-->

Merawat dan Meneladani Nilai-Nilai Utama Gus Dur dalam Konteks Kekinian

fikriamiruddin.com - Dalam rekam jejak perjalanannya Presiden ke-empat RI KH. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur mungkin oleh sebagian kalangan dikenal karena dianggap kontroversial dan cenderung mempunyai pandangan berbeda dari kebanyakan orang. Salah satunya adalah komitmen Gus Dur dalam mengembangkan dialog antaragama di Indonesia. Bahkan hal itu banyak mengundang kritikan dari kalangan umat Islam sendiri, salah satunya Gus Dur pernah dikritik Yusril Ihza Mahendra pada sebuah diskusi di Masjid Sunda Kelapa, Mahendra mengungkapkan bahwa “Gus Dur tampaknya lebih dekat dengan, dan bersikap “lembut” terhadap kalangan non-Muslim ketimbang kalangan Islam sendiri”. Di sisi lain hingga saat ini Gus Dur merupakan panutan bagi sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia, hal tersebut dikarenakan Gus Dur adalah salah satu tokoh Muslim Tanah Air yang dengan tekun menggali kembali ajaran-ajaran Islam ramah dan mencoba mengaplikasikannya dalam konteks Islam dan keindonesiaan.
Nilai-nilai Utama Gus Dur

Gus Dur lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren yang tentu saja kental dengan pendidikan keislaman. Pada usia sekolah menengah Gus Dur pindah ke Ibu Kota dan di sinilah Gus Dur mulai akrab dengan bacaan-bacaan mengenai sosialisme dan marxisme. Selain itu Gus Dur juga sempat belajar di Timur Tengah dan Eropa, sehingga banyak bergaul dengan berbagai kalangan. Perjalanan hidup tersebutlah yang kemudian membentuk pola pikir dan karakter personal dalam dirinya. Karakter sebagai Muslim progresif-moderatlah yang paling menonjol dalam diri Gus Dur. Kemudian dalam perkembangannya Gus Dur dikenal sebagai pembela kaum minoritas, penggerak demokrasi, dan pendorong terwujudnya kehidupan damai nirkekerasan. Sebagai generasi penerus tentu kita harus merawat dan meneladaninya dengn cara menyebarkan, menanamkan, memupuk, dan menumbuhkannya di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sesuatu memang harus dirawat, seperti halnya tumbuhan yang ada di kebun atau taman tidak akan tumbuh besar dan subur apabila dibiarkan saja tanpa ada perawatan dan kepedulian. Begitu juga dengan nilai, sikap, dan perilaku, semuanya itu tidak akan tumbuh subur dan berkembang apabila tidak diteladani, disebarkan, dan dirawat melalui pendidikan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di dalam perkembangannya ada sembilan nilai yang menjadi nilai dasar perjuangan, bertindak, bersikap, dan berperilaku yang harus diteladani, dirawat, dan disebarkan oleh para generasi penerus agar nilai-nilai luhur ini bisa terus ditumbuhkembangkan dan tidak punah dikemudian hari dikarenakan minimnya perawatan dan pemupukan sejak dini. Nilai -nilai tersebut kemudian dikenal dengan “Sembilan Nilai Budi Utama”, adapun sembilan nilai yang dimaksud tersebut diantaranya pertama, Nilai Ketahuidan, yaitu sebuah nilai yang bersumber dari cahaya keimanan kepada Allah yang Maha Kuasa, satu-satunya Dzat yang Maha segala-galanya, yang mempunyai berbagai sebutan nama. Ketahuidan tidak hanya sekedar diucapkan dan dihafalkan saja, akan tetapi harus dibuktikan melalui perbuatan atau perilaku serta ditanamkan di dalam hati nurani. Maka dari itu Gus Dur mencontohkan bahwa keyakinan atau keimanan yang ditanamkan di dalam hati tidak akan mudah keropos oleh aktivitas dialog antariman. Hal ini tentu saja membendung sangkaan kalangan yang berpaham bahwa dialog antariman akan melemahkan iman dan menggerogoti keyakinan. Dalam konteks kekinian banyak sekali pihak-pihak yang berpaham bahwa ketahuidan itu hanya sebatas ucapan, hafalan, dan bahkan digunakan sebagai simbol-simbol dalam bendera ormas. Sebagai generasi penerus tentu kita harus merawat nilai ketahuidan ini dengan menanamkannya di dalam hati. Sehingga kemudian kita tetap bisa beraktivitas dalam banyak hal termasuk dialog antariman dan tetap menjadi orang-orang yang beriman dengan tradisi agama dan kepercayaan masing-masing.

Kedua, Nilai Kemanusiaan, yaitu sebuah nilai yang bersumber dari pandangan ketahuidan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Maka dari itu kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat keTuhanan. Gus Dur berpandangan bahwa memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Kutipan Gus Dur yang paling terkenal mengenai hal ini adalah “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Dalam konteks kekinian banyak sekali manusia yang kehilangan rasa kemanusiaannya dikarenakan mengkotak-kotakan manusia berdasarkan keyakinan, ras, etnis, gender, dan kelas sosial. Misalnya saja konflik etnis antara Suku Melayu berhadapan dengan Suku Madura di Sambas (1996-1997, 1999, dan 2001). Maka dari itu sebagai generasi penerus kita harus merawat dan memupuk nilai kemanusiaan ini melalui hal-hal sederhana misalnya saling menghargai dan menghormati martabat semua manusia terutama yang lemah tak berdaya. Selain itu banyak kesamaan yang dapat mengikat perbedaan agama, kelompok budaya, dan lain-lain, dikarenakan manusia memiliki kebutuhan dasar, aspirasi, dan keanggotaan yang saling bergantung. Oleh karena itu, solidaritas antarumat manusia ini harus kita rawat sebab sangat penting dimiliki dan diimplementasikan.

Ketiga, Nilai Keadilan, yaitu sebuah nilai yang bersumber dari pandangan bahwa kesadaran bermartabat bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Gus Dur mencontohkan hal ini dengan memperjuangkan kewarganegaraan kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia dalam posisi yang semestinya sebagaimana warga negara yang lain, tanpa terkecuali. Dalam konteks kekinian banyak sekali kelompok masyarakat yang ingin membesarkan dan mensejahterakan kelompok atau komunitasnya masing-masing, sehingga hal ini menyebabkan nilai keadilan ini akan luntur dengan sendirinya. Maka dari itu sebagai generasi penerus kita bisa memulainya dengan tindakan yang sederhana yaitu tidak memelihara tindak diskriminasi terhadap orang atau kelompok tertentu yang dianggap minoritas. Dengan memupuk nilai keadilan ini maka kita akan membantu mewujudkan persaudaraan, kerukunan, dan perdamaian.

Keempat, Nilai Kesetaraan, yaitu sebuah nilai yang bersumber dari pandangan bahwa derajat manusia itu sama di hadapan Tuhan Semesta Alam. Dalam hal ini Gus Dur mencontohkan ketika banyak kelompok mengecam dan menghujat, serta berusaha menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat dengan cara-cara kekerasan dan penistaan sebagaimana yang kerap dialami jemaah Ahmadiyah, Gus Dur selalu tampil sebagai pembelanya. Pembelaan terhadap jamaah Ahmadiyah tersebut beliau pegang erat hingga ajal menjemput. Gus Dur mengacu pada prinsip konstitusi yang memberikan kebebasan berpendapat kepada seluruh warga negara. Prinsip-prinsip tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks kekinian pelanggaran terhadap nilai kesetaraan ini dapat kita lihat dalam pembatasan kebebasan berekspresi bagi masyarakat penganut aliran kepercayaan, tak jarang para penganut aliran kepercayaan ini dipaksa untuk memeluk atau mengikuti salah satu agama yang diakui di Indonesia. Sebagai generasi penerus sudah selayaknya kita mengamalkan nilai kesetaraan ini dengan saling menghargai dan menghormati seluruh bangsa terlebih terhadap orang atau kelompok tertentu yang dianggap minoritas. Hal tersebut dikarenakan semua warna negara memiliki kedudukan dan hak yang setara, dan kesetaraan antarwarga negara tersebut akan mengantarkan kita pada hidup yang harmonis, sejahtera, serta penuh dengan kedamaian.

Kelima, Nilai Pembebasan, yaitu bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan, untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Gus Dur memberi contoh ketika membela Ulil Abshar Abdalla seorang pendiri Jaringan Islam Liberal yang memaparkan tulisan di surat kabar nasional tentang menyegarkan kembali ajaran Islam. tulisan tersebut memantik banyak kontroversi tajam dari kalangan umat Islam dan bahkan sebagian ulama menghalalkan darah Ulil dikarenakan tulisannya dianggap melecehkan agama Islam. Akan tetapi Gus Dur membela dengan mengungkapkan bahwa pembebasan termasuk dalam berfikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam, sehingga Gus Dus sangat mendukung seseorang untuk berfikir bebas. Sebagai generasi penerus kita bisa meneladaninya dengan membebaskan orang lain untuk mengekspresikan haknya, meskipun kita tidak setuju dengan pendapatnya. Seperti ungkapan seorang filsuf Voltaire “I might disagree with your opinion, but i am willing to give my life for your right to express it”.

Keenam, Nilai Kesederhanaan, yaitu bersumber dari jalan pikir substansial, sikap, dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan Gus Dur dapat dilihat dari cara berpakaian dan cara hidup sehari-hari, bahkan ketika sudah menjadi Presiden, sehingga kerap kali ketika Gus Dur mengikuti sebuah acara Gus Dur tidak dikawal dikarenakan beliau tidak mau merepotkan orang banyak. Sampai suatu ketika jabatan Presidennya telah berakhir Gus Dur dengan santainya meninggalkan istana dengan memakai kaos polos dan memakai celana pendek. Sebagai generasi penerus kita harus bisa beradaptasi dengan cara hidup yang sederhana ini termasuk cara makan, berpakaian, tidur, dan lain sebagainya. Sehingga dengan cara hidup yang sederhana ini dapat memilimalisir tindakan berlebihan, materialistis, dan koruptif.

Ketujuh, Nilai Persaudaraan, yaitu bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Dalam prakteknya Gus Dur telah mencontohkan bahwa dirinya merasa bersaudara dengan siapapun tanpa mempedulikan latar belakangnya. Dan Gus Dur tidak pernah merasa berbeda dengan penganut agama lain, bagi Gus Dur perbedaan keyakinan seyogianya tidak membatasi atau melarang persaudaraan antara umat Islam dengan umat agama-agama lain. Terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Sebagai generasi penerus kita harus terbiasa dengan menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, selain itu juga harus bersedia menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain. Dengan begitu maka persaudaraan dan kerukunan antarumat beragama akan terjalin harmonis.

Kedelapan, Nilai Kesatriaan, yaitu nilai dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai ke tujuan yang ingin diraih. Dalam hal ini Gus Dur meneladankannya dengan mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya. Hal tersebut dapat kita lihat ketika Gus Dur menjadi presiden dan mengusulkan TAP No.XXV/MPRS/1966 yang melarang penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Dalam hal ini, Gus Dur mengajak masyarakat untuk membedakan antara komunisme sebagai ideologi (pengetahuan) dan komunisme sebagai partai politik. Sebagai generasi penerus, nilai tersebut dapat kita warisi dengan hal sederhana seperti tidak melakukan diskriminasi dikarenakan berbeda ideologi atau pemikiran. Dengan keberanian memperjuangkan kebebasan berfikir inilah kemudian menjadi dasar setiap individu mengembangkan gagasan-gagasannya serta kemudian mengkomunikasikannya kepada sesama warga bangsa.

Kesembilan, Nilai Kearifan Lokal, yaitu bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Gus Dur menkontruksikan nilai ini melalui gagasan “Pribumisasi Islam”. Gagasan tersebut hendak menggambarkan Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya. Dalam hal ini sebagai generasi penerus kita bisa meneladani dan merawat nilai ini dengan menyeimbangkan antara pendidikan agama dan pendidikan multikulturalisme, bukan malah mempertentangkannya satu sama lain. Dengan demikian maka kita akan bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, selain itu juga budaya-budaya kita bisa tetap dilestarikan sesuai dengan tuntutan peradaban.

0 Response to "Merawat dan Meneladani Nilai-Nilai Utama Gus Dur dalam Konteks Kekinian"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel