-->

Memahami Khatam al-Anbiya’ dalam Teologi Islam

fikriamiruddin.com - Pandangan komunal yang mengental di kalangan umat Islam, adalah pandangan yang menjauhkan dari mencari solidaritas multi-agama seperti yang digagas oleh agama “Hanif” Ibrahim. Tentu saja pandangan komunal dianggap lemah lantaran beberapa alasan. Pertama, kebenaran itu memang tunggal di sisi Tuhan, yakni kebenaran “di sana”, milik Tuhan dan di langit. Namun, ketika kebenaran itu dipahami, maka kebenaran adalah plural.

Teologi Islam

Sebab apa yang disebut “kebenaran” adalah pemahaman orang mengenai kebenaran itu sendiri. Maka, klaim kebenaran tunggal dalam agama komunal adalah kekeliruan mendasar. Kedua, setiap agama memiliki klaim kebenaran yang sama tingkat validitasnya dengan klaim kebenaran yang lain, ketika sebuah agama mendefinisikan kebenaran dirinya. Demikian, tingkat keabsahan, keselamatan, dan validitasnya juga sama, antara yang satu dengan yang lain.

Ketiga, kalau dalam agama formal dan besar mengklaim ajarannya dari Tuhan, dan yang lain adalah sebagian kreasi manusia semata, maka hal itu adalah kekeliruan besar, sebab itu sebenarnya wujud keangkuhan dan penindasan terhadap kelompok agama yang lemah. Keempat, agama-agama formal juga keliru besar ketika menganggap bahwa satu-satunya ritual dan tempat ritual, kebenarannya hanya ada pada mereka.

Sebab ritual adalah soal komunitas tertentu mengikuti cara-cara Nabi mereka. Demikian pula tempat ritual, juga soal bagaimana nabi-nabi dalam komunitas tertentu memberikan ajaran yang berbeda dengan nabi-nabi lain yang sama-sama mengklaim dari Tuhan. Kelima, komunitas agama bukan tujuan yang given, dan selesai, karena masing-masing komunitas agama diperintahkan untuk mencari titik temu dan berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.

Komunitas agama hanya cara, alat, dan perantara, bukan tujuan. Dan dengan sendirinya anggapan kepengikutan formal agama adalah satu-satunya kunci dari keselamatan agama, adalah salah besar. Keenam, Tuhan tidak menurunkan satu komunitas agama, dan tidak mengutus satu Rasul, maka pluralitas agama dan kebenaran pasti dari Tuhan, karena itu semuanya diperintahkan untuk berbuat kebajikan.

Jadi, kesamaannya hanya soal kesatuan dalam perintah Tuhan, untuk mengabdi kepada-Nya; tidak mengabdi kepada para penindas yang disebut taghut. Dengan visi besar, bahwa pemahaman kebenaran adalah plural, maka dalam hal ini akan dijelaskan terkait pengakuan terhadap eksistensi agama lain, adalah konsep Khatam al-Anbiya’ yang ada dalam al-Qur’an disebut sekali saja, yakni dalam QS al-Ahzab ayat 40.

Baca Juga: Dekonstruksi Konsep Kunci dalam Teologi Islam

Yang terjemahannya “Muhammad itu bukanlah ayah dari siapa pun di antara seorang laki-laki, namun, Dia adalah “Utusan Allah” dan pengabsah nabi-nabi”. Meski disebut hanya sekali dalam satu ayat yang bahasannya tak terkait langsung dengan soal kerasulan dan kenabian, namun dalam kenyataannya, literatur Islam baik klasik maupun yang kontemporer banyak menegaskan konsep “Muhammad sebagai penutup para Nabi”.

Yang dipersoalkan adalah terkait tidak adanya tafsir sensitif pluralitas, apa pun yang terjadi dengan munculnya “nabi dan rasul” dalam komunitas tertentu dianggap tidak memiliki klaim yang benar. Tentu saja ini sebuah kekeliruan mendasar. Sebab, setiap komunitas memiliki klaim kebenaran yang sama dengan komunitas lain. Apalagi kebenaran sebuah komunitas dalam keyakinannya, tidak ditentukan oleh komunitas lain, namun oleh pemaknaan komunitas itu sendiri.

Konsep Muhammad “Penutup para nabi” ini, dilihat dari makna ayat-ayat yang lain juga sangat bertentangan. Misalnya, yang disebut dalam QS Yunus ayat 47, “Dan, bagi setiap umat diutus seorang Rasul, maka apabila telah datang Rasul mereka, lalu diterapkan hukum antara mereka dengan adil, maka sedikit pun mereka tidak dianiaya”. Ayat ini dengan jelas meneguhkan adanya rasul penegak keadilan pada setiap komunitas, tanpa ada batasan waktu sebelum atau sesudah era Nabi Muhammad.

Terdapat juga persoalan pada literatur-literatur muslim terkait dengan ayat khatam di atas. Pertama, tidak adanya interpretasi yang sensitif pluralitas terhadap ayat tersebut, di kalangan para mufassir hampir semua pahamnya merupakan peneguhan atas komunalisme beragama dalam komunitas pengikut Nabi Muhammad. Dalam artian, konsep ini meneguhkan absolutisme kebenaran sambil menyalahkan kenabian dan kerasulan sesudah Muhammad.

Konsep ini menghadirkan semangat intoleran dan tidak menghargai kelompok lain yang mengakui adanya Rasul Allah di luar dan sesudah Muhammad. Konsep ini tidak memberikan nilai relativitas kebenaran kelompok, karena kenabian setelah Muhammad di komunitas lain dianggap salah. Padahal ketiga syarat di atas merupakan basis dasar atas visi terdalam dari pluralisme. Kedua, setelah mencermati konsep yang ada tentang kenabian dan kerasulan dalam literatur-literatur muslim.

Ada dua hal penting, yakni mereka yang membedakan antara nabi dan rasul, kemudian dikonsepsikan Muhammad sebagai “Penutup para nabi dan rasul” dan mereka yang tidak merasa penting untuk membedakan konsep nabi dan rasul, kemudian diperluas menjadi konsep, “Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul”. Kedua model ini mengandung kelemahan mendasar bila dikontekskan dengan QS. al-Ahzab ayat 40.

Yang menyebutkan bahwa “Muhammad adalah rasul Allah dan penutup para nabi”. Terdapat dua hal penting di sini, yakni penggunaan kata Khatam, yang dalam bahasa Arab memiliki arti “Cincin pengesah dokumen, dan penutup”, jika dimaknai “pengabsah” berarti Muhammad menjadi pengabsah para nabi, sebelum atau sesudahnya kerasulan Muhammad. Sebagai pengabsah, Nabi Muhammad menjadi saksi atas kebenaran para nabi yang menyampaikan seruan sama, berbuat kebajikan.

Jika khatam dimaknai “Penutup”, maka akan membawa konsekuensi, yang tertutup adalah kenabian, sedang kerasulan tetap terbuka pasca Nabi Muhammad, sebab ayatnya berbunyi demikian, apalagi jika dikomparasikan dengan QS. Yunus ayat 47, yang menyebutkan bahwa “Setiap umat diutus seorang rasul”. Alhasil, apa yang disebut penutup adalah penutup nabi bukan penutup rasul.

Baca Juga: Berbuat Kebajikan Sebagai Syarat Mutlak Keselamatan Beragama

Apabila dilihat dari konteks ayatnya, ayat ini tidak sama sekali dalam konteks berbicara tentang kenabian dan kerasulan, ini berarti mempersoalkan kenabian dari sisi tertutup atau terbuka sangat tidak relevan, justru sangat relevan jika dipahami dari sisi pengabsahan kenabian Muhammad atas kenabian sebelumnya, atau sesudahnya jika ada. Klaim Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi telah dianggap sebagai kebenaran semata.

Yang demikian itu wajar, jika dilihat dari umat Islam sebagai kelompok kepentingan dalam sebuah sistem sosial yang ada di manapun. Setiap umat akan cenderung menganggap baik apa yang diterimanya, sambil membenarkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dirujuk dalam QS. al-An’am ayat 48, “Setiap umat menganggap baik apa yang dikerjakan oleh mereka”. Paradigama komunal model inilah yang nampaknya mengilhami penafsiran “Khatam al-Anbiya’” selama ini.

Simpulannya, penerjamahan ayat di atas dengan konsep “Penutup para nabi” memiliki kelemahan mendasar dari sisi interpretasi, logika, dan fenomena riilnya. Ayat ini sama sekali tidak memiliki signifikansi ketika dimaknai dengan konsep penutup, sebaliknya mesti dimaknai sebagai pengabsah atas nabi-nabi yang lain.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Agama Kebajikan Sebagai Konstruksi Berbasiskan Teologi Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Memahami Khatam al-Anbiya’ dalam Teologi Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel