-->

Ilmu Kalam pada Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah

fikriamiruddin.com - Setelah terjadinya perang Siffin telah muncul tiga kelompok dalam sejarah Islam, yakni Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah. Pada masa Bani Umayyah muncul aliran Jabariyah yang dimotori pertama kali oleh Ja’d bin Dirham, kemudian disiarkan oleh Jahm bin Shafwan dan aliran Qadariyah yang pertama kali dibawa oleh Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasqi.
Ilmu Kalam pada Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah

Kaum Jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kehendak, daya, dan pilihan dalam melakukan perbuatannya. Mereka dipaksa dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Yang menarik dari Jahm bin Safwan, tokoh yang menyebarkan paham ini adalah ternyata ia merupakan orang yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan.

Jahm bin Safwan mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyah-nya dari Aristotelianisme, yakni bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, serta segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam.

Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti. Jadi tidak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dahsyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm ibn Safwan dan para pengikutnya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya.

Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep tauhid yang mereka akui dan hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal dengan an-Nufat (pengingkar [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu’attilah (pembebas [Tuhan dari sifat-sifat]).

Sedangkan Qadariyah berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa setiap perbuatan dan kehendak manusia itu sendiri. Aliran Qadariyah ini selanjutnya banyak diikuti oleh orang-orang Mu’tazilah. Namun di sisi lain, kaum Mu’tazilah banyak mengikuti sikap kaum Jahmiah yang mengingkari sifat-sifat Tuhan. Lebih penting lagi, kaum Mu’tazilah meminjam metodologi kaum Jahmiah, yakni penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia).

Baca Juga: Sejarah Perkembangan Ilmu Kalam pada Masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin

Hal ini ikut membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan besar-besaran buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan Bani Abbasiyah, yakni ketika kepemimpinan khalifah al-Ma’mun bin Harun al-Rashid.

Penerjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah (Taymiyah, 1951). Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan Ahl al-Hadis yang dipimpin oleh Ahmad bin Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi/inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang yang tidak sependapat dengan mazhab negara.

Terkait hal tersebut, Imam Ahmad bin Hanbal termasuk yang di penjara. Namun perlu ditegaskan bahwa mihnah yang dilaksanakan Khalifah al-Ma’mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol. Hal itu lantaran mihnah yang dijalankan al-Ma’mun dilaksanakan di bawah semangat kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu’tazilah. Hal ini dilakukan untuk melawan mereka yang dianggap menghalangi liberalisme dan kebebasan itu.

Khususnya kaum “fundamentalis” (al-Hashwiyyun, sebuah sebutan ejekan yang secara harfiah berarti “kaum sampah” karena malas berpikir dan menolak melakukan interpretasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition yang terjadi di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya dilaksanakan dengan semangat sebaliknya, yakni atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan kebebasan berpikir yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para filosof yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.

Mihnah al-Ma’mun terus dilanjutkan oleh penggantinya yakni al-Mu’tashim dan al-Watsiq. Salah satu masalah yang diperselisihkan saat itu ialah apakah Kalam atau Sabda Allah berwujud al-Qur’an itu qadim (tidak diciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Allah) ataukah hadis (diciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab).

Baca Juga: 3 Sumber Ilmu Kalam dalam Agama Islam

Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadis, sementara Ahl al-Hadis, membedakan antara kata-kata qadim dan hadis. Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Terlepas dari catatan sejarah negatif al-Ma’mun karena telah memerintahkan pelaksanaan mihmah, ia berjasa besar dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan.

Hal ini kerap tercatat dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.

Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Pengertian Ilmu Kalam dalam Agama Islam. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Ilmu Kalam pada Zaman Bani Umayyah dan Abbasiyah"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel