-->

Aliran Pemikiran Primitif dan Modern dalam Islam

fikriamiruddin.com - Marilyn R. Waldman mengungkapkan bahwa pemahaman manusia mengenai tradisi agama, baik milik sendiri maupun milik orang lain, itu terbatas. Bisa jadi pemahaman orang luar (outsider) lebih baik dari orang dalam (insider). Sejarah agama-agama bisa diajarkan melalui dua cara, yakni teologis-normatif dan humanis-antropologis. Teologis oleh insider, bersifat theistic-subjectivism.

Pemikiran Islam Modern

Sementara humanis oleh outsider, bersifat scientific-objectivism. Kedua bentuk pendekatan ini disebut sebagai mode of thought. Antara kedua pendekatan di atas terjadi ketegangan atau gap yang sangat kuat. Antara budaya primitif dan modern. Maka untuk menyikapi gap yang terjadi antara dua tradisi di atas, Peter Connoly mengungkapkan perlunya orang dalam (insider) untuk belajar bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang lain (outsider).

Sebaliknya, orang luar (outsider) juga perlu memiliki pandangan dunia nonreligius, memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Harus terjadi timbal balik antara kedua pendekatan di atas (teologis dan humanis). Marlyn R. Waldman dalam kajiannya, berpengaruh oleh Jack Goody dalam karyanya, the domestication of the savage mind.

Temuan Goody merupakan reaksi atas berbagai hal yang disebut pemikiran “chotomous” mengenai sejarah kebudayaan yang mengijinkan studi agama; penjelasan dikotomi mengenai sejarah pemikiran merupakan jawaban atas persoalan seperti “primitif/modern”, “tradisi besar/tradisi kecil”, “budaya agung/budaya rendah”, atau trikotomi mengenai “primitive/tradisionalmodern.”

Budaya primitif merupakan illeterate society, sementara budaya modern merupakan literate society. Namun, teori ini mendapatkan kritik, sebab ditemukan bahwa dalam budaya modern masih terdapat budaya primitif. Dalam artian, budaya modern tidak berarti kemajuan dari budaya primitif. Sebagai contoh, agresi Amerika ke Irak, menunjukkan budaya primitif dalam masyarakat modern, yakni mental agresi.

Apabila diteliti lebih cermat, secara global di kalangan umat Islam terdapat empat orientasi pemikiran ideologis yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang ada, yakni tradisionalis-konservatif, reformis-modernis, radikal-puritan, dan sekuler-liberal. Kelompok tradisionalis-konservatif merupakan mereka yang menentang kecenderungan pembaratan (westernizing) yang terjadi pada beberapa abad yang lalu atas nama Islam, seperti yang dipahami dan dipraktikkan di kawasan-kawasan tertentu.

Baca Juga: Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan

Kelompok ini juga ingin mempertahankan beberapa tradisi ritual yang dipraktikkan oleh beberapa ulama salaf. Para pendukung orientasi ideologis semacam ini bisa ditemukan khususnya di kalangan penduduk desa dan kelas bawah (Shepard, 1987). Kelompok reformis-modernis merupakan kelompok yang memandang Islam cukup relevan untuk semua lapangan kehidupan, pribadi, dan publik.

Bahkan, mereka mengungkapkan bahwa pandangan-pandangan dan praktik tradisional harus direformasi berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah (purifikasi agama), dalam konteks situasi dan kebutuhan kontemporer. Pemikiran Islam modern ini merupakan pemikiran yang memiliki kecenderungan untuk mengambil beberapa pemikiran Barat yang modern, rasional bahkan liberal, atau menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Kelompok modernis ingin menjadikan agama sebagai landasan dalam menghadapi modernitas. Menurutnya, agama tidak bertentangan dengan perkembangan zaman modern, sehingga mereka ingin menginterpretasikan ajaran-ajaran agama sesuai dengan kebutuhan modern. Mereka mengungkapkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Menurut mereka, hukum Islam tidak baku, namun harus diubah sesuai dengan situasi sosial yang sedang berkembang.

Kelompok ini menganjurkan penafsiran ulang atas Islam secara fleksibel dan berkelanjutan, sehingga umat Islam bisa mengembangkan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan kondisi modern (Esposito, 2002). Kelompok ini ada yang menyebutnya sebagai neo-mu’tazila, sebab pemikiran Mu’tazilah yang rasional memiliki peran dalam membentuk pola berpikirnya kelompok ini.

Kecenderungan modernisasi pemikiran Islam muncul pada dekade akhir abad ke-19 sebagai tanggapan atas pembaratan rezim dan pemerintahan Eropa. Kultur elit muslim saat itu terbagi menjadi kelompok yang terbaratkan dan kelompok tradisional, serta kelompok modernis mencoba untuk mempersatukannya (Esposito, 2002). Kelompok ini berkembang pada abad ke-19 dengan beberapa tokohnya sebagai berikut.

Jamaluddin al-Afghani (1865-1935), M. Abduh (1849-1905), Rashid Rida (1865-1935) dari Mesir, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), M. Iqbal (1876-1938) dari India. Sedangkan kaum radikal-puritan merupakan kelompok yang juga menafsirkan Islam berdasarkan sumber-sumber asli yang otoritatif, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kontemporer, namun mereka cukup keberatan dengan tendensi modernis untuk membaratkan Islam.

Kelompok ini melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin (purifikasi) (Bannerman, 1988). Kelompok ini juga bisa disebut sebagai kelompok fundamentalis, meskipun ada yang menolak penyebutan tersebut, dengan alasan bahwa kelompok fundamentalis lebih keras dalam menolak pembaratan dan lebih bersikap konfrontasional dibandingkan kelompok di atas, lebih-lebih kelompok fundamentalis lebih cenderung untuk menjadikan agama sebagai doktrin dalam kehidupan bermasyarakat.

Bagi kelompok radikal-puritan ini, syariah memang fleksibel dan bisa berkembang untuk memenuhi kebutuhan yang terus berubah, namun penafsiran dan perkembangan harus dilakukan melalui cara Islam yang murni. Maka mereka mengkritik gagasan-gagasan dan praktik-praktik kaum tradisional, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bid’ah. Ibn Taymiyyah, tokoh yang meninggal pada tahun 1328, merupakan tokoh intelektual pemikiran fundamentalis.

Sebuah gerakan pemikiran bercorak fundamentalis pernah muncul pada abad ke-18, di Najd (sekarang Saudi Arabia), bernama Wahhabiyyah, di bawah pimpinan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1787), seorang teolog, yang mengikuti gaya Ahmad bin Hanbal dan Ibn Taymiyyah dalam memahami al-Qur’an secara literal. Gerakan Wahhabiyyah ini adalah gerakan yang muncul pada saat terjadinya degradasi moral masyarakat Islam, mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam murni.

Memberantas segala bentuk praktik yang dianggap menyimpang dari ajaran murni Islam, mengajak untuk mereformasi pandangan-pandangan keagamaan tradisional yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Mereka menyatakan anti-intelektualisme, terutama filsafat. Tokoh lain dari gerakan fundamentalis adalah Abu A’la al-Maududi di Pakistan (1903)-(1979), dan Sayyed Qutb (1906-1966) di Mesir, dan KH Ahmad Dahlan (1868-1923) di Indonesia.

Menurut penelitian, munculnya beberapa kelompok radikal adalah karena kehidupannya yang jauh dari kehidupan modern. Sebagai contoh, penganut Khawarij, adalah mereka yang hidup di gurun, nomaden. Wahhabiyyah muncul pada masa sebelum masuknya modernisasi di dunia Arab, bahkan ia disebut sebagai kelompok yang muncul di suatu wilayah yang tidak pernah disentuh oleh dunia luar, Najd.

Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab, tokohnya muncul pada abad sebelum modern (pra-modern), sebelum adanya pengaruh industrialisasi dari Barat. Maka dari itu, secara kultural, Wahhabiyyah muncul sebagai gerakan yang merepresentasikan bentuk primitif. Ikhwanul Muslimin, kelompok fundamentalis di Mesir adalah kaum rural dan menjadi kaum urban hanya dalam beberapa waktu dan tidak mampu menghadapi realitas yang di sekitarnya.

Muhammadiyah, didirikan oleh tokoh yang hidupnya tidak pernah mendapat pendidikan Barat dan tidak pernah melihat kebudayaan Barat dalam arti yang sebenarnya, KH. Ahmad Dahlan. Kelompok sekuler-liberal adalah mereka yang memandang bahwa jalan untuk mereformasi masyarakat adalah dengan menyerahkan atau membatasi segala urusan agama dan ritual kepada personal dan menegaskan kekuatan logika dalam kehidupan publik. Kelompok ini dipengaruhi oleh ideologi Barat terutama paham nasionalisme.

Baca Juga: Masyarakat Islam dan Tantangan Modernisasi

Dalam sebuah penelitian ditemukan, bahwa untuk menjadi seorang muslim Indonesia tanpa disertai hubungan organisasi tertentu “kurang begitu dinikmati.” Dalam kesadaran intern umat Islam, label Islam agaknya masih dilihat terlalu umum, sehingga belum memberi makna sosiologis dalam kehidupan bermasyarakat secara luas, dan kenyataan sosiologis itulah yang terjadi di Indonesia, sehingga wajar sekali, apabila pengelompokkan dalam masyarakat Islam di Indonesia terus berkembang, dan semakin bertambah jumlahnya hingga puluhan, bahkan mungkin ratusan.

Perdebatan yang terjadi di antara mereka bukanlah mengenai pokok-pokok ajaran agama itu sendiri, melainkan bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan sosial. Sebagaimana yang terjadi pada kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad klasik, bahwa kemunculan gagasan mengenai pemikiran ideologis itu tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial dan politik.

Begitu juga dengan pemikiran yang berkembang di Indonesia, tidak terlepas dari beberapa kepentingan dan kondisi sosial serta budaya bangsa Indonesia yang plural. Di samping beberapa alasan tersebut, terdapat alasan lain yang menjadi kemelut di antara orientasi ideologis dari beberapa pemikiran tersebut, yakni pemahaman yang berbeda di antara mereka dalam memahami Islam, apakah sebagai model dari sebuah realitas (model of reality) ataukah model untuk sebuah realitas (models of reality).

Pemikiran yang pertama mengisyaratkan bahwa agama adalah representasi dari sebuah realitas, sementara pemikiran yang kedua mengisyaratkan bahwa agama merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Dalam kajian modern mengenai sejarah umat Islam ditemukan bahwa, meskipun berdasarkan pada agama yang sama.

Para pemeluk agama ini memiliki pemahaman yang berbeda, dan seringkali perbedaan itu memicu persaingan dan konflik, di dalam menghadapi tantangan modernitas. Seiring dengan perkembangan Islam dan munculnya ijtihad-ijtihad baru, paham-paham tersebut bukan sekedar pengakuan legalitas politik, melainkan juga berakses pada paham keagamaan.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Modernisasi dalam Perspektif Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Aliran Pemikiran Primitif dan Modern dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel