-->

Persamaan dan Perbedaan antara Akhlak, Etika, Moral, dan Susila

fikriamiruddin.com - Akhlak, etika, moral, dan susila secara konseptual memiliki makna berbeda, namun pada aras praktis, memiliki prinsip-prinsip yang sama, yakni sama-sama berkaitan dengan nilai perbuatan manusia. Seseorang yang berperilaku baik seringkali kita sebut sebagai orang yang berakhlak, beretika, bermoral, dan sekaligus orang yang mengerti susila. Sebaliknya, orang yang perilakunya buruk tentu disebut orang yang tidak berakhlak, tidak bermoral, tidak tahu etika, atau orang yang tidak bersusila.
Akhlak

Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung pada sifat positif atau negatif dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk individual dalam komunitas sosialnya. Dalam perspektif agama, perbuatan manusia di dunia ini hanya ada dua pilihan, yaitu baik dan benar. Jalan yang ditempuh manusia adalah jalan lurus yang sesuai dengan petunjuk ajaran agama dan keyakinannya, atau sebaliknya, yakni jalan menyimpang atau jalan setan, kebenaran atau kesesatan.

Itu sebuah logika binner yang tidak pernah bertemu dan tidak pernah ada kompromi. Dalam artian, tidak boleh ada jalan ketiga sebagai jalan tengah antara keduanya. Keempat istilah tersebut sama-sama mengacu pada perbuatan manusia yang selanjutnya ia diberikan kebebasan untuk menentukan apakah mau memilih jalan yang bernilai baik atau buruk, benar atau salah berdasarkan keputusannya.

Tentu saja, masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi berbeda. Ditinjau dari aspek pembentukan karakter, keempat istilah itu merupakan suatu proses yang tidak pernah ada kata berhenti di dalamnya. Proses itu harus terus-menerus didorong untuk menginspirasi terwujudnya manusia-manusia yang memiliki karakter baik dan mulia, yang kemudian terefleksikan ke dalam bentuk perilaku pada tataran fakta empirik di lapangan sosial di mana manusia tinggal.

Kesadaran terhadap arah yang positif ini menjadi penting ditanamkan, agar tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardh menjadi kenyataan sesuai dengan titah Allah Swt. Bukankah Allah telah membekali manusia berupa sebuah potensi fitri, jika manusia mampu memeliharanya, maka ia akan mencapai derajat yang lebih mulia daripada malaikat. Sebaliknya, jika tidak mampu, maka ia akan jatuh ke posisi derajat binatang dan bahkan lebih sesat lagi.

Inilah di antara argumentasinya, bahwa betapa perilaku manusia itu harus senantiasa dibina, dibimbing diarahkan dan bahkan harus dikontrol melalui regulasi-regulasi, agar manusia selalu berada di jalan yang benar dan lurus. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, memang dibutuhkan suatu proses yang panjang sekaligus dengan cost yang tidak sedikit. Berdasarkan paparan di atas, maka secara formal, perbedaan keempat istilah tersebut antara lain sebagai berikut.


Pertama, etika bertolok ukur pada akal pikiran atau rasio. Kedua, moral tolak ukurnya merupakan norma-norma yang berlaku pada masyarakat. Ketiga, etika bersifat pemikiran filosofis yang berada pada tataran konsep atau teoritis. Keempat, pada aras aplikatif, etika bersifat lokalitas dan temporer sesuai konsensus, dengan demikian ia disebut etiket (etiqqueta), etika praksis, atau dikenal juga dengan adab/tatakrama/tatasusila.

Kelima, moral berada pada dataran realitas praktis dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang dalam masyarakat. Keenam, etika dipakai untuk pengajian sistem nilai yang ada. Ketujuh, moral yang diungkapkan dengan istilah moralitas dipakai untuk menilai suatu perbuatan. Kedelapan, akhlak berada pada tataran aplikatif dari suatu tindakan manusia yang bersifat umum, namun lebih mengacu pada barometer ajaran agama.

Jadi, etika Islam (termasuk salah satu dari berbagai etika religius yang ada) itu tidak lain merupakan akhlak itu sendiri. Kesembilan, susila merupakan prinsip-prinsip yang menjadi landasan berpijak masyarakat, baik dalam tindakan atau pun tata cara berpikir, berdasarkan kearifan-kearifan lokal. Kesepuluh, akhlak juga berada pada level spontanitas-spesifik, sebab kebiasaan individual/komunitas yang dapat disebut dengan “adab”, seperti adab mencari ilmu, adab pergaulan keluarga dan lain-lain.

Secara substansial, istilah etika, moral, susila, dan akhlak merupakan identik, sebab sama-sama mengacu kepada manusia, baik dari aspek perilaku atau pun pemikiran. Bagi manusia, perilaku yang dimaksud tentu berada pada tataran ideal. Tanpa mempedulikan perbedaan etnis, agama, geografis, bahasa, dan lain sebagainya. Secara fungsional, peranan etika, moral, susila dan akhlak sangat urgen bagi pembentukan karakter individu dan masyarakat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keempat istilah tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan tersebut terejawantah ke dalam aspek-aspek perilaku manusia di tengah-tengah kehidupan yang dibangun, sesuai dengan setting sosial yang mengitarinya. Perilaku manusia memang sarat dengan dimensi-dimensi sosial, politik, ekonomi, geografi, kultur, dan lain sebagainya.

Sebagaimana dipaparkan di atas dari aspek sumber, bahwa kalau etika berdasarkan pendapat akal pikiran/rasio, moral dan susila berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku, maka akhlak berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku, maka akhlak berdasarkan pada nilai-nilai agama (al-Qur’an dan hadits). Dengan demikian, maka etiket, moral dan tata susila sangat dibutuhkan sebagai aras implementasi dalam rangka menjabarkan dan mengoperasikan ketentuan-ketentuan akhlak yang tercantum di dalam al-Qur’an dan hadits.

Sebaliknya, akhlak secara prinsip, dijadikan sebagai landasan utama dalam memberikan batasan-batasan umum dan universal dalam menjabarkan nilai-nilai etis, moral, dan susila, sehingga ia dapat tetap bersifat humanis. Inilah esensi akhlak yang bersendikan nilai-nilai mulia sesuai bimbingan ajaran agama yang kemudian di-breakdown pada level moral dan tatasusila yang akan mampu memberikan warna dan inspirasi bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini, filosofi garam menemui bentuknya, di mana, ibarat menu makanan, garam tersebut berfungsi sebagai penyedap setiap hidangan yang disajikan.

Meskipun secara materiil, garam itu tidak tampak, namun dari sudut pandang esensi, ia sangat bernilai guna, sehingga tanpa garam, masakan semahal apa pun akan hambar rasanya. Demikian pula dengan akhlak yang sangat bernuansa Islami, ketika diterjemahkan ke dalam tataran nilai-nilai moralitas atau tatasusila/tatakrama akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Jadi, meskipun suatu negeri tidak berdasarkan syariah Islam, namun nilai-nilai Islam tetap hidup di tengah-tengah masyarakat, maka semua itu masih menjadi ideal dari maksud kedatangan Islam di Bumi ini dibanding dengan Islam secara formalistik, namun nilai-nilai luhur Islam tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

Secara terminologis, terdapat sinonim dalam penggunaan terma/istilah akhlak, yakni etika, moral, susila, dan budi pekerti. Hal ini dimaklumi sebab konsep atau makna dari kata akhlak yang bersumber dari Islam itu memiliki kesamaan dengan apa yang terdapat dalam peristilahan yang dipakai di luar Islam, yakni nilai-nilai baik yang melandasi kemuliaan manusia. Hanya saja masing-masing istilah tersebut memiliki landasan filosofis dan juga sumber yang berbeda.

Akhlak, secara teoritik-ilmiah, merupakan nilai-nilai kebaikan yang melandasi pribadi muslim; etika merupakan seperangkat nilai yang merupakan hasil gagasan manusia mengenai tata aturan yang berkaitan dengan perilaku manusia dan menjadi layak, wajar, sehingga bisa diterima oleh suatu komunitas pada ruang dan waktu tertentu; Moral merupakan ide-ide umum mengenai tindakan manusia berkaitan dengan mana perbuatan yang layak, wajar dan baik sesuai dengan adat kebiasaan dan kultur yang berlaku.

Susila secara istilah adalah aturan-aturan hidup yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat menjadi lebih baik. Susila lebih mengacu pada upaya-upaya dalam membuat norma-norma baik untuk dijadikan sebagai prinsip dan dasar hidup suatu masyarakat agar tatanan sosialnya menjadi stabil, damai, sejahtera, dan tentram. Secara substansial, istilah akhlak, etika, moral, susila, dan budi pekerti tersebut adalah identik.

Sebab sama-sama mengacu kepada kebaikan manusia, baik dari aspek perilaku atau pun pikiran. Yang membedakan antara istilah-istilah tersebut adalah dari segi sumber pijakan dan pola pemberlakuannya. Akhlak berlandaskan pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, Etika berdasarkan pada ajaran filsafat, sementara moral dan juga susila serta budi pekerti berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan suatu unit sosial tertentu untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan dan ketertiban hidup bersama.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Hubungan Ilmu Akhlak dengan Psikologi. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Persamaan dan Perbedaan antara Akhlak, Etika, Moral, dan Susila"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel