-->

Memahami Pemikiran dan Ajaran Jahm bin Safwan

fikriamiruddin.com - Abu Mahrus Jahm bin Safwan berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah dan menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais. Ia merupakan seorang Da’i yang fasih dan lincah sekaligus seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama. Sebagai penganut paham Jabariyah murni, ia berhasil menyebarkan ajarannya sampai ke Tirmidz di Balk. Pendapatnya yang berkaitan dengan teologi di antaranya adalah sebagai berikut.
Memahami Pemikiran dan Ajaran Jahm bin Safwan

Pertama, Sifat dan Dzat Allah, Allah adalah Dzat saja karena bukan sesuatu (sya’i), karena itu Allah tidak akan memiliki sifat yang dimiliki oleh manusia, seperti ‘alim, murid, maujud, hayyun, namun boleh disifati qadir, fa’il, khaliq, mujid, muhyi, dan mumit. Tujuan Jahm dengan pendiriannya itu adalah untuk menjauhkan Tuhan dari segala penyerupaan dengan makhluk-makhluk-Nya.

Kedua, melihat Allah, Jahm bin Safwan menolak pendapat bahwa Allah kelak di hari kiamat dapat dilihat. Hal ini lantaran Allah tidak bersifat maujud, maka sesuatu yang tidak maujud tidak dapat dilihat, berbeda dengan golongan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa kelak di hari kiamat Allah dapat dilihat.

Ketiga, kehendak dan kemerdekaan manusia, manusia pada dasarnya tidak memiliki kehendak dan pilihan dengan kata lain terpaksa. Keterpaksaan ini dapat dikategorikan menjadi dua macam, yakni manusia tidak memiliki kehendak, pilihan, dan kemampuan sama sekali serta manusia masih memiliki andil dalam pekerjaan yang ia lakukan, sehingga ia tidak terpaksa sepenuhnya. Manusia tidak seperti wayang yang hanya dapat digerakkan oleh dalang.

Namun, manusia masih mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya. Tuhan bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan manusia. Sedangkan Jahm menganut paham yang pertama. Semua perbuatan yang terjadi pada makhluk adalah perbuatan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti halnya pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit berawan, hujan turun, bumi beredar dan biji-bijian tumbuh.

Pahala dan siksa merupakan perbuatan Allah yang lahir pada manusia, dan demikian seterusnya berlaku pada semua perbuatan. Karena itu, apabila semua perbuatan lahir dari makhluk itu adalah perbuatan Allah, maka termasuk semua macam ibadah dan perintah serta larangan juga termasuk perbuatan Allah.

Baca Juga: Pengertian Aliran Jabariyah yang Perlu Diketahui

Keempat, kehancuran surga dan neraka, menurut Jahm manusia akan kekal, baik di dalam surga maupun di dalam neraka. Surga dan neraka akan fana apabila semua calon penghuninya masuk ke dalamnya. Penghuni surga menikmati kelezatan surga dan penghuni neraka merasakan kepedihan siksa. Karena itu, tidak akan tergambar akan berakhir dan berbuah.

Kelima, iman, pendapat Jahm berbeda dengan pendapat jumhur ulama, yakni ketetapan hati yang diucapkan dengan lisan. Dengan demikian, ucapan lisan menjadi syarat seseorang menjadi muslim atau kafir. Berbeda dengan pendapat Jahm bahwa orang tidak menjadi kafir hanya karena mengutarakan dengan lisan asalkan sudah ma’rifah. Menurutnya iman tidak terdiri dari tashdiq, perbuatan. Iman bentuknya sama, baik iman para nabi maupun iman umatnya.

Keenam, akal sebagai ukuran baik dan buruk, Jahm berpendapat bahwa akal manusia mampu membedakan antara yang baik dan buruk, meskipun tidak ada wahyu, boleh jadi pendapat ini kemudian diambil oleh pendapat Mu’tazilah. Ketujuh, tentang ayat-ayat mutasyabihat, di dalam al-Qur’an dijumpai ayat-ayat di mana Allah menyebutkan sifat yang memiliki pengertian sama dengan makhluk-Nya, seperti “wajah”, “mendengar”, “melihat”, dan sebagainya.

Baca Juga: Mengenal Ajaran Pokok Teologi Mu’tazilah

Menurut Jahm kata-kata tersebut harus diartikan secara majazi. Sedangkan sebagian kaum muslimin mengartikan kata-kata itu dalam pengertian yang sebenarnya, yakni pengertian materi. Beberapa pendapat Jahm bin Sofwan tersebut di atas dianggap sesat oleh ulama yang lain, namun harus diakui bahwa Jahm memahami nash-nash al-Qur’an melibatkan penalaran akal (ta’wil) dengan pendekatan rasional. Pemikiran Jahm tersebut juga mewarnai pemikiran Mu’tazilah yang sampai saat ini banyak diikuti oleh ulama dan pemikir Islam.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Memahami Pemikiran Washil bin Atha. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Memahami Pemikiran dan Ajaran Jahm bin Safwan"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel