-->

Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi

fikriamiruddin.com - Apabila diteliti lebih cermat secara global, dalam kaitannya dengan sikap yang dimunculkan untuk menghadapi modernisasi, di kalangan umat Islam terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada, yakni tradisionalis-konservatif, radikal-puritan (fundamentalis), reformis-modernis, dan sekuler-liberal.

Islam dan Modernisasi

Kelompok tradisionalis-konservatif merupakan mereka yang menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktekkan di kawasan-kawasan tertentu. Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang dipraktekkan oleh beberapa ulama salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah (Shepard, 1987).

Kaum radikal-puritan merupakan kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer, namun mereka sangat keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam. Kelompok ini melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan para pemurnian doktrin (purifikasi) (Bannerman, 1988).

Kelompok tersebut juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis, meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan agama sebagai doktrin politik dalam kehidupan bermasyarakat (Shepard, 1987).

Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, adalah tokoh intelektual pemikiran fundamentalis. Sebuah gerakan pemikiran bercorak radikal-puritan ini pernah muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin Abd al-Wahhab (1703-1787), seorang teolog yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Taymiyyah dalam memahami al-Qur’an secara literal.

Gerakan Wahhabiyyah adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni, memberantas segala bentuk praktek yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam, mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-intelektualisme, terutama filsafat (Rahman, 1979).

Baca Juga: Memahami Modernisasi dalam Perspektif Islam

Gerakan lain yang bercorak semacam ini adalah jama’at Islam di Pakistan dengan tokohnya Abu A’la al-Maududi (1903-1979), Ikhwanul Muslimin di Mesir, dengan tokohnya Hassan al-Banna dan Sayyed Qutb (1906-1966), dan Muhammadiyyah di Indonesia, dengan tokohnya Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923), meskipun pada akhirnya, kelompok yang disebut terakhir ini cenderung menjadi kelompok yang reformis-modernis.

Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah lantaran kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden (Watt, 1985). Wahhabiyyah, muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd (Syafaq, 2001).

Muhammad bin Abd al-Wahhab. Tokohnya muncul pada abad sebelum modern (pre-modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Dari itu, secara kultural Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif. Dalam penelitian yang diadakan di Mesir menyebutkan bahwa kaum militan fundamentalis adalah para penduduk asli dan tinggal di wilayah urban hanya dalam beberapa waktu.

Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir, adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu, dan tidak mampu menghadapi realitas yang di sekitarnya. Muhammadiyyah didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya, yakni Kiai Ahmad Dahlan (Arbiyah, 1993).

Kelompok reformis-modernis merupakan kelompok yang memandang Islam sangat relevan untuk semua lapangan kehidupan, publik, dan pribadi. Bahkan mereka menyatakan bahwa pandangan-pandangan dan praktek tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah (purifikasi Agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer (Shepard, 1987).

Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal (Brown, 1996).  Atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman (Hasan, 1976). Kelompok modernis ingin menjadikan agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas.

Menurutnya, agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran agama sesuai dengan kebutuhan modern (Rippin, 1993). Mereka menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, namun harus diubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.

Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan berkelanjutan, sehingga umat Islam bisa mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern (Esposito, 2002). Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazilah, karena pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola berpikirnya kelompok ini.

Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, dan kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya (Esposito, 2002). Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya seperti Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), M.Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India (Rippin, 1993).

Yang membedakan kelompok tersebut dengan gerakan revivalisme adalah bahwa yang pertama lebih banyak terjun di dunia intelektual, sementara yang ke dua terjun di dunia politik, doktrin (Tibi, 1991). Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik.

Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme (Shepard, 1987). Meskipun komunitas Islam di dunia ini sangat beragam, di sana hanya ada satu Islam, yang beragam hanya bentuk interpretasi dari masing-masing pemeluknya terhadap ajaran Islam itu. Sifat tradisional dari sebuah agama adalah bahwa ia dimanifestasikan dalam kecenderungannya kepada Yang Maha Kuasa, yang didasarkan pada kesatuan tentang Yang Maha Suci, dan memandang Yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah dari masa lampau hingga sekarang.

Sesungguhnya yang menjadi perdebatan di antara beberapa kelompok di atas bukanlah tentang pokok-pokok ajaran agama itu sendiri (great tradition), namun bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial (little tradition) (Rippin, 1993). Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, bahwa kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan politik.

Begitu juga dengan yang berkembang pada masa berikutnya, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial dan budaya bangsa yang sedang berkembang. Terdapat alasan lain selain alasan di atas yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran di atas, yakni pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models for reality).

Model yang pertama mengisyaratkan bahwa agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas (Tibi, 1991). Dalam kajian modern mengenai sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun berdasarkan pada agama yang sama, para pemeluk agama ini memiliki pemahaman yang berbeda.

Seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas (Bull, 1997). Seperti yang telah dinyatakan di atas, bahwa Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari struktur sosial, yakni perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial, seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Perubahan dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi di dalam seluruh masyarakat, termasuk masyarakat kuno dan primitif.

Baca Juga: Dampak Modernisasi dan Perubahan Sosial

Dalam artian, perubahan adalah normal. Teori adalah seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2003). Dalam melakukan perubahan, masyarakat bisa melakukannya dengan tetap berpegang pada tradisi sebagai pijakan, atau dengan mengikuti perkembangan kehidupan modern namun tidak melebur ke dalamnya, atau dengan melebur sekalian dengan melenyapkan tradisinya.

Dalam teori dikotomi antara masyarakat tradisional dan modern, proses modernisasi tanpa terelakkan akan melenyapkan setidaknya menghancurkan tradisi. Namun, tidak demikian yang sebenarnya, bahwa modernisasi tidak menuntut ditinggalkannya tradisi di setiap langkah menuju masyarakat modern. Lantaran sesungguhnya tradisi itu tidak statis. Tradisi akan berubah, terlepas dari proses modernisasi, lantaran perubahan itu adalah normal.

Segala sesuatu akan mengalami perubahan. Apabila tradisi bisa berubah tanpa modernisasi, berarti modernisasi juga bisa terjadi tanpa perubahan mendasar dalam tradisi. Dalam studi di Meksiko, terdapat kesimpulan bahwa industrialisasi di sana bisa dibangun tanpa kehilangan nilai-nilai tradisi. Di mana hal itu terjadi di kota industri Sludet yang dibangun pada tahun 1950-an. Dalam penelitian itu ditunjukkan kecilnya perbedaan sikap dan nilai antara buruh pabrik dan petani di kawasan pedesaan yang mengelilingi kota industri.

Penelitian serupa juga terjadi pada masyarakat Neyl, desa pertanian dekat Cologne sebuah kota industri di Jerman Barat. Di mana mereka mempertahankan tradisi meskipun di dalam masyarakat itu bergerak dari pra-industri ke era industri. Petani desa Neyl tidak merasa tertarik dengan cara hidup kota seperti yang terjadi di Kota Cologne, karena itu mereka menolak meleburkan diri dengan cara hidup kota.

Bahkan dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Nigeria Utara, ditemukan bahwa modernisasi justru membantu mempertahankan pola tradisional. Hal itu terbukti ketika terjadi pemilihan anggota parlemen Nigeria pada tahun 1956-1961, latar belakang sosial calon yang terpilih adalah dari kawasan pedesaan tradisional.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Makna Modernisasi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel