-->

Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat

fikriamiruddin.com - Para sahabat mengambil sunnah dari Nabi Muhammad Saw dan meriwayatkannya. Mereka berbeda-beda dalam kemampuan pengambilan dan dalam menerima riwayatnya. Nabi Muhammad Saw ditanya mengenai suatu masalah. Kemudian Nabi menghukum dengan hukum tertentu, memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir saat itu dapat menyimpan peristiwa tersebut, sedangkan yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya.
Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat

Ketika Nabi Muhammad Saw wafat, para sahabat kemudian bertebaran di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil pelajaran dari sahabat yang ada di negeri mereka. Ibnu Hazm berkata, “Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah.”

Ini semua terjadi dalam hadits dan pada saat memerlukan informasi. Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. Ammar dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibnu Mas’ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub tidak tayamum, walaupun tidak menemukan air selama dua bulan.

Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap, namun Aisyah, Ibnu Umar, dan Abu Hurairah tidak mengetahuinya, walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak (cucu) beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibnu Mas’ud, tetapi tidak diketahui Abu Musa.

Setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan , kehati-hatian, atau pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Baca Juga: 9 Karakteristik Hukum Islam yang Harus Diketahui

Menarik untuk dicatat, bahwa para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan hadits. Abu Bakar hanya meriwayatkan 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah yakni meriwayatkan 5374 hadits. Karena itu, para tabi’in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.

Pada saat itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu Zahrah menulis “Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak, bahkan sedikit sekali, sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama, Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka.

Kedua, beliau mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha, bukan pula sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar, seperti Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibnu Mas’ud di Iraq, Abdullah bin Umar serta ayahnya al-Faroq, Zaid bin Tsabit, dan lain-lain di Madinah”.

Sahabat memiliki peran yang penting dalam perkembangan hukum Islam. Pertama, sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Muhammad Saw dan meninggal dunia sebagai Muslim. Dari mereka, sunnah Nabi Muhammad Saw diperkenalkan. Dari mereka juga, perbedaan pendapat diwariskan. Kedua, zaman sahabat adalah zaman berakhirnya penetapan Syari’at Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Inilah embrio studi hukum Islam yang pertama.

Baca Juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Madaniyyah

Ketiga, pemikiran hukum para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Keempat, ini yang terpenting, Ahlussunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik (al-shahabiy kulluhum ‘udul). Mereka tidak boleh dikritik, dipersalahkan, atau dinilai, sebagaimana perawi hadits yang lain.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pembentukan Sumber Hukum Islam Periode Makkiyah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Karakteristik Hukum Islam pada Masa Sahabat"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel