-->

Pergeseran Budaya: Perwujudan Mentalitas Baru




fikriamiruddin.com - Masyarakat atau petani yang hidup di daerah pedesaan tidak selamanya memiliki mentalitas subsistensi dan memegang teguh nilai-nilai kekerabatan atau kekeluargaan dalam system kehidupannya, namun juga memiliki nilai-nilai yang berorientasi komersil dan pasar. Begitu juga dalam bidang kehidupan lainnya seperti kerjasama tidak semuanya dilakukan dengan kerja kolektif tetapi sudah ada yang bersifat individualistik. Dalam hal lain mereka tidak hanya berpikir irrasional tetapi sudah sangat kuat berfikir rasional.

Mentalitas substensi versus mentalitas komersil dan orientasi pasar dijalankan di daerah pedesaan. Kedua mentalitas ini terlihat jelas dalam system dan perilaku ekonomi orang-orang pedesaan. Sikap mental subsistensi yang terdapat pada masyarakat pedesaan tersebut terlihat dengan jelas bahwa mereka masih sangat kuat memegang teguh prinsip-prinsip moralitas pedesaan, hal ini disebabkan karena masih kuatnya budaya kekeluargaan dan tolong menolong. Kebersamaan dalam berbagai bidang kehidupan telah membuat masyarakat pedesaan mempertahankan dan memperkokokh budaya ini. Dalam aktifitas di pertanian sawah terlihat jelas budaya tolong menolong atau pelariaan, kemudian dalam pertanian kebon, perikanan darat, perdagangan dan di dalam ekonomi rumah tangga.
       

Unit-unit ekonomi tersebut menggunakan peralatan yang sangat sederhana dan serba terbatas, dikerjakan dengan cara sederhana, sehingga hasilnyapun hanya sekedar cukup makan. Hal ini semakin memperkokoh nilai-nilai subsistensi yang semakin kuat mempengaruhi system mata pencarian hidup orang pedesaan, sehingga mereka lebih mengedepankan prinsip-prinsip moral pelarian atau tolong menolong dan shared poverty dalam aktifitas ekonomi dan sosial lainnya. Sejalan dengan itu sekalipun mereka menggunakan peralatan sederhana, namun telah menampakkan suatu kegiatan mata pencarian hidup yang berorientasi komersil dan pasar. Orientasi komersil dan pasar ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Factor internal yaitu tekanan-tekanan mata pencarian hidup yang semakin sulit dan upaya untuk mengubah nasib. Sedangkan faktor eksternal berasal dari terjadinya interaksi secara terus menerus dengan masyarakat luar melalui perdagangan dan birokrasi pemerintah.
       

Masuknya mentalitas komersil di berbagai daerah pedesaam Indonesia. Seperti di jambi sudah cukup lama sejak adanya permintaan komoditi eksport seperti karet pada tahun 1920-an, masyarakat telah membudayakan karet untuk ditanam, sehingga secara terus menerus interaksi masyarakat pedesaan dan dunia luar tidak bisa ditutup-tutupi. Begitu juga dengan kegitan lainnya seperti di desa senaning kabupaten Batanghari salah satu desa di provinsi jambi, sejak masuknya program IDT tahun 1996 telah membawa masyarakat kepada perilaku budidaya ikan keramba, kemudian dengan lancarnya usaha perikanan ini telah membawa mereka untuk berkalkulasi secara rasional.
      

Perhitungan-perhitungan yang matang dan harapan-harapan kelancaran produksi ikan keramba telah membawa mereka kepada budaya yang berorientasi komersil dan pasar. Orientasi ini semakin terlihat dengan masuknya system Bank di wilayah pedesaan, sehingga masyarakat pedesaan semakin membuat perhitungan dengan meminjam, mengelola mengupayakan pengembalian uang secara tepat. Pembentukan mentalitas baru muncul disebabkan oleh interaksi yang terjadi antara masyarakat pedesaan dengan dunia luar. Interaksi sebagian besar terjadi karena derasnya arus modernisasi yang masuk melalui program-program pembangunan, hal ini bisa dikatakan sebagai factor eksternal. Namun sebagian lagi terjadi karena pergerakan masyarakat pedesaan keluar dari desanya, maupun dinamika-dinamika baru yang muncul dari dalam diri sendiri, hal ini disebabkan oleh factor internal. Proses perubahan di wilayah pedesaan itu tentunya tidak terjadi secara otomatis, melainkan lebih diakibatkan oleh interaksi antara factor internal dan eksternal yang demikian kompleks sehingga memungkinkan berbagai interprestasi terhadap perubahan di pedesaan.
     

Menurut pendekatan neo-klasik, diantara faktor-faktor internal dari perubahan pedesaan itu adalah pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan semakin menyempitnya lahan, yang pada akhirnya penduduk sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara itu faktor eksternal memiliki kontribusi cukup berarti dalam mendorong perubahan di pedesaan, hal ini pada dasarnya menyangkut modernisasi dan teknologi yang masuk kedalam wilayah pedesaan. Bagi para penganut pendekatan neo-populis percaya bahwa penyebaran teknologi merupakan faktor penting yang menjadikan daerah pedesaan berubah dari kondisi semula. Sedangakn bagi para penganut neo-marxis cenderung lebih menekankan ekspansi kapitalisme sebagai penyebab terjadinya perubahan di pedesaan. Selain faktor-faktor eksternal tersebut di atas banyak cendekiawan yang menaruh perhatian pada peran Negara yang diwujudkan dalam ekspansi birokrasi yang menyebabkan perubahan pedesaan.
     

Dinamika kehidupan pedesaan baik berawal dari proses internal maupun dalam proses eksternal telah membawa masyarakat pedesaan kepada kontruksi sosial kultural yang baru sehingga muncul mentalitas baru. Hasil dari bangunan budaya atau sikap mental (mentalitas) baru memiliki kecenderungan-kecendrungan yang saling memperebutkan dan digunakan secara selektif.
     

Hal ini mirip dengan pendapat Amri Marzali, bahwa tidak ada petani desa yang sama sekali berpegang teguh pada moral pedesaan dan juga tidak ada sama sekali yang berkalkulasi rasional, keduanya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara elektis sesuai dengan situasi (Marzali, 2003:273-274).
      

Dengan demikian proses interaksi antara dinamika internal dengan dinamika eksternal telah membentuk kecenderungan-kecenderungan baru, apabila arus luar masuk dengan mengekploitasi sumber daya lokal, baik nilai maupun material atau sumber daya alam dengan kuat sehingga desa menjadi kalah, maka desa tersebut akan kehilangan jati dirinya dan belum tentu menjadi lebih baik. Tapi apabila desa tersebut cenderung mengisolasi diri tidak terbuka dengan dunia luar, maka mereka tidak bisa menerima hal-hal baru yang lebih baik menurut ukuran umum.
     

Terlepas dari dikotomi tersebut hal yang paling baik adalah interaksi kedua dinamika tersebut sehingga nilai-nilai penting yang membuat kesatuan dan kesadaran moral bersama kaum desa dijadikan tempat berpijak untuk membuka diri menerima arus modernisasi atau pembangunan dan dunia luar, sehingga desa tetap mempertahankan nilai dan pengetahuan sebagai milik lama yang baik dan bernilai guna kemudian mengambil atau mengadopsi nilai-nilai baru, pengetahuan baru, teknologi baru yang juga jauh lebih bermanfaat dan dapat mensejahterakan mereka.
    

Hal inilah yang dapat mempertahankan desa sebagai suatu kekuatan sosial, politik, ekonomi yang dibingkai dalam kultur pedesaan dari arus globalisasi yang semakin deras dan sulit untuk dikendalikan, inilah yang dinamakan mentalitas baru yang tidak kaku, terbuka dan selektif dengan sesuatu yang datang dengan dasar pengetahuan dan nilai yang telah mereka miliki.

0 Response to "Pergeseran Budaya: Perwujudan Mentalitas Baru"

Posting Komentar

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel