-->

Syari’ah Sebagai Pokok Ajaran Agama Islam

fikriamiruddin.com - Syari’ah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Maka dalam membahas syari’ah diawali dengan membahas tasyri’. Tasyri’ adalah menciptakan dalam menetapkan syari’ah. Dalam kajian hukum Islam, tasyri’ sering didefinisikan sebagai penetapan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat manusia lainnya (Faruq, 1982).

Syari'ah

Sesuai dengan objek penerapannya, maka para ulama membagi tasyri’ ke dalam dua bentuk, yakni tasyri’ samawi dan tasyri’ wadl’i. Tasyri’ samawi adalah penetapan hukum yang dilakukan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah lantaran tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya selain Allah sendiri.

Sedangkan tasyri’ wadl’i adalah penentuan hukum yang dilakukan para mujtahid. Ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian mereka ini tidak memiliki sifat mutlak, namun bisa berubah-ubah lantaran merupakan hasil kajian nalar para ulama yang tidak lepas dari salah karena dipengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka serta kondisi lingkungan dan dinamika sosial budaya masyarakat di sekitarnya.

Sementara itu, kata syari’ah bermakna jalan tempat keluarnya air untuk minum (murid al-ma’). Dalam kajian hukum Islam, syari’ah diartikan sebagai segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah kepada seluruh manusia, agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Aspek hukum yang masuk dalam kategori syari’ah itu mencakup aturan mengenai hubungan antara manusia dengan Allah, yang disebut dengan ‘ubudiyah, dan mencakup aturan mengenai hubungan antara manusia dengan sesama manusia, yang disebut dengan mu’amalah/ijtima’iyah.

Hukum Islam dahulu identik dengan syari’ah, baru akhir abad ke-8/awal ke-9, fikih muncul, dengan arti memahami. Syari’at sendiri merupakan hukum Islam dalam kualitas Ilahiyah. Sedangkan fikih merupakan aktivitas keilmuan manusia. Syari’at adalah wahyu, dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah. Fikih adalah menemukan dan mengungkap pengertian syari’ah. Perkataan dan perbuatan Nabi yang merupakan perwujudan dari perintah Allah dilestarikan dan dipelihara oleh para sahabat dan tabi’in dalam bentuk Hadis.

Hadis disampaikan dari generasi ke generasi inilah yang mula-mula mengilhami perbincangan dan kemudian pemikiran hukum yang sistematik (fikih). Sekitar abad ke-8, sejumlah pakar memberikan sumbangan luar biasa kepada disiplin ilmu ini sehingga merangsang kemunculan berbagai tradisi/mazhab. Pakar-pakar Sunni adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.

Baca Juga: Akidah Sebagai Pokok Ajaran Agama Islam

Keempat mazhab di atas saling mengakui satu sama lain, juga mengakui bersyarat kepada mazhab al-Zahiri (literalis), dengan pendukungnya Ibn Hazm. Syiah 12 mengembangkan tradisi hukum berkelanjutan dan kreatif, mengimbangi tradisi-tradisi Sunni. Kelompok 12 memandang Imam ke-6 (Ja’far al-Sadiq) sebagai tokoh pendirinya. Prinsip sinkronik, yang mensyaratkan agar suatu rumusan hukum setiap saat harus bisa diverifikasi dengan merujuk kepada wahyu.

Prinsip diakronik, yang mengharuskan pada penganut tradisi mazhab untuk menjaga kesetiaan tradisi tersebut dengan menghargai capaian penafsiran para ulama mazhab terdahulu. Para faqih, sebagai individu, tidak berhadapan sendirian dan langsung dengan wahyu, namun melalui tradisi (untuk menuju makna wahyu). Prinsip ini menjadi sumber kekuatan dan keluwesan sebab tradisi memelihara kumpulan pengalaman komunitas dan memberinya bentuk yang kuat, meskipun kadangkala dikecam.

Dengan demikian, wahyu bukan suatu kejadian, namun proses. Pelaku kreatifnya bukan Nabi, namun komunitas dan letak geografisnya bukan Hijaz (Saudi), namun kata-kata muslim di Afrika Utara, Suriah, dan Irak. Schacht berpendapat bahwa tradisi-tradisi ini bermula sebagai tradisi-tradisi lokal di Madinah, Basrah, Kufah dan kota-kota lain yang mencerminkan praktik lokal dengan perbedaannya masing-masing.

Sekalipun tradisi itu berasal dari Nabi namun Hadis berkembang secara berangsur-angsur sebagai akibat dari perdebatan antar berbagai komunitas. Pencipta sistem penafsiran klasik yang sesungguhnya adalah Syafi’i. Kajian ushul fikih dimulai dengan ilmu linguistik dan retorika, umum dan khusus, perintah dan larangan, samar dan jelas, kebenaran dan kiasan.

Berikutnya ijtihad merupakan usaha keras untuk menemukan berdasarkan wahyu yang ditafsirkan sesuai dengan kaidahnya. Hasilnya menjadi beragam, dengan menerima kebenaran, maka resikonya adalah memunculkan perpecahan. Di pusat-pusat utama dunia Islam, para ulama dan faqih mengembangkan doktrin-doktrin mereka dengan menggabungkan praktik setempat, al-Qur’an, dan pengetahuan mereka mengenai tradisi Nabi dengan menggunakan berbagai tingkat penalaran analogis dalam menafsirkan dan menerapkan teks-teks suci.

Baca Juga: Ijtihad Sebagai Sarana Memahami Sumber Ajaran Islam

Menurut Imam Syafi’i, setiap ibu kota negeri kaum muslim adalah pusat pengajaran yang penduduknya mengikuti pendapat salah satu tokoh mereka dalam sebagian besar ajarannya. Ia juga menyebut otoritas lokal dalam masyarakat Madinah, Basrah, Kufah, dan Suriah. Mereka mengikuti doktrinnya masing-masing yang didasarkan pada apa yang disebut Schacht sebagai tradisi yang hidup (living tradition).

Kemunculan fikih cukup berpengaruh dalam kehidupan keilmuan, sejak abad ke-10. Pendidikan Islam diawali dengan al-Qur’an, Hadis, dan Fikih. Ketentuan-ketentuan fikih menjadi pedoman hidup bermasyarakat komunitas muslim. Setiap muslim mengetahui bahwa salat itu wajib, tidak boleh minum arak, dan tidak boleh berzina. Namun, tentu saja tidak semua umat Islam melaksanakan salat, namun tidak semua umat Islam tidak minum arak, tidak semua umat Islam tidak berzina.

Para penafsir hukum adalah kaum idealis sekaligus penyedia kemudahan. Karena itu, prinsip bahwa pelaku zina dihukum, namun pilihan yang mengarahkan kepada pelaksanaan hukuman itu ditiadakan dengan cara bahwa aturan pembuktian dan prosedur ditulis dengan cermat untuk mencegah pelaksanaan hukuman bunga riba diharamkan, namun karena praktik bunga, maka dirumuskan beberapa tingkat bunga yang wajar (15%). Ini cukup terlihat dalam rumusan yang dimunculkan oleh para fakih Hanafi.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Islam Setelah Nabi Wafat. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Syari’ah Sebagai Pokok Ajaran Agama Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel