-->

Aspirasi Menegakkan Identitas Agama dalam Teologi Islam

fikriamiruddin.com - Gagasan yang berkaitan dengan artikulasi Islam, seperti sebuah upaya penegakan syari’at Islam, selalu dibarengi dengan simbolisasi Islam. Padahal, simbolisasi itu rentan untuk dimanipulasi. Apalagi, fakta yang ada pada umat, yakni tidak adanya kesamaan interpretasi dan aspirasi baik dalam mazhab keagamaan maupun politik keagamaan. Misalnya seperti yang diperjuangkan Muslim komunal, tampak sekali ditentukan oleh cara berpikir mereka dalam melihat syariat itu sendiri.

Teologi Islam

Cara pandangnya diluberi oleh semangat yang menggebu tanpa sebuah penelitian cerdas, dengan logika sederhana bahwa Islam itu sempurna, tak berubah dan mandiri, rujukannya selalu QS al-Maidah ayat 2 tentang kesempurnaan Islam. Suatu pandangan yang mencita-citakan hanya ada satu bentuk Islam dan tak akan pernah mengalami perubahan. Oleh karena itu, keragaman-keragaman Islam yang niscaya ini dipandangnya sebagai keganjilan.

Dan dalam banyak hal dipandangnya sebagai suatu kesesatan. Apalagi cara pandang tersebut mempengaruhi juga terhadap cara memahami syariat Islam. Syariat Islam yang ada al-Qur’an dan Sunnah tidak boleh ditafsirkan dalam artian berbeda, sebab syariat Islam itu satu dan sempurna. Sayang argumentasi ini berhenti pada kredo umum semata, tak pernah secara cerdas didialogkan dengan realitas, bumi, manusia, dan kepentingan mereka sendiri.

Lebih parah lagi, cakupan syariat Islam yang tunggal itu dimaknai sebagai penegakan “Hukum Islam” semata. Bahkan, penerapannya dalam wilayah publik cukup hanya dengan keinginan seorang individu (pemimpin mereka atas nama Tuhan). Pandangan di atas memiliki kelemahan cukup mendasar. Pertama, Islam sebagai agama dijadikan jastifikasi atas semua tindakan dan perilaku politik yang menganut politik ideologi Islam, untuk konteks pembenaran seluruh umat Islam.

Padahal, secara riel umat Islam tidak dalam satu aspirasi baik mazhab, maupun ideologi politik. Akibatnya, Islam dengan mudah dijadikan alat klaim dan stigma untuk dilawankan dengan kelompok-kelompok Muslim lain, hanya lantaran beda aspirasi, bukan soal perlawanan atas ketidakadilan. Puncaknya, masyarakat Muslim akan kehilangan kearifan sebagai manifest riel orang beragama yang harus toleran.

Dengan demikian, akan mudah terjadi penghakiman sepihak dengan berbungkuskan teks suci kepada Muslim lain, kemudian tak ada lagi kebebasan berpikir. Mereka yang berbeda dalam pemahaman, akan mudah dituduh sebagai menghina Islam, nabi, dan al-Qur’an. Kedua, Islam secara komunal telah menempatkan umat Islam tidak memiliki ruang mendiskusikan moralitas elit Islam komunal.

Baca Juga: Memahami Khatam al-Anbiya’ dalam Teologi Islam

Dalam artian, muslim tidak memiliki ruang membedah kepentingan dan moralitas elitnya, sebab semua yang dikatakan dan diagregasikan elitnya selalu disandarkan pada teks suci dan Tuhan yang mutlak. Islam sangat mudah dijadikan pelindung yang sekaligus membuyarkan analisis kritis publik dan tentunya yang diuntungkan adalah elitnya. Ketiga, simbol-simbol selalu tak menyentuh kesalehan sosial dan riil, simbol akan meneguhkan kesalehan simbolik dan ritual semata.

Impikasinya terhadap kesalehan agama, juga akan berhenti pada simbol-simbol. Akibatnya, Islam menjadi agama yang kerdil, persoalan yang tak ada kaitannya dengan teks, akan dengan mudah dianggap bukan persoalan kesalehan beragama dan yang mencoba menafsirkan teks dengan langgam lain akan cepat pula dituduh menghina Islam. Terlalu banyak persoalan, yang pada akhirnya akan dieksklusifkan, sebagai bagian yang bukan persoalan yang harus ditangani Islam.

Pertanyaan terakhir yang perlu didekonstruksi antara lain yang berkaitan dengan persoalan keimanan. Keimanan Islam di sini dimaksudkan Islam sebagai identitas dan organisasi agama, terutama yang mencakup kode-kode hukum. Untuk menjawab posisi keimanan Islam dalam “Agama Kebajikan” ini, perlu dijelaskan bahwa keimanan Islam itu mestilah dipandang dari dua jalan Islam.

Islam sebagai agama adalah jalan spiritual, atau prinsip moral, atau “millah”. Dan Islam sebagai organisasi agama adalah identitas dengan segala organisasinya. Yang pertama, sebagai millah, Islam menegaskan sebagai penerus agama Ibrahim “millah Ibrahim”. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan agar Muhammad dan pengikutnya mengikuti Ibrahim, sebagai berikut:

“Katakanlah Allah benar dengan segala firman-Nya. Maka ikutilah agama Ibrahim (millah Ibrahim) yang hanif, dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang musyik.” (QS Ali Imran (3): 95). Di tingkat esensinya, bahwa “Agama Ibrahim” bukan sebagai sebuah agama formal seperti “Agama Muhammad”. Visi besar agama Ibrahim adalah al-hanifiyah, yang menegaskan adanya keteguhan hati, pikiran, dan praksis dalam mengabdi kepada Tuhan.

Dan yang kemudian dimaknai sebagai pembelaan terhadap yang lemah dalam upaya menciptakan sistem yang adil. Ibrahim sosok terdepan dalam memegangi jalan spiritual yang hanif dan muslim (QS Ali Imran (3): 67). Ini menunjukkan bahwa ‘kehanifan muslim’ merupakan penegasan Islam dalam pengertian pertama, adalah jalan spiritual, sebagaimana telah dipraktikkan Nabi Ibrahim.

Jadi, agama Ibrahim sebagai millah bukanlah din, dan bukan organisasi agama. Keislaman sendiri, baru dapat dibenarkan sebagai penerus “Agama Ibrahim” manakala artikulasi Islamnya mengandung millah yang hanif. Oleh karena itu, sebagai penerus agama Ibrahim, Islam bukanlah “agama baru” jika dimaknai sebagai “jalan spiritual”. Dengan demikian, seorang muslim mesti memahami Islam bukan sebagai identitas.

Islam yang pertama-tama mestilah dipahami sebagai “jalan spiritual”, “prinsip hidup”, dan “prinsip moral” yang ada di mana pun (semua agama), sebagaimana ada di dalam diri Nabi Ibrahim. Pengertian yang kedua, Islam adalah sebagai organisasi agama miliki komunitas pengikut Nabi Muhammad. Pendeklarasian “Agama Kebajikan” yang pondasinya ada di Islam, bukan berarti menolak agama formal, khususnya Islam sebagai komunitas.

Agama kebajikan tidak menghancurkan keimanan pada tradisi-tradisi komunitas agama tertentu, termasuk Islam. seperti halnya mengenai ritual, percaya pada wirid, percaya pada kitab suci, dan hal-hal lain. Hanya saja, keimanan-keimanan ini mesti ditempatkan dalam wilayah yang lebih kecil, konteks dengan rasul masing-masing komunitas, dan juga soal identitas birokrasi agama tertentu atau organisasi agama membaku dan formal milik sebuah komunitas.

Baca Juga: Dekonstruksi Konsep Kunci dalam Teologi Islam

Oleh karena itu, posisi keimanan dalam sebuah komunitas agama tertentu, tetaplah diakui, dan tidak akan dihancurkan “Agama Kebajikan” ini. Namun, di titik inilah posisi keimanan pada tradisi-tradisi komunitas agama tertentu bukan dijadikan faktor mendasar (penentu) dari keselamatan seseorang dalam beragama. Sebaliknya ditempatkan dalam posisi di tingkat relasi sosialnya dengan komunitas lain sebagai identitas agama.

Di tingkat legalitas ajaran-ajarannya adalah sebagai mekanisme penopang dari identitas-identitas ini. Dan di tingkat penghayatan terdalam yakni di bawah “jalan spiritual” agama yang juga ada di masing-masing komunitas. Namun, yang dirisaukan adalah banyaknya penghancur agama yang menggebu-gebu beriman, fasih membaca kitab suci, suka menggunakan simbol-simbol agama dan lihai menyandarkan pada jastifikasi Tuhan dan Nabi.

Namun, tanpa dilandasi “millah” atau keberagamaan yang hanif. Pada akhirnya yang ditemukan adalah “penipuan”, sebab agama tidak lagi dipahami dan dipraktikkan sebagai ladang kedamaian dan berkeadilan, melainkan malah dipraktikkan sebagai ladang permusuhan dan penindasan. Justru oleh mereka yang selalu mengutip ayat-ayat suci. Inilah kemudian model iman yang tanpa disertai dengan ketulusan dan pemahaman kontemplatif.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Berbuat Kebajikan Sebagai Syarat Mutlak Keselamatan Beragama. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Aspirasi Menegakkan Identitas Agama dalam Teologi Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel