-->

Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam

fikriamiruddin.com - Dalam hukum Islam, istinbath adalah upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya. Ternyata istilah ini hampir sama dengan arti ijtihad. Padahal, istinbath merupakan bagian dari ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci, ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Karena itu, usaha pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam

Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli, melihat ada dua cara yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan melalui pengenalan maksud syariat (maqashid al-syari’ah).

Pendapat Hasaballah ini telah disepakati oleh Fathi al-Daraini, dosen fikih dan ushul fikih Universitas Damaskus. Al-Daraini menyebutkan bahwa pendekatan keilmuan yang paling tepat adalah sesuai dengan watak objeknya sendiri. Aneka pendekatan dan metode yang pernah dirumuskan oleh pakar studi hukum Islam akan dikemukakan dalam bingkai istinbath. Sebab setiap pakar memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang tidak sama, maka metode yang dirumuskan dan digunakan juga berbeda. Metode yang berbeda ini memunculkan mazhab yang berbeda pula.

Konstruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya. Kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks dalam kedua sumber hukum ini ditulis dalam bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.

Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Pernyataan umum dimaksudkan untuk pengertian umum sesuai dengan makna kata yang digunakannya. Dalam artian, sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapa pun, jenis kelamin apa pun, generasi manapun, dan tanpa pembatasan.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Mazhab Zhahiri

Contoh pernyataan umum adalah surat al-Baqarah ayat 233: “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh”; surat an-Nisa ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim sesungguhnya sama dengan memasukkan dalam perutnya api neraka dan mereka akan memasuki neraka sa’ir”; surat an-Nisa ayat 92: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar hukum Islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus ini bersifat final dan pasti, sehingga menutup pengertian yang lain. Sifat ini juga berdampak pada hukum yang dikandungnya, yakni hukum yang final dan pasti. Sebagai contoh, surat al-Maidah ayat 89:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), namun Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melangggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yakni dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”

Dalam pernyataan ini, kata “sepuluh” menunjuk suatu angka yang pasti, yakni antara sembilan dan sebelas, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pengertian yang lain. Karena itu, hukum dari pernyataan tersebut tidak memperkenankan pemberian makan kepada sembilan atau sebelas orang miskin. Namun demikian, pernyataan hukum khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi.

Suatu pernyataan dianggap mutlak apabila tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya, pernyataan dianggap terbatas, karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya. Pernyataan “budak” menunjuk pada siapa pun yang termasuk dalam pengertian budak: manusia yang kemerdekaannya direnggut oleh orang lain.

Baca Juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad bin Hanbal

Karena pernyataan “budak” dibatasi dengan “yang memeluk agama Islam”, maka budak non-muslim tidak dimaksudkan oleh pernyataan tersebut. Dalam satu sumber hukum, terdapat kemungkinan pengulangan pernyataan khusus. Di satu tempat, pernyataan khusus ini dibatasi, di tempat yang lain dijadikan mutlak. Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun terbatas.

Pakar studi hukum Islam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak. Sebaliknya, jika kata yang diulangi dibatasi dengan pembatasan yang sama, maka kata ini dimaknai sesuai dengan pembatasannya.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pemikiran Hukum Islam Imam Asy-Syafi’i. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pengertian Istinbath dalam Hukum Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel