidang hukum, terjadi perubahan pada tubuh madzhab-madzhab pertama. Ide keterkaitan tempat kemudian digantikan dengan keterkaitan pada tokoh penyusunan buku hukum pertama. Madzhab Madinah menjadi madzhab Malik, sedangkan madzhab Kufah menjadi madzhab Hanafi.

Selanjutnya, pertentangan antara madzhab-madzhab pertama yang mapan dan kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik antara penganut kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-ra’y) dan penganjur penggunaan hadis Nabi Muhammad Saw semata secara ketat (ahl al-hadis). Lebih jauh, perbedaan pendapat tidak hanya terjadi antara madzhab dengan madzhab yang lain, namun juga di dalam masing-masing madzhab.

Hal ini menjadikan tidak adanya keseragaman hukum yang merupakan ciri utama hukum Islam di masa itu. Kesimpulannya, meskipun pemikiran para murid sahabat mengikuti cara berpikir para sahabat di masing-masing kota, namun, dalam beberapa hal, mereka berbeda pendapat dengan gurunya, bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi Muhammad Saw.

Qadi Syuraih, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang suami-istri terhadap yang lain di peradilan; kesaksian orang tua terhadap anaknya; atau anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berbeda dengan ketetapan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadi Syuraih adalah adanya unsur tuhmah, yakni kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam kesaksiannya.

Demikian pula, murid sahabat menetapkan larangan perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid, karena pada masa itu banyak orang yang usil dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal, hal itu diperbolehkan pada masa Nabi Muhammad Saw, selama tidak memakai wewangian.

Baca Juga: Perkembangan Hukum Islam pada Masa Sahabat

Kebanyakan murid-murid sahabat itu orang-orang non-Arab (mawali). Dari sahabat, mereka mengumpulkan dua hal: hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwal as-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad dengan metode yang dilakukan oleh gurunya, para sahabat. Banyak di antara murid sahabat yang mencapai keilmuan yang tinggi, sehingga beberapa sahabat berguru kepadanya.

Qabus bin Abi Zhabiyan berkata: “Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi Alqamah. Ayahku menjawab, aku menemukan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Saw bertanya kepada Alqamah dan meminta fatwanya." Ka’ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Abdullah bin Amr. Alqamah dan Ka’ab adalah tabi’in, murid sahabat.

Ada tujuh orang dari golongan murid sahabat yang terkenal keilmuannya: (al-fuqaha’ al-sab’ah): Sa’id bin al-Musayyab (wafat 93 H), Urwah bin al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar bin Abid (wafat 94 H), al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (wafat 108 H), Abidullah bin Abdillah (wafat 99 H), Sulaiman bin Yasar (wafat 100 H), dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit. Di samping mereka, ada juga Atha bin Abi Rabah, Ibrahim al-Nakha’i, al-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, Salim mawla Ibn Umar dan Ikrimah mawla Ibn Abbas.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Skripturalis Versus Rasionalis"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel