-->

Pemikiran dan Sekte Teologi Mu’tazilah

fikriamiruddin.com - Pemikiran teologi Mu’tazilah apabila dilihat dari segi metode berpikir terbagi menjadi tiga fase, di antaranya fase pertumbuhan, yakni yang secara representatif ditokohi oleh Washil bin Atha dan Amr bin Ubaid, pada fase ini semasa dengan penghujung pemerintahan Bani Umayyah. Berikutnya fase perkembangan, yang secara representatif adalah Abu Hudzail dan al-Nadhdham. Fase ini sezaman dengan awal pemerintahan Abbasiyah hingga kejayaannya.
Pemikiran dan Sekte Teologi Mu'tazilah

Kemudian fase penghujung, yang secara representatif ditokohi oleh Ali al-Juba’i dan putranya Abu Hisyam, pada fase ini sezaman dengan pemerintahan al-Mutawakkil dan khalifah berikutnya dari dinasti Abbasiyah. Dari ketiga fase tersebut kemudian muncullah sekte-sekte dalam aliran Mu’tazilah yang masing-masing sekte itu mempunyai tokoh dan pendapat yang berbeda, seperti sekte Washiliyah (pengikut Washil bin Atha), Hudzailiyah (pengikut Abu Huzail al-Allaf), Nadhdhamiyah (pengikut al-Nadhdham), Juba’iyah (pengikut ibn Abd. Al-Wahhab al-Juba’i) dan masih banyak lagi sekte lainnya.

Pertama, Hudzailiyah merupakan mereka para pengikut Abu Huzail Hamdan bin Hudzail al-Allaf (135-226 H), pendapatnya di antaranya Iradah Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya menghendakinya, ada sebagian Kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti amar, nahi, berita dan sebagainya. Menurutnya perintah (amar) menciptakan bukan amar taklifi (pembebanan).

Selain itu, menurutnya orang yang kekal di dalam neraka adalah berdasarkan takdir Allah dan tidak ada seorang pun yang dapat mengelaknya. Lantaran semuanya adalah ciptaan Allah bukan akibat dari usaha manusia, karena itu kalau termasuk usaha manusia dapat menghindarinya.

Kedua, Nadhdhamiyah merupakan mereka para pengikut Ibrahim bin Yasar bin Hani al-Nadhdham. Ia banyak mempelajari buku-buku filsafat, karena itu pendapatnya mirip dengan pendapat Mu’tazilah. Hanya terdapat beberapa masalah yang ada perbedaan. Pendapatnya di antaranya ketentuan (qadar) baik dan buruk berasal dari manusia. Menurutnya Allah tidak kuasa untuk menciptakan keburukan dan kemaksiatan karena hal itu tidak termasuk dalam kehendak (qudrah) Allah.

Iradat Allah pada dasarnya Allah tidak mempunyai sifat iradat. Apabila dalam al-Qur’an dicantumkan bahwa Allah mempunyai sifat Iradat, namun yang dimaksudkan bahwa Allah adalah pencipta dan pengatur sesuai dengan Ilmu Allah. Kemudian perbuatan manusia semua terdiri dari gerak, sedang diam adalah gerak yang terhenti. Pengetahuan dan keinginan adalah gerak hati, namun ia tidak menyebut perpindahan, sedang gerak menurutnya awal semua perubahan.

Baca Juga: Memahami Pemikiran Washil bin Atha

Pendapat tersebut mirip dengan pendapat para filosof yang mengakui gerak adalah merupakan jawaban bagaimana letak, di mana, dan kapan. Ketiga, Juba’iyah dan al-Bahsyaniyah, pendiri aliran ini adalah Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Juba’i (295 H) dan Abu Hasyim Abdul Salam (321 H). Kedua tokoh ini termasuk kelompok Mu’tazilah Basrah. Mereka berdua berbeda pendapat dengan rekan-rekannya dalam beberapa masalah, di antaranya sebagai berikut.

Mereka berdua mengakui adanya keinginan (Iradah) dari makhluk ini dan keinginan ini tidak mempunyai tempat (mahal). Karena itu, Allah dikatakan Maha Berkehendak untuk mengagungkan-Nya. Demi mengagungkan zat-Nya, maka kehendaknya tidak mempunyai tempat. Setiap yang tidak mempunyai tempat akan fana apabila menginginkan. Kemudian Allah Maha Berkata-kata dan perkataan (kalam) Allah adalah ciptaan-Nya yang ditempatkan pada suara dan huruf.

Karena itu, hekekat kalam itu terdiri dari suara yang terputus-putus dan terdiri dari huruf. Karena itu, dikatakan “mutakallim” ialah orang yang pandai bicara bukan orang yang sedang bicara. Selain itu, iman menurut mereka nama bagi pujian merupakan semua sifat yang dianggap baik, yang ada pada diri seseorang sehingga ia berhak  dinamakan mukmin dan setiap orang yang melakukan dosa besar dinamakan fasik yang bukan termasuk orang mukmin dan bukan pula orang kafir, serta apabila ia meninggal sebelum bertobat, ia kekal di dalam neraka.

Dalam perjalanan ketiga fase tersebut telah mematangkan konsepsi teologisnya yang akhirnya mengkristal dalam rumusan pemikiran logis yang lazim dikenal dengan konsep al-Ushul al-Khamsah (lima ajaran pokok). Kelima ajaran pokok tersebut di antaranya al-Tawhid, al-Adl, al-wa’ad wa al-wa’id, al-manzilah bayna al-manzilatayn, dan al-amr bi al-ma’ruf wa nahy an al-munkar.

Baca Juga: Sejarah dan Pengertian Aliran Mu’tazilah

Kelima ajaran pokok Mu’tazilah ini harus diterima oleh penganut Mu’tazilah. Al-Khayyath, tokoh Mu’tazilah Baghdad mengungkapkan bahwa seseorang tidak dapat disebut Mu’tazilah sebelum ia menerima kelima ajaran pokok tersebut.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Ajaran dan Sekte Aliran Murji’ah. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Pemikiran dan Sekte Teologi Mu’tazilah"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel