-->

Ruang dan Waktu dalam Ritual Islam

fikriamiruddin.com - Di dalam beberapa praktik ritual dalam Islam, yakni empat dari lima rukun, memiliki rujukan komunal dan dibuat untuk mengekspresikan dan menyalurkan kekuatan rukun pertama, syahadah, yang secara implisit mengandung gambaran iman muslim yang sempurna, dengan mana menyatakan keyakinan pada Tuhan, Malaikat, Nabi, dan Kitab Suci, Hari Akhir, dan Takdir. Dua dari lima rukun itu, ada yang memiliki rujukan tempat yang kuat, yakni Shalat dan Haji yang dipusatkan pada Ka’bah di Mekkah.

Islam

Dan tiga rukun ada yang mempunyai rujukan waktu, yakni shalat, puasa, dan haji. Jadi, menurut Frederick, dari beberapa rukun itu, dalam Islam terdapat serangkaian ritual yang berkaitan dengan ruang dan waktu suci. Ruang dan waktu dalam ritual Islam adalah kategori universal. Maka perlu adanya perhatian pada dimensi dan orientasi ruang dan waktu dalam Islam, untuk tujuan pemahaman yang lebih baik mengenai simbolisme Islam, sebagaimana dipahami dari dalam.

Gagasan mengenai ruang dan waktu dalam ritual Islam inilah yang kurang banyak digali oleh para peneliti. Theodore Gaster dalam Thespis; Ritual, Myth and Drama in the Ancient Near East menjelaskan sebuah fenomena ini, yang ia sebut dengan Topocosme, suatu hubungan antar individu yang kompleks dengan kosmologi yang menyeluruh. Menurut Theodore, ritual dibagi menjadi dua kategori, ritus kenosis (pengosongan) dan ritus plerosis (pengisian).

Yang pertama menggambarkan dan menyimbolkan pudarnya kehidupan dan vitalitas pada akhir setiap kesempatan. Yang kedua menggambarkan dan menyimbolkan revitalisasi yang terjadi pada permulaan kesempatan baru. Yang masuk dalam kategori pertama ini, menurut Frederick adalah peringatan 10 Muharram dalam tradisi Syi’ah, dengan pengunduran diri dan ta’ziyah. Puasa Ramadhan juga termasuk dalam kategori ini.

Sementara untuk kategori plerotik adalah menyembelih kurban. Dalam kenosis dan plerosis, rukun-rukun ritusnya harus diperhatikan. Menurut Frederick hal ini berbeda dengan Islam populer yang lebih ditandai oleh ciri-ciri leluhur tertentu. Dalam Islam juga dikenal adanya pemisahan, yang tidak sekedar didasarkan ruang dan waktu, tetapi pada kesucian dan keharaman.

Yaitu dikenalnya barang halal dan haram. Yang haram juga dibagi menjadi dua, antara haram secara hakiki, dan haram karena sebab lain. Istilah halal dan haram adalah istilah hukum, dan apabila diperhatikan, tidak terlihat perbedaan tajam antara keduanya, sebab terdapat perubahan sedikit demi sedikit dari satu ke yang lain, seperti jaiz dan mubah, fardlu dan wajib.

Baca Juga: Fungsi Ritual dalam Islam

Terdapat hal yang cukup memiliki makna ritual bagi muslim dan merupakan salah satu indikator terpenting dalam prinsip bipolaritas dalam Islam, yakni menjauhi polusi. Sebagai contoh, al-Qur’an banyak menyebutkan hal-hal yang berlawanan seperti ashab al-yamin (kanan), sebagai lambang kesucian dan ashab al-yasar (kiri), sebagai lambang polusi. Dalam artian, kebahagiaan dan kesejahteraan berasal dari kanan, sementara efek-efek yang buruk dari kiri.

Maka orang yang masuk masjid dengan kaki kanan, ketika keluar dengan kaki kiri. Tangan kanan untuk makan dan menyentuh barang suci lainnya, sementara tangan kiri untuk tugas-tugas kotor. Di sini dapat dinyatakan bahwa dalam praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh umat Islam masih terdapat unsur mitos di dalamnya. Maka Frederick menyatakan bahwa tradisi ritual dalam Islam tidak berbeda dengan ritual-ritual agama yang lain, bahkan memiliki kesamaan 100% dengan ajaran Yahudi.

Frederick menyebutkan bahwa praktik ritual, bagi partisipan adalah upaya menghidupkan kembali kebenaran terdalam. Dengan mengutip ungkapan Santayana, Frederick mengungkapkan bahwa setiap agama yang hidup dan sehat mempunyai keistimewaan khas, kekuatannya terdapat dalam pesannya yang khusus dan istimewa, dan dalam bias di mana wahyu memberikan kehidupan.

Pandangannya yang terbuka dan misterinya yang jelas merupakan dunia lain bagi kehidupan, dan dunia lain untuk kehidupan itulah apa yang kita maksudkan dengan memiliki agama. Di sini frederick menyimpulkan bahwa memiliki agama bukan dimaksudkan sebagai memahami agama, dan memahami agama tidak sama dengan mempercayainya. Memeluk agama, menemukan dunia lain untuk hidup pada dirinya sendiri, bukanlah pekerjaan ilmiah, sebab disiplin agama bukan untuk hidup (memiliki agama), namun merupakan produk yang sangat beragam dari dunia yang sangat luas.

Memiliki adalah salah satu bias dari rasa ingin tahu mengenai masyarakat dan pandangan dunia orang lain. Maka Frederick mengungkapkan bahwa menangkap esensi tidak menghendaki sesuatu yang drastis seperti konversi, namun ia menuntut simpati dan respek, sekaligus keterbukaan pada sumber-sumber, manusia, teks, yang bermakna bagi penganutnya. Dalam artian, seseorang tidak perlu masuk Islam hanya untuk tujuan otentisitas ilmiah.

Terkait dengan hal ini, Frederick mengutip pendapat Fazlur Rahman yang menjelaskan bahwa menjadi muslim tidak dengan sendirinya menjamin eksplikasi dan interpretasi seseorang mengenai Islam akan menjadi jelas dan seimbang. Melihat diri sendiri, tradisi sendiri dari dalam, sama sulitnya dengan upaya memahami dari luar. Kajian ilmiah terhadap tradisi agama bagi orang yang bukan penganutnya merupakan proyek terbatas.

Baca Juga: Studi Ritual Islam

Sejarah agama bukan teologi, bukan pula humanisme baru, ia sangat sederhana. Kajian ritual Islam bukan perkara misteri. Mengamati apa yang terjadi dalam berbagai aktivitas ritual dalam Islam, baik yang resmi maupun yang populer sangat sulit. Frederick mengusulkan untuk menganggap Islam sebagai realitas yang dapat dipahami. Maka Frederick menyatakan perlunya menguji teks dan konteks, sebab dari divergensi antara keduanya akan mendorong para sarjana untuk membuat keputusan pasti mengenai interpretasi yang sangat beragam.

Kajian mengenai ritual Islam dari sudut teks dan konteks, menurut Frederick, telah dilakukan oleh Snouck Hurgronje, yang membahas mengenai haji, sebelum ia menetap di Makkah. Kajiannya, menurut Frederick, merupakan contoh karya orientalis yang secara tradisional didasarkan pada teks dan menggambarkannya dalam latar akademik. Maka kajian Hurgronje mengenai haji yang dilakukannya melalui rihlah, menurut Frederick membuatnya mungkin untuk menyediakan penjelasan kontekstual mengenai Mekkah dan penduduknya, sebuah Islam yang diamati pada masa awal.

Haji adalah praktik ritual yang dilaksanakan pada saat yang suci dan ditempat yang suci pula. Maka kerangka teori yang dimunculkan oleh Frederick dan Roff dalam kajian mengenai praktik ritual dalam Islam, adalah teori liminalitasnya Victor Turner yang diungkap dalam bukunya The Ritual Process, mengenai pelaksanaan haji. Teori liminalitas tadi memiliki potensi untuk mengkombinasikan ruang dan waktu, yang merupakan rujukan terpenting dari praktik ritual dalam Islam, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Menurut Victor, Sholat juga demikian, sebab harus menghadap kiblat dan dalam waktu tertentu. Kajian mengenai ritual Islam yang tidak kalah penting, menurut Frederick dan dielaborasi oleh Roff, adalah model Arnold van Gennep, dalam karyanya The Rites of Passage, yang membahas ritus-ritus peralihan, dengan fase-fase pemisahan (sparation), transisi (transition), dan bergabung dalam status baru (incorporation in a new status).

Alasannya adalah karena Islam mengenal perubahan status yang diritualkan, dan ini penting untuk dijelaskan oleh para sarjana, seperti aqiqah, khitan, perkawinan, pubertas laki-laki. Yakni, ritus-ritus itu melengkapi kebutuhan individu dan biasanya secara eksplisit menyajikan ikatan-ikatan sosial secara keseluruhan sekalipun bisa saja hal itu terjadi secara implisit.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Model Studi Hukum Islam Kontemporer. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Ruang dan Waktu dalam Ritual Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel