-->

Keseimbangan Peran Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam

fikriamiruddin.com - Akal dan wahyu bukanlah sesuatu yang saling bertentangan. Akal dapat diperkuat oleh wahyu, sementara wahyu dapat dijelaskan dengan penalaran akal. Dilihat dari sumbernya, akal dan wahyu sama-sama berasal dari Allah Swt. Wahyu hanya diberikan kepada Nabi dan Rasul-Nya untuk menjadi pedoman hidup umat manusia. Begitu pula, pemikiran akal juga merupakan ilham yang diberikan Allah kepada setiap manusia.
Keseimbangan Peran Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam

Meskipun demikian, akal dan wahyu memiliki jangkauan yang tidak sama. Banyak kebenaran wahyu yang sulit dijangkau oleh akal, seperti berita-berita gaib yang dinyatakan oleh wahyu. Oleh karena itu, wahyu tidak hanya memerlukan akal semata, namun juga harus dilandasi oleh iman. Meski wahyu berada di atas akal, namun wahyu tidak menjelaskan semua kehidupan secara terperinci.

Penjelasan terperinci ini merupakan wilayah akal. Wahyu tidak bisa dipahami tanpa peranan akal. Tidak ada wahyu yang menyulitkan akal untuk memahaminya. Jika ada pernyataan wahyu yang dianggap tidak masuk akal, maka hal yang benar adalah akal belum mampu menjelaskannya. Ketika Nabi Muhammad menyampaikan wahyu al-Qur’an kepada masyarakat Arab saat itu, tidak sedikit yang menganggap Nabi Muhammad sebagai orang gila.

Akal mereka belum mampu memahami wahyu. Dalam beberapa abad kemudian, saat ilmu pengetahuan dan teknologi telah mencapai kemajuan, beberapa ayat al-Qur’an sudah bisa dipahami. Dengan demikian, perkembangan pemikiran manusia dapat menguak rahasia wahyu. Kebenaran akal juga sulit dipercaya tanpa ada wahyu. Tujuan dari kebenaran adalah kepercayaan.

Baca Juga: Akal di Atas Wahyu dan Setiap Pemikir Bisa Benar

Untuk menggapai kepercayaan ini, kebenaran mengajukan bukti-bukti yang bisa diterima. Bukti-bukti ini memunculkan logika kebenaran. Kenyataannya, logika kebenaran tidak tunggal, melainkan beragam. Tidak dapat dibantah pula, bahwa logika kebenaran tidak terlepas dari kepentingan. Dengan kata lain, ada subjektivitas dalam hal yang dianggap objektif. Maka dari itu, kepentingan akan memilih satu di antara aneka logika kebenaran.

Akhirnya, setiap orang berhak mengklaim sebagai pihak yang benar. Bila hal ini terjadi dan mesti terjadi kebenaran sulit dipegang. Atas dasar itu, wahyu yang diyakini sebagai kebenaran sejati hingga tanpa gugatan sekalipun sering dijadikan legitimasi untuk menambah kepercayaan kebenaran akal.

Asumsi di atas menunjukkan bahwa kedudukan wahyu dan akal adalah setara, saling membutuhkan satu sama lain, dan keduanya berasal dari satu sumber yakni Allah Swt. Dalam hukum Islam, keseimbangan wahyu dan akal merupakan dasar utama bagi pemikiran hukum Islam moderat. Dalam pemikiran ini, keputusan hukum sangat kuat bila didasarkan pada dalil wahyu (naqli) dan dalil akal (‘aqli).

Persoalan akan muncul, apabila ada dalil akal yang dianggap bertentangan dengan wahyu atau dalil wahyu yang kurang relevan dengan penalaran akal. Bagi kaum skripturalis, wahyu harus dimenangkan atas akal. Bagi kaum rasionalis, akal yang harus dimenangkan atas wahyu. Bagi kaum moderat, baik akal maupun wahyu dapat menang dan kalah, tergantung dari tingkat kebaikan yang diperoleh.

Jika wahyu menyatakan sanksi pencurian dengan potong tangan, tentu dalil ini sulit dipraktekkan di Indonesia, dikarenakan sistem hukumnya tidak dapat menerima. Jika sanksi ini dipaksakan, maka kebaikan hukum tidak ditemukan, justru akan memunculkan keresahan di masyarakat. Dalam hal ini, akal dimenangkan atas wahyu, yakni penerapan sanksi yang dapat membuat jera selain potong tangan.

Baca Juga: Wahyu di Atas Akal: Kebenaran Sejati Hanya Satu

Sebaliknya, wahyu akan dimenangkan oleh kaum moderat atas akal dalam hal pembagian waris atau harta pusaka. Wahyu telah memberikan ketentuan dengan pasti: setengah, seperempat, seperdelapan, sisa, dan sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan ketentuan akal apapun alasannya. Jadi, keunggulan wahyu tergantung pada kejelasan maksud pernyataan wahyu. Semakin jelas suatu pernyataan, wahyu semakin unggul atas akal.

Semakin samar suatu pernyataan, akal dapat lebih dominan dibanding wahyu. Para ulama membedakan cara memahami wahyu al-Qur’an dan al-Sunnah. Memahami al-Qur’an harus berdasar pada teks ayat, demikian juga pemahaman Sunnah juga terkait dengan teks hadis (matan hadis). Dalam teks, terbagi dua bentuk: muhkam dan mutasyabih (QS. Ali Imran: 7). Muhkam berarti sangat jelas, tegas, dan pasti, sehingga peran akal sangat minim.

Sedangkan mutasyabih tidak jelas, samar dan menimbulkan banyak penafsiran sehingga dibutuhkan dominasi peran akal dalam memahaminya. Hukum Islam moderat menggunakan logika (Ilmu Manthiq) dalam menggali maksud hukum yang dinyatakan oleh wahyu. Logika-logika tersebut dirumuskan sedemikian rupa hingga menjadi disiplin ilmu tersendiri, yakni Ushul Fikih. Melalui ilmu ini, dikembangkan teori Istinbath dan teori Istidlal.

Jika pemikiran akal berusaha menguak hukum dari wahyu (teks al-Qur’an dan al-Sunnah), maka dinamakan Istinbath. Apabila tidak adalah jawaban dalam wahyu hingga pemikiran akal harus merumuskannya sendiri, maka demikian ini disebut Istidlal.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Mu’amalah dalam Hukum Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Keseimbangan Peran Akal dan Wahyu dalam Hukum Islam"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel