-->

Studi Hukum Islam Sebagai Muara Ilmu Keislaman

fikriamiruddin.com - Islam adalah agama yang dipraktekkan. Ajarannya termaktub dalam al-Qur’an yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an berwujud teks suci yang perlu ditafsirkan dengan praktek Nabi Muhammad Saw. Yang menjadi teladan bagi umat Islam. Praktek Nabi Muhammad Saw ini merupakan konteks yang terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu, keteladanan tersebut bersifat dinamis.
Studi Hukum Islam Sebagai Muara Ilmu Keislaman

Boleh jadi, praktek keagamaan umat Islam tidak sama dengan Nabi Muhammad Saw, namun tidak bertentangan dengan prinsip dasar dalam teladan Nabi Muhammad Saw. Praktek yang demikian ini menjadi fokus dalam studi hukum Islam. Praktek keagamaan ini berkaitan erat dengan pemikiran. Suatu amal tergantung dari ilmunya. Ilmu yang mencapai tingkat tertinggi adalah iman.

Seseorang akan percaya sesuatu jika benar-benar mengetahuinya dengan yakin. Untuk mencapai keimanan pada taraf yakin ini, ajaran Islam dikembangkan dengan Ilmu Tauhid. Keyakinan pada ajaran Islam dengan sendiri akan melaksanakannya. Permasalahannya adalah bagaimana cara melaksanakannya? Jawaban ini dapat ditemukan dalam studi hukum Islam. Hal tersebut dikarenakan studi hukum Islam membahas mengenai cara mempraktekkan ajaran Islam.

Sesungguhnya cara ini telah dipraktekkan dan ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. Yang kemudian direkam dalam bentuk hadis. Melalui al-Qur’an dan hadis, tata cara praktek digali dan dirumuskan. Proses penggalian dan perumusan ini melibatkan ilmu-ilmu teks Arab, di antaranya Ilmu Lughah, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Balaghah, bahkan Ilmu Ushul Fikih. Selain itu, ilmu-ilmu mengenai al-Qur’an dan hadis juga diperlukan.

Baca Juga: Studi Hukum Islam sebagai Etika Islam

Dikarenakan studi hukum Islam memilah benar dan salah, maka kemudian membutuhkan ilmu logika. Kajian teks tidak terlepas dari kondisi sejarah pergulatan teks dan konteks, sehingga studi hukum Islam harus dibantu oleh ilmu sejarah, terutama sejarah perkembangan praktek hukum Islam. Maka dari itu, studi hukum Islam bukan disiplin yang berdiri sendiri, melainkan ditopang oleh ilmu-ilmu keislaman yang lain.

Dengan demikian, pakar studi hukum Islam dapat dipastikan telah mendalami semua ilmu-ilmu keislaman. Ketika studi hukum Islam bersentuhan dengan realitas sosial, maka ilmu-ilmu yang membantunya semakin bertambah, yakni ilmu-ilmu sosial. Sosiologi perlu dihadirkan untuk membaca perubahan sosial; Antropologi untuk menelaah tradisi masyarakat; Psikologi untuk melihat kemampuan individu maupun masyarakat dalam melaksanakan hukum Islam.

Ilmu Politik untuk legalisasi hukum Islam; Ilmu Ekonomi untuk mengembangkan Ekonomi Islam; dan Ilmu Metodologi Riset dipakai menggali dan menganalisis data lapangan. Studi hukum Islam tidak menutup diri dari ilmu-ilmu alam, sepanjang hal itu dibutuhkan. Studi kasus ganti kelamin, kontrasepsi, dan bayi tabung, tentu saja perlu menghadirkan Ilmu Kedokteran. Saat membahas mengenai waktu shalat, gerhana, arah kiblat, dan masalah perbintangan lainnya.

Maka studi hukum Islam perlu bekerjasama dengan Ilmu Astronomi. Mustahil menemukan seorang ulama yang menguasai studi hukum Islam serta ilmu-ilmu bantu lainnya (interdisipliner). Maka dari itu, keputusan hukum tidak dirumuskan secara perorangan, melainkan difatwakan secara kelembagaan (multidisipliner). Lembaga hukum Islam berisi para pakar studi hukum Islam, bukan para ilmuwan dengan disiplin ilmu yang berbeda.

Baca Juga: Kajian Hukum Islam Sosiologis

Namun, jika suatu masalah yang akan diputuskan memerlukan keterlibatan ilmuwan yang terkait, maka ilmuwan tersebut dihadirkan untuk memperjelas masalah. Setelah mendapatkan penjelasan, pemecahan masalah dilimpahkan kembali kepada para pakar hukum Islam. Tidak jarang, persoalan yang dipecahkan juga menyangkut masalah agama di luar wilayah hukum Islam, seperti teologi, tasawuf, dan peradaban.

Pada tahun 1998, Majelis Tarjih Muhammadiyah, akhirnya memperlebar wilayahnya dari persoalan hukum Islam hingga peradaban Islam. Hal senada juga dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI dan Bahtsul Masail NU. Sehingga kemudian dalam NU muncul Bahtsul Masail Maudlu’iyyah (pembahasan persoalan secara tematis) dan Bahtsul Masail Waqi’iyyah (pembahasan persoalan aktual).

Pelebaran masalah di atas tentu bukan hal yang baru. Beberapa karya klasik yang selama ini dianggap sebagai literatur Ilmu Fikih juga membahas mengenai teologi maupun tasawuf. Kitab al-Umm karya Imam al-Syafi’i, pendiri Madzhab Fikih Syafi’i, juga memuat teologis, meskipun porsinya sedikit. Selain itu, Imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Fikih Hanafi, menulis kitab al-Fiqh al-Akbar yang memuat pembahasan mengenai teologi.

Fakta ini menunjukkan bahwa studi hukum Islam menjadi muara bagi ilmu-ilmu keislaman. Semua disiplin ilmu, bertemu di satu wilayah, yakni hukum Islam. Mungkin cukup sekian pembahasan kali ini, silahkan baca juga: Kajian Hukum Islam Normatif dan Historis. Terima kasih banyak dan semoga bermanfaat.

0 Response to "Studi Hukum Islam Sebagai Muara Ilmu Keislaman"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel